Kearifan Berladang Tersirat Dalam Hukum Adat
07 November 2015
[caption id="attachment_1065" align="alignleft" width="300"] ritus ketahanan pangan[/caption] Ada anggapan bahwa perladangan tradisional berkaitan dengan keterbelakangan dan bukan sebagai suatu model pertanian berkelanjutan. Pandangan seperti ini sesungguhnya mengabaikan dinamika perladangan dari masa ke masa. Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga hal yang harus menjadi dasar pertimbangan yaitu keharmonisan antara pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik. Bagi Suku Dayak misalnya, berladang bukan sekedar bercocok tanam saja melainkan ada unsur ritual yang sakral didalamnya. Orang Dayak asli dalam adat-istiadatnya, mengenal sistem berladang yang biasa disebut "bahuma batahutn" satu kali panen dalam setahun. Pada saat proses perladangan dimulai, Suku Dayak Kanayatn/ahe melaksanakan beberapa tahapan acara adat-istiadat. Orang Dayak saat melakukan perladangan tidak sendiri-sendiri, tetapi membentuk kelompok-kelompok tani yang disebut aleatn uma. Setelah melakukan perintisan, dilanjutkan tahap membersihkan lahan dengan cara mematikan pohon untuk mempermudah pembakaran. Jika pohon besar ditebang maka semak akan tertimpa sehingga menyulitkan peladang melakukan perintisan. Sulit mengeringkan bahan bakar (semak) dapat mengganggu proses pembakaran sisa-sisa penebangan nantinya Sekat Bakar Pembuatan sekat bakar dilakukan sebelum tahap pembakaran dilakukan, dengan cara membersihkan sekeliling ladang dari semak selebar 1-4 meter. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perembetan api ke ladang yang bersebelahan dengan ladang yang akan dibakar. Untuk mencegah agar api tidak menjalar ke daerah yang tidak diingini, Suku Dayak biasanya membuat jarak tertentu dengan menebang pohon antara ladang dan kawasan yang mereka lindungi. Ladang dibuka dekat sungai sehingga kalau api menjadi liar dapat dipadamkan menggunakan air sungai tersebut. [caption id="attachment_1067" align="alignright" width="300"] kebun dan saluran air[/caption] Di wilayah adat lainpun demikian. Kesadaran terhadap pembuatan sekat atau batas api selalu berkait dengan hukum adat dan kepercayaan leluhur. Sebagai contoh kita bisa lihat bagaiman komunitas Talang Mamak membuat batas api dalam bahasa Talang Mamak disebut melandang adalah membuat batas api di sekeliling ladang yang akan dibakar atau melokalisir api agar tidak menjalar ke tempat lain, dengan cara membersihkan dedaunan kering dan batang kayu-kayu lapuk, sebab api bisa menjalar melalui benda tersebut. Mbaka membakar tehnik tebang bakar merupakan metode yang sangat umum digunakan dan diaplikasikan secara luas dan turun temurun dalam pembukaan lahan dijadikan sistem penggunaan lahan di daerah tropis. Petalla Guru dilakukan oleh seorang dengan kemampuan supranatural (orang pintar) dan biasanya dihadirkan sebelum melakukan pembakaran. Ada berbagai ritual yang dilakukan intinya adalah meminta persetujuan dari leluhur mereka agar proses pembakaran berjalan dengan lancar dan segala hewan yang berada di dalam ladang untuk dilindungi dan segera pergi. Orang pintar juga akan terlibat dalam penentuan arah angin dan biasanya angin sangat menentukan arah pembakaran hal ini menghindari kecelakaan kerja. Di Tanah Batak (Komunitas Adat Janji) ada tahapan mangalandangi pembuatan batas bakar dipinggir ladang� sebelum pembakaran dilakukan. Hal ini untuk memastikan api tidak menjalar ke tempat lain. Sekitar satu sampai dua meter dari batas di luar lahan yang baru dibuka dan dibersihkan. Masyarakat menggunakan� cangkul untuk membersihkan kayu, akar dan daun-daun kering dari batas tersebut. Sehingga batas antara lahan yang akan dibakar dengan lahan lainnya terlihat seperti jalan lintas baru dibuka. Sekalipun batas bakar telah dibuat, pembakaran lahan biasanya dimulai dari titik yang memungkinkan api menjalar dan memulainya dari arah lebih tinggi