Oleh Annas Radin Syarif

Selama periode Maret 2020 hingga Mei 2021, AMAN dan Masyarakat Adat di Indonesia telah melakukan upaya pencegahan terhadap penyebaran Covid-19 di wilayah adat. AMAN telah membentuk 108 Tim Tanggap Darurat Covid-19 atau #AMANkanCovid19 yang bekerja bersama Masyarakat Adat memastikan penutupan kampung secara sementara (lockdown), ritual tolak bala, karantina bermartabat, pengorganisiran peramu obat tradisional, serta peningkatan produksi pangan selama pandemi. Hingga Mei 2021, strategi tersebut berhasil dan tidak ada laporan kasus Covid-19 di wilayah adat.

Namun, varian baru virus korona menyerang pertahanan Masyarakat Adat. Perkembangan virus baru tersebut lebih cepat menginfeksi atau menulari masyarakat yang ada di kota-kota besar maupun berbagai wilayah-wilayah adat. Secara nasional, angka kematian tertinggi akibat Covid-19 pernah mencapai lebih dari seribu dalam sehari (7/7/2021).

Dorongan Akses Vaksin

Sejak Juni 2021, #AMANKanCovid19 telah melaporkan adanya kasus infeksi dan kematian Covid-19 terhadap Masyarakat Adat di 13 kabupaten dan 10 provinsi di Indonesia, - baik itu daerah pedalaman, pulau kecil, dan perbatasan - termasuk Mahakam Hulu di Kalimantan Timur, Kepulauan Aru di Maluku, Pulau Enggano di Bengkulu, dan lainnya. Salah satu dampak terparah dialami oleh Masyarakat Adat Apau Kayan di Malinau, Kalimantan Utara, di mana dilaporkan terdapat 12 orang meninggal dan sekitar 400 warga terpapar serta mereka di Manggarai Timur, Flores, NTT, di mana sekitar 100 warga terpapar Covid-19. Beberapa kasus kematian terjadi saat isolasi mandiri karena keterbatasan fasilitas kesehatan. Secara umum, sebagian besar Masyarakat Adat yang terpapar, mengalami gejala-gejala mirip penderita Covid-19, seperti demam, flu, batuk, serta hilangnya indera penciuman. Angka pasti terhadap jumlah Masyarakat Adat yang terpapar Covid-19, belum tersedia karena keterbatasan atau ketiadaan fasilitas pemeriksaan dan tracking Covid-19 di wilayah adat.

Melihat fenomena perkembangan Covid-19 yang begitu cepat menjangkiti Masyarakat Adat, maka AMAN mengadakan konsolidasi secara virtual yang melibatkan seluruh staf, kader, dan organisasi sayap pada 10 Juli 2021 lalu untuk menyusun strategi penanganan dampak, khususnya pada gelombang kedua pandemi. Dari konsolidasi tersebut, teridentifikasi kebutuhan mendesak, antara lain:

  1. melaksanakan aksi tanggap darurat Covid-19 dengan memastikan peralatan medis tersedia dan memadai di wilayah adat, seperti masker, alat pelindung diri (APD), oksigen, dan pangan, terutama bagi Masyarakat Adat yang terancam punah dan kritis pangan;
  2. mendorong dan memastikan akses imunisasi (vaksinasi) Covid-19 bagi Masyarakat Adat; dan
  3. menggalakkan produksi dan penggunaan ramuan tradisional penguat imun.

Pada saat itu, salah satu kendala Masyarakat Adat mengakses vaksin, adalah persyaratan administrasi berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK), di mana terdapat banyak Masyarakat Adat dan kelompok rentan belum memiliki NIK dan   terancam tidak dapat mengakses vaksin.

Pada 29 Juli 2021, AMAN bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksin bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, ikut menandatangani surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan kementerian/lembaga terkait untuk memprioritaskan vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan kelompok rentan. Surat terbuka yang ditandatangani 105 organisasi dan 79 tokoh (individu) tersebut, mendorong pemerintah untuk menghilangkan syarat NIK dalam akses vaksin, melakukan edukasi dan sosialisasi untuk meluruskan kabar bohong atau hoaks, serta memastikan fasilitas pemeriksaaan kesehatan awal dan lokasi vaksinasi yang mudah diakses oleh Masyarakat Adat dan kelompok rentan lainnya.

