Oleh Thata Debora Agnessia

Kalimantan Tengah memