Oleh Komang Era Patrisya

Pemetaan desa adat di Bali menjadi keharusan untuk mewujudkan desa adat yang berdaulat atas ruang hidup, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Pemetaan wilayah adat menjadi salah satu mandat organisasi. Pemetaan wilayah adat menjadi langkah pertama sebagai bagian dari perjuangan Masyarakat Adat untuk melindungi wilayah adat.

Penyarikan Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ketut Sumarta, dalam acara sosialisasi pemetaan partispatif di Desa Adat Les Penuktukan belum lama ini menyampaikan tentang pentingnya kedaulatan Masyarakat Adat tas ruang hidupnya.

Ketut Sumarta menegaskan pentingnya pemetaan desa adat di Bali. Ia menekankan tidak ada sejengkal tanah pun di Bali yang tidak dipetakan menjadi wewidangan desa adat. Untuk mewujudkan hal ini, sebut Ketut Sumarta, Majelis Desa Adat mempunyai program utama untuk melakukan pendampingan terhadap desa adat guna melakukan pemetaan agar ke depannya masing-masing desa adat memiliki peta geo-spasial.

“Semua ini kita lakukan terkait dengan kesucian, tidak hanya tentang motif ekonomi,” jelasnya.

Ida Bagus Dana dari Dinas Pekerjan Umum Penataan Ruang Bali menyarankan apabila  melakukan pemetaan, sebaiknya adakan koordinasi yang baik dengan desa penyanding terkait dengan batas-batas pantai, batas-batas hutan. Menurutnya, ini sangat penting untuk dilakukan sehingga menghasilkan keputusan batas yang pasti agar ke depannya tidak terjadi masalah.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menjelaskan bahwa dalam proses pemetaan partisipatif, ada tiga proses yang biasanya dilakukan. Pertama, sosialisasi. Pada tahap sosialisasi ini, sebut Kasmita, penting dilakukan koordinasi dengan pihak yang terlibat dan terkait dengan lokasi pemetaan desa adat.

Setelah itu, imbuhnya, tahap proses yang kedua adalah pelaksanaan dan yang terakhir barulah tahap pengolahan data dan penyajian hasil.

“Semua proses ini dilakukan dengan menghadirkan atau melibatkan desa adat yang bersandingan, termasuk juga dengan pemerintah,” ujar Kasmita disela acara sosialisasi pemetaan partisipatif di Desa Adat Les Penuktukan.

Pemetaan di Wilayah Adat Les Penuktukan
Masyarakat Adat Desa Les Penuktukan menyambut baik sosialisasi pemetaan wilayah adat. Jro Pasek, salah seorang perwakilan dari Desa Adat Les Penuktukan berterimakasih atas sosialisasi yang dilakukan. Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada AMAN Bali yang akan mendampingi pemetaan wilayah adat Desa Adat Les Penuktukan.

Jro Pasek berharap Desa Adat Les Penuktukan bisa menjadi contoh bagi desa-desa adat lain yang belum melakukan pemetaan wewidangan desa adat. “Semoga ini langkah yang baik untuk pemetaan desa adat Les Penuktukan dan desa adat lainnya di Bali,” katanya penuh harap.

Dalam pemetaan partisipatif ini, Desa adat Les Penuktukan melibatkan 24 orang yang turut serta dalam pemetaan spasial dan pemetaan sosial budaya, 12 orang berasal dari desa Les dan 12 orang berasal dari desa Penuktukan yang terdiri dari Peduluan desa, prajuru adat, dan juga kelian banjar adat.

Desa Adat Les Penuktukan adalah desa adat tertua di Kecamatan Tejakula, Kebupatan Singaraja, Bali. Di mana dalam satuan wilayah adat ini terdiri dari dua banjar adat atau desa dinas yaitu: Les dan Penuktukan. Masing-masing Banjar adat mengelompokkan lagi ke dalam satuan sosial yang lebih kecil yang disebut dengan “Tempek”. Di Banjar Adat Les terdapat 33 tempek, dan di Banjar Adat Penuktukan terdapat 27 Tempek.

Wewidangan Desa Adat Les - Penuktukan merupakan kesatuan komunitas Masyarakat Adat yang tumbuh berkembang serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli yang mengatur rumah tangganya sendiri.

Desa adat Les - Penuktukan berdasarkan bukti petunjuk yang ada dapat diklasifikasikan sebagai Desa Adat Baliaga, yang diperkirakan sudah ada sejak sebelum abad ke-8. Beberapa bukti petunjuk di antaranya dapat dilihat dari keberadaan sejumlah Pura Kahyangan Desa dan Kahyangan Tiga.  Yang membedakan dengan desa adat lainnya adalah dengan adanya prasasti yang tersimpan di Pura Sanggah Desa atau Merajan Desa berangka Tahun Saka Warsa 829 ( Masehi 907).

