Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Masyarakat Adat Ngata Toro mendiami wilayah adat yang terbentang di kawasan dataran tinggi di jantung Pulau Sulawesi. Di sana, bukit-bukit bagai diselimuti permadani hijau. Selain hutan adat yang terjaga dengan baik, hamparan sawah dan ladang tumbuh subur dan membentang seluas mata memandang.

Secara administrasi, Ngata Toro - yang dapat merujuk pada penamaan Masyarakat Adat maupun wilayah adat - berada di Desa Toro di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Desa tersebut terbagi ke dalam enam dusun. Meski kini umumnya Masyarakat Adat Ngata Toro telah menganut Kristen, namun berbagai kebiasaan dan warisan budaya dari agama leluhur Nobalia, masih mewarnai kehidupan sehari-hari warga, termasuk kaum muslim yang menjadi minoritas. Ada tradisi menarik di Ngata Toro menjelang Lebaran yang menegaskan wujud dari kebragaman antar-umat beragama sekaligus penyesuaian dari agama-agama baru itu dengan Nobalia.

Saya berbincang lewat sambungan telepon dengan Ibu Rukmini Toheke, seorang tokoh perempuan adat yang turut terlibat dalam mendeklarasikan kelahiran AMAN pada 1999 lalu. Ia bilang, dari perkiraan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 700 kepala keluarga (KK), hanya sekitar 100 KK yang Muslim. Mereka terkonsentrasi di Dusun 1 - atau Masyarakat Adat setempat menyebutnya dengan Boyak 1 - karena berjarak relatif dekat dengan masjid.

“Awalnya, ada agama leluhur Nobalia sebelum masuk Kristen, Protestan, dan kemudian Islam yang terakhir,” papar Bu Rukmini. “Dulu, memang tidak ada puasa. Jadi, ketika bulan puasa, kami hanya menyambut bulan puasa dengan baca doa. Semua muslim akan mengundang imam dan perangkat masjid untuk datang rumahnya baca doa menyambut Ramadan. Kami bilang itu Notsibaha.”

Notsibaha dapat dimaknai sebagai ritual yang dilakukan dengan membaca doa dan memberkati hidangan untuk kelak disantap pula bersama-sama. Telur, pisang, dan makanan yang manis-manis, selalu disajikan untuk diberkati pada setiap Notsibaha. Tetapi, dalam perayaan spesial, seperti menyambut Ramadan maupun lebaran, ada kuliner berbeda yang disajikan.

“Kalau makan sehari-hari, kami tidak harus buat makanan berbumbu,” ungkapnya. Namun, saat hari-hari istimewa, ia mengaku memasak kari atau makanan lain yang menyenangkan tamu. Selain telur dan pisang, ada juga pulut (ketan) yang diikat daun kelapa muda. Sementara untuk kue-kue manisnya, Masyarakat Adat Ngata Toro kerap menghidangkan cucur, onde-onde, dan lainnya sebanyak lima hingga tujuh macam.

“Kalau menjelang lebaran, biasa orang mempersiapkan makanan di rumahnya, seperti Natalan. Kami buat kue. (Perayaan) Lebaran itu sendiri dipengaruhi kebijakan negara, misalnya dua tahun kemarin saat Covid-19, kami Notsibaha tidak di rumah, tapi di masjid saja untuk kumpul makanan. Sebelumnya, kami ke kubur leluhur untuk berdoa, lalu habis Zuhur, baru kumpul di masjid untuk bawa makanan.”

Sajian berupa lauk-pauk, kue-kue, dan aneka minuman yang akan disantap oleh keluarga serta dihidangkan untuk tamu dan kerabat saat Idul Fitri, terlebih dulu disisihkan untuk diserahkan dan dibacakan doa di masjid. Setelahnya, berbagai hidangan di rumah, dianggap telah menghadirkan berkah atau ridho untuk kemudian dimakan bersama-sama.

