Oleh Hero Aprila

Konstitusi secara tegas mengakui dan menghormati hak Masyarakat Adat melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Di dalam ketentuan pada konstitusi, disebut istilah “masyarakat hukum adat” dan “masyarakat tradisional.” Jika ditelaah lagi, secara terminologi, masyarakat hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu "masyarakat hukum" dan "adat." Terminologi itu ternyata mengerdilkan Masyarakat Adat itu sendiri karena faktanya bukan hanya “masyarakat hukum,” tapi juga ada masyarakat budaya, masyarakat politik, dan masyarakat sosial yang menjadi bagian dari Masyarakat Adat. Maka, esensi dari penyebutan “masyarakat hukum adat” dan “masyarakat tradisional” merupakan bagian dari yang kita sebut dengan Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki keberagaman budaya, agama, bahasa, dan hukum yang mengatur kehidupannya di masing masing wilayah adat. Selain hukum negara, Indonesia juga punya hukum yang hidup dalam masyarakat - hukum yang ada, diakui, dan diterapkan, namun tidak semuanya dituliskan. Hukum adat menjadi bagian dari itu. Ada proses hukum yang ditempuh saat Masyarakat Adat melakukan kesalahan, sanksi itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau menempuh jalur litigasi sesuai dengan aturan di masing-masing wilayah adat.

Jalur litigasi hukum akan menempuh proses peradilan. Uniknya, Indonesia tidak hanya memiliki sistem peradilan negara, namun juga memiliki sistem peradilan adat yang menyesuaikan dengan cara hidup Masyarakat Adat di masing-masing wilayah adatnya. Tentunya itu perlu memenuhi asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan yang tidak distandarisasi oleh sistem hukum negara.

Peradilan negara memiliki empat pilar penegak hukum yang saling mengelaborasikan peran satu sama lain. Mereka adalah hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Empat pilar itu akan bekerja sesuai dengan perannya masing-masing.

Bagaimana dengan peradilan adat? Menurut Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan Masyarakat Adat yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga Masyarakat Adat. Melalui pasal tersebut, peradilan adat punya sistemnya sendiri dalam melakukan penegakan hukum yang sesuai dengan lingkungan atau wilayah adatnya sendiri.

Eksaminasi Putusan

Papua yang telah memiliki peradilan adatnya sendiri, menempuh jalur peradilan negara untuk memperjuangkan apa yang seharusnya sudah menjadi hak. Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Papua Barat, ada gugatan perusahaan terhadap Keputusan Bupati Sorong yang kemudian memenangkan Bupati Sorong untuk mewakili kepentingan Masyarakat adat. Melalui Putusan Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura Nomor 32/G/2021/PTUN.JPR (PT Papua Lestari Abadi) dan Putusan PTUN Jayapura Nomor 32/G/2021/PTUN.JPR (PT Sorong Agro Sawitindo), Pengadilan TUN Jayapura menyatakan menolak seluruh gugatan dari perusahaan perkebunan sawit, yaitu PT Inti Kebun Lestari, PT Sorong Agro Sawitindo, dan PT Papua Lestari Abadi yang menggugat Keputusan Bupati Sorong karena mencabut izin lokasi, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan.

Lalu, itu terasa miris saat perusahaan sawit mengajukan upaya hukum banding di PT TUN Makassar dengan membawa hasil putusan banding yang membatalkan Putusan PTUN Jayapura. Hakim beragumentasi bahwa tidak ada aturan yang mengatur sanksi pencabutan izin secara langsung. Putusan hanya mempertimbangkan aspek formal-administratif semata tanpa melihat fakta dan signifikansi ancaman dampak sosial dan lingkungan yang terjadi.

Tak berhenti di situ, Bupati Sorong - mewakili Masyarakat Adat - melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, lagi-lagi Majelis Hakim malah menguatkan putusan hakim dalam tingkat banding PT TUN Makassar dengan menggunakan logika legalistik dalam memeriksa perkara. Akhirnya, kemenangan tak memihak pada Masyarakat Adat.

Dalam diskusi yang difasilitasi oleh Yayasan Pusaka Bentela Rakyat, Putusan Majelis Hakim PT TUN Makassar dan Putusan Majelis Hakim MA seharusnya lebih melihat dan mempertimbangkan aspek yang lebih luas, tidak hanya aspek formal-administratif. Ada lingkungan yang akan terdampak serta ada Masyarakat Adat sebagai subjek hukum yang akan langsung merasakan dampak dari kerusakan lingkungan yang terjadi.

Putusan yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat, khususnya Masyarakat Adat, bukanlah hal baru. Oligarki bersama perusahaan saling bahu-membahu merampas hak Masyarakat Adat dengan berbagai dalih. Kita sering melihat para pejabat dengan bangga mengenakan pakaian adat untuk kepentingan politik, namun luput untuk memastikan pengakuan dan pelindungan hak Masyarakat Adat dalam kerangka payung hukum yang benar-benar diinginkan oleh Masyarakat Adat.

***

Penulis adalah pemuda adat dari Bengkulu yang sekarang tergabung di Seknas PPMAN

Tag : Masyarakat Adat PTUN Jayapura UUD 1945