Bukti lain yang menandakan Desa Adat Les – Panuktukan sebagai Desa Adat Tua Bali Apanaga adalah dilihat dari sistem pemerintahannya yang dipimpin oleh paduluan desa yang dipilih secara ngeririg saketurunan krama nem likur yang artinya sitem pergantiannya berurutan dari 26 orang yang menjadi perangkat adat, misal ada salah satu 26 perangkat adat yang meninggal, maka keturunan langsung yang akan menggantikan tetapi akan memulai dari posisi yang paling bawah, ngeririg disini bisa diartikan berurutan secara siklus dari yang paling bawah naik ke atas, yang atas kembali ke bawah. Sedangkan Paduluan Jro Pasek dipilih melalui musyawarah dan Jro Penyarikan dipilih dari keturunnya yang langsung menjadi Penyarikan.

Kedudukan dan Keputusan Paduluan Desa bersifat kolektif kolegial, yang artinya sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme musyawarah atau pemungutan suara. Sistem ini mengedepankan semangat kebersamaan dan koordinasi antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya.

Wilayah Adat Sumber Kehidupan

Selain berada di ketinggian, wilayah Desa Adat Les – Penuktukan juga berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan laut. Dalam filosofi bali disebut dengan “ Nyegara Gunung”. Di mana keberadaan gunung (dalam hal ini adalah hutan) dan laut berjarak cukup dekat. Antara laut (segara) dan gunung (hutan) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan di gunung (hutan) akan berdampak pada laut (segara). Demikian pula sebaliknya.

Di desa adat Les Penuktukan ada sebuah ritual yang disebut Labuh Gentuh. Ngelabuh Gentuh adalah prosesi ritual tawur yang bertujuan untuk memohon keharmonisan alam. Prosesi ini menggunakan sarana upacara berupa hewan kurban, fungsi upacara sesungguhnya mengingatkan umat agar selalu melakukan atau menjaga kelestarian alam. Selain itu, Desa Adat Les Penuktukan setiap satu tahun sekali melakukan ritual adat yang disebut dengan sedekah laut sebagai wujud terima kasih masyarakat kepada laut yang telah memberi penghidupan. Upacara ini dilakukan oleh seluruh keluarga nelayan dengan bersembahyang di pura dalem dengan menyajikan babi guling dan berbagai sesajen lainnya yang kemudian dihanyutkan ke laut.

Karena berada di wilayah gunung dan pesisir, mayoritas warga desa adat les penuktukan adalah petani dan nelayan. Desa adat Les Penuktukan sendiri memiliki Sumber Daya alam yang sangat melimpah, beberapa sumber penghidupan warga Desa Adat Les Penuktukan adalah kelapa, coklat, cengkeh, mangga, rambutan, lontar (diolah menjadi gula juruh, tuak dan arak), aren (diolah menjadi gula aren, tuak, dan arak). garam, ikan laut.

Selain itu, ada banyak sumber pangan di desa adat Les Penuktukan, ada pula beberapa tanaman obat. Di antaranya adalah kantawali atau brotowali untuk mengobati rematik, kecibeling untuk menurunkan gula darah, jambu biji merah untuk menaikkan trombosit darah, sembung untuk obat penurun panas dan demam.

Ada pula tanaman jarak yang berfungsi sebagai obat sakit gigi, mengkudu untuk mengobati panas dalam, sambiroto untuk penurun panas, jahe untuk mengobati masuk angin, kencur untuk mengobati penyakit batuk. Kunyit bisa digunakan untuk mengobati penyakit maag, daun delima biasanya untuk mengobati panas dalam, sementara daun intaran sebagai antiseptik. Lidah buaya untuk penyubur rambut, daun nangka kuning untuk masker, boreh untuk ibu menyusui, dan masih banyak lagi.

***

Menurut Jro Pasek, desa adat perlu memiliki data dan peta, baik peta wewidangan maupun peta potensi. Dengan adanya data dan peta yang akurat, sebutnya, desa adat akan dapat membangun perencanaan yang lebih baik untuk menjamin kedaulatan atas ruang hidup dan penghidupan bagi Masyarakat Adat setempat.

Oleh karena itu, Desa Adat Les Penuktukan sebagai salah satu anggota AMAN Bali dengan dukungan program kerja dari Pengurus Besar AMAN, akan melakukan pemetaan wewidangan desa adat untuk memastikan kejelasan batas-batas dan potensi yang dimiliki baik peta fisik/spasial maupun peta sosial budaya secara partisipatif oleh Masyarakat Adat Desa Adat Les Penuktukan.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bali