Oleh Sepriandi

Masyarakat Adat Serawai di Kabupaten Seluma, Bengkulu, menyalakan api dari tempurung kelapa di depan halaman masjid dan rumah masing-masing. Tradisi itu dilakukan pada malam ke-27 di Ramadan sebelum Lebaran atau Idul Fitri.

Tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun oleh Masyarakat Adat Serawai itu dikenal dengan sebutan Nujuh Likur. Masyarakat Adat Serawai memaknai tradisi tersebut sebagai alat penerangan untuk mengingat para pendahulu.

Nujuh Likur ditandai dengan menyalakan api sebagai alat penerangan tradisional dari tempurung kelapa. Sebelum dibakar, tempurung kelapa disusun meninggi menyerupai gunung. Setelah itu, dibakar hingga apinya memancarkan cahaya terang. Masyarakat Adat Serawai menamai alat penerangan tradisional dari tempurung kelapa itu dengan Gunung Api.

Indawan selaku Ketua Adat Desa Lubuk Lagan, Kecamatan Seluma Barat, menerangkan bahwa Nujuh Likur merupakan tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun oleh leluhur Masyarakat Adat Serawai di Kabupaten Seluma. Ada beberapa makna yang bisa diambil dari tradisi tersebut, salah satunya adalah kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang terhadap kepulangan arwah orang-orang yang sudah meninggal ke rumah mereka sewaktu ia masih  hidup.

Indawan menyatakan, alat penerangan yang dibuat dari tempurung kelapa di rumah masing-masing, dimaksudkan supaya arwah tersebut bisa mengetahui jalan menuju rumahnya semasa hidup atau rumah keturunannya.

Ia mengisahkan bahwa pada zaman dahulu, masyarakat belum memiliki listrik. Karena itu,  dibuatlah alat penerangan dari batok kelapa yang dibakar menyerupai gunung api.

“Alat penerangan tradisional ini dimaksudkan untuk membantu supaya arwah orang yang sudah meninggal bisa pulang ke rumahnya masing-masing,” kata Indawan di sela kegiatan Nujuh Likur pada Senin malam (17/4/2023).

Indawan menjelaskan, dari sudut pandang ajaran Islam, malam Nujuh Likur merupakan malam terakhir dari malam Lailatul Qadar, yaitu malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadan. Sehingga, malam tersebut merupakan malam kemuliaan yang bahkan lebih indah dari seribu bulan karena amal yang dilakukan pada malam tersebut, akan memberikan kebaikan yang lebih baik dari ibadah selama seribu bulan.

Dalam kaitannya dengan batok kelapa yang dibakar di rumah masing-masing, Indawan menerangkan bahwa alat penerangan tradisional tersebut bertujuan untuk memberikan penerangan bagi masyarakat yang bepergian keluar rumah untuk mencari amalan kebaikan. Selain itu, alat penerangan tradisional itu juga akan dinyalakan sewaktu malam takbiran dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri untuk memberikan penerangan bagi masyarakat yang akan melakukan kunjungan pada malam takbiran di rumah-rumah secara bergantian.

"Jadi, selain dinyalakan pada malam Nujuh Likur, Gunung Api juga dinyalakan sewaktu malam takbiran,” katanya.

Dukungan Pemerintah

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seluma menyatakan dukungannya terhadap Nujuh Likur yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Serawai. Bahkan, Pemkab Seluma telah mengagendakan Festival Malam Nujuh Likur dalam agenda tahunan.

Bupati Seluma Erwin Octavian menyatakan bahwa dukungan itu dilakukan untuk melestarikan adat dan budaya Masyarakat Adat Serawai. Ia bilang, tradisi Nujuh Likur dengan membakar batok kelapa itu merupakan tradisi sejak zaman dahulu, sehingga perlu terus dilestarikan.

"Kita memaknai tradisi Nujuh Likur ini sebagai sebuah kebersamaan yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu. Ini perlu terus dilestarikan,” kata Erwin.

Ia juga menyatakan bahwa Pemkab Seluma telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk melestarikan tradisi tersebut. Masyarakat  juga telah dihimbau untuk mendirikan Gunung Api setiap malam ke-27 Ramadan secara serentak setelah selesai salat Magrib menjelang waktu Isya.

“Kita ingin menjadikan malam Nujuh Likur ini sebagai tradisi yang tetap lestari,” katanya.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari Bengkulu.

 

 

 

 

 

Tag : Bengkulu Tradisi Nujuh Likur Serawai