jika lahan tidak rata. Proses pembakaran seperti itu memudahkan peladang menjaga api agar tidak menjalar atau mangararati dalam bahasa setempat. Waktu pembakaran juga berlangsung dengan cepat, api paling besar hanya sekitar 1-2 jam saja. Kearifan Lokal Pembakaran biasanya melibatkan orang lain yang memiliki pengetahuan khusus untuk membalikkan arah angin saat api tidak terkendali. Angin yang berhembus dengan kencang memang mempermudah pembakaran. Akan tetapi jika angin kencang dan berhembus tidak ke arah yang tak diinginkan tentu akan merepotkan peladang. Pawang anginlah yang mengatasinya. Pada umumnya pembakaran dilakukan pada siang hari saat matahari terik dan sebelum pulang si petani memastikan api sudah padam. Orang Dayak Katingan memulai musim berladang setelah munculnya bintang tertentu yang disebut patendu. Perbintangan menjadi pedoman untuk mengetahui apakah cuaca layak untuk memulai musim tanam. Tanah yang digunakan untuk berladang juga tanah tertentu yang disebut tanah kereng dan bukan tanah gambut. [caption id="attachment_1040" align="aligncenter" width="300"] Panen Padi Pagu[/caption] Di Halmahera Utara tepatnya di komunitas Pagu dalam pengetahun berladangpun hampir sama dengan wilayah adat lain di Nusantara. Dalam pertanian padi ladang, masyarakat memiliki penanggalan khusus untuk menentukan musim tanam sampai kepada musim panen berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki. Proses penyiapan lahan berlangsung setelah panen dilaksanakan. Penyiapan lahan dilakukan pada lahan di lokasi lain yang pernah ditanami kemudian ditinggalkan untuk beberapa waktu. Orang Pagu menyebutnya Jorame. Jorame biasanya berisi pohon -pohon kecil atau semak dan bambu. Jorame kemudian dibersihkan untuk musim tanam baru setelah ditinggalkan selama 4 - 6 bulan. Prosesnya mulai dari penebangan pohon-pohon, pembersihan semak dan bambu. Setelah pohon-pohon tersebut sudah ditebang, ada masa untuk membiarkan pohon-pohon tebangan mengering di atas tanah sebelum dibakar. Waktu pembakaran dan tanam yang telah dibersihkan tersebut ditentukan dengan melihat cuaca agar lahan yang telah bersih tidak dibiarkan lama dan alang-alang tidak tumbuh. Untuk menghindari api merembet ke lokasi lain petani Pagu juga mempertimbangkan cuaca, makanya waktu bakar mendekati musim hujan. Menurut beberapa orang tua di Pagu, siang hari cuacanya terlalu panas jadi lahan sebaiknya dibakar pada malam hari, alasannya di siang hari tak ada embun sedangkan di malam hari lebih banyak embun sehingga kemungkinan api merambat peluangnya kecil sekali. Pada saat membakar pun, lahan tersebut dijaga oleh pemilik lahan. Pada batas-batas lahan yang dibakar biasanya tidak ada timbunan kayu hasil pembersihan ladang, semuanya dibersihkan dan diletakan di bagian tengah ladang. Karena biasanya lahan untuk tanam padi dekat dengan kebun-kebun tanaman umur panjang seperti kelapa, pala dan cengkeh, maka pada saat pembakaran lahan untuk tanam padi, lokasi tersebut akan dijaga. [caption id="attachment_1066" align="alignleft" width="300"] ritus seren taon[/caption] Lain tipe perladangannya tentu lain pula pendekatan atau perlakuan yang digunakan. Pendekatan terhadap perladangan/penduduk setempat berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh pendatang atau pengusaha. Tak bisa dipungkiri bahwa perladangan berpindah memang upaya pertanian tradisional di wilayah adat, namun pembakaran dilakukan dengan tata cara disertai hukum adat untuk warga yang melanggar aturan. Pembukaan lahan dan perladangan di komunitas adat luasnya sangat terbatas dan terkendali, karena mengikuti aturan turun temurun. Para peladang tradisional sudah mahir menerapkan teknik membakar yang aman mengikuti kearifan nenek moyang yang tersirat dalam hukum adat. ****Jeffar Lumban Gaol Daftar bacaan Gayatri Joan Tatra Suwardi Nurman Abe Ngingi Jhon Tony Tarihoran
Sumber : kearifan-berladang-tersirat-dalam-hukum-adat