Pada 2 Agustus 2021, AMAN melakukan pertemuan koordinasi vaksin untuk Masyarakat Adat dan kelompok rentan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pertemuan yang diinisiasi oleh Polri itu merupakan respon atas surat terbuka. Selain AMAN, Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) dan HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) yang mewakili kelompok rentan penyandang disabilitas, turut hadir pada pertemuan yang mendiskusikan berbagai tantangan vaksin, mulai dari masalah lokasi, kondisi kesehatan, dan sosialisasi. Pada kesempatan itu, AMAN menyerahkan kepada Polri data 536.539 warga adat yang siap divaksin.

Terkait kendala administrasi, Kemenkes pun telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/III/15242/2021 pada 2 Agustus 2021 agar Masyarakat Adat dan kelompok rentan yang belum memiliki NIK, tetap dapat mengakses vaksin. 

Perkembangan Vaksinasi Masyarakat Adat

Selain mendorong prioritas pelaksanaan vaksin bagi Masyarakat Adat di tingkat nasional, AMAN di tingkat daerah dan wilayah juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Polsek/Polres, serta TNI sebagai penyedia vaksin di berbagai daerah. Saat ini, sejumlah Masyarakat Adat yang sudah mendapatkan vaksin, mencakup Masyarakat Adat Sakai, Talang Mamak, dan Bonai di Riau; Masyarakat Adat Anak Dalam Batin IX di Jambi; Masyarakat Adat Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul di Lebak, Banten; Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur; Masyarakat Adat Bayan dan Sasak di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat; Masyarakat Adat Toraya dan Banualemo di Sulawesi Selatan; Masyarakat Adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan; Masyarakat Adat Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur; serta Masyarakat Adat Dayak Jawatn dan Taman di Sanggau, Kalimantan Barat. (Data jumlah warga adat yang sudah divaksin sedang dihimpun.)

Sementara itu, banyak Masyarakat Adat yang belum mendapatkan vaksin disebabkan oleh keterbatasan jumlah vaksin di daerah, misalnya di Tana Toraja dan Toraja Utara. Menurut data AMAN Toraya, ada 416.178 orang yang siap vaksin, tapi saat ini baru sekitar 100 ribu saja yang sudah divaksin melalui pihak gereja serta TNI/Polri.  

Secara geografis, Masyarakat Adat yang tinggal di lokasi pedalaman dan pulau-pulau kecil, menghadapi tantangan utama terkait jarak lokasi dalam akses vaksin. Komunitas Masyarakat Adat Balai Juhu Dayak Meratus misalnya, mereka harus melintasi hutan di kawasan Pegunungan Meratus untuk bisa mendapat vaksin yang diadakan di Puskesmas Kecamatan Batang Alai Timur di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

“Mereka harus turun ke kecamatan untuk vaksin,” ucap Syahliwan dari AMAN HST. “Biasanya, mereka menginap satu malam dulu di hutan, kemudian pagi hari jam 10 jalan lagi, dan sekitar jam enam sore baru sampai.” Menurutnya, terdapat 12 orang yang sudah divaksin di sana.

Di sisi lain, banyak pula Masyarakat Adat yang ragu dan takut divaksin karena berbagai hoaks. Hal tersebut menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan pemerintah selama ini tidak dapat menepis derasnya berita-berita bohong yang beredar di wilayah adat.

Berdasarkan tantangan yang ada, AMAN pun melakukan langkah-langkah untuk memastikan vaksinasi bagi Masyarakat Adat, meliputi:

  1. sosialisasi Covid-19 dan vaksinasi menggunakan pendekatan sesuai dengan kondisi sosial-budaya Masyarakat Adat setempat, seperti penggunaan bahasa lokal dan istilah “imunisasi,” pelibatan ketua maupun tetua adat dalam sosialisasi, serta kerja sama antar-pihak (kepala desa, tenaga kesehatan, dan tokoh di kampung);
  2. pemeriksaan kesehatan sebelum dilakukan vaksinasi di kampung-kampung lewat kerja sama dengan tenaga kesehatan, termasuk dokter untuk sosialisasi dan pemeriksaan kesehatan;
  3. dorongan vaksin masuk kampung (drive thru) dengan mendekatkan lokasi sentra vaksinasi agar mudah diakses Masyarakat Adat; dan
  4. pendampingan pasca-vaksinasi oleh petugas kesehatan untuk memastikan Masyarakat Adat mendapatkan informasi dan penanganan yang tepat jika ada gejala-gejala yang timbul setelah vaksin.

***

Penulis adalah Ketua Tanggap Darurat AMAN.

Writer : Annas Radin Syarif  | Jakarta