“Kalau malam Lebaran, dulu (sebelum pandemi) ada pawai obor,” kata Bu Rukmini. Ia menggambarkan keramaian itu dengan berkumpulnya para remaja masjid bersama anak-anak dari berbagai dusun, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Sebelum jalan keliling desa, sekitar dua atau tiga hari sebelum Hari Raya, anak-anak biasanya sudah sibuk menyiapkan bambu yang diisi dengan sabut kelapa dan minyak. “Orang-orang Kristen ikut bergembira menyaksikan pawai. Pulang dari pawai obor, masyarakat juga suguhkan makan tengah malam.”

Rencananya, seiring dengan berangsur membaiknya kondisi pandemi, tahun ini pawai obor kemungkinan akan dilangsungkan kembali.

Selepas solat Zuhur kala Lebaran, para warga muslim akan sibuk untuk saling bersilaturahmi ke rumah orangtua, tetangga, dan keluarga dekat untuk pula bermaaf-maafan. Lalu, pada sore hingga malam, giliran mereka menerima tamu yang Nasrani. Tamu-tamu akan disuguhkan makan malam dan kue-kue. Itu bisa berlangsung selama beberapa hari ke depan.

“Kami (yang muslim) harus menyiapkan lebih banyak (makanan dan kue) karena yang Kristen lebih banyak dan kami yang dikunjungi. Jadi, saat lebaran, baru tutup rumah sekitar jam 10 atau 11 malam.”

Rukmini Toheke. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Potret kerukanan antar-umat beragama di Ngata Toro itu telah menjadi tradisi dan bagian hidup. Hal yang sama juga terjadi ketika Natal tiba. Bahkan, orang-orang Kristen akan mengundang orang-orang Islam untuk datang ke gereja. Bu Rukmini mengistilah silaturahmi dan suguhan makan itu dengan pasiar. Di dalam keluarganya, ia punya kakak kandung yang berbeda keyakinan. Namun, setiap bulan puasa, kakak dan keponakannya itu kerap membantunya menyiapkan buka puasa dan hidangan Lebaran. Dan saat Natal, giliran keluarga Bu Rukmini yang membalas dengan melakukan hal serupa.

“Yang ingin saya sampaikan, kalau Jakarta punya teori pluralisme itu bertumpuk di kertas dan baliho di mana-mana, kami di Toro itu tak ada seperti itu. Tapi, kita implementasikan saja,” ungkapnya.

Menurut Bu Rukmini, di Desa Toro, agama warga hanya akan ketahuan ketika terlihat di mana mereka beribadah: masjid atau gereja. Tetapi, dalam keseharian, silaturahmi tidak pernah terputus karena tatanan adat dan kekeluargaan yang mengikat di antara Masyarakat Adat Ngata Toro.

“Kalau pun muslim tak makan babi, mereka (yang Kristen) akan bilang tak masak di situ (di wadah yang sama), sehingga kami pun bebas makan di rumah mereka. Semua yang disembelih, itu pasti mereka panggil orang muslim untuk potongkan agar kami yang muslim bisa makan, termasuk acara di gereja. Itu sudah jadi kebiasaan.”

Suasana itulah yang menurutnya membuat banyak warga perantau memilih untuk merayakan Idul Fitri dengan pulang kampung.

Bentang wilayah adat di Ngata Toro. Sumber foto: Merlan Porento.

Lebaran kali ini pun, Bu Rukmini berencana untuk memasak menu istimewa: kepala sapi yang dimasak tavelemo, yaitu cara khas Masyarakat Adat di sana yang memask dengan hanya menggunakan bumbu berupa cabai hijau, daun lemon/jeruk, dan garam.

Bu Rukmini pun mengutarakan secara detail cara memasaknya. “Setelah daging dan diiris bersih, dia akan dicuci dengan kunyit manta yang dipercaya bisa menghilangkan bau tak bagus di daging, lalu didiamkan sepuluh menit. Lalu, direbus pada air mendidih. Semua daging, tulang, dan kulit yang sudah lembut, baru ditaruh cabai dan garam. Jadi, berkuah seperti sup iga.”

“Itu paling enak di kampung,” tegasnya.

***

Tag : AMAN Sulteng Ngata Toro Rukmini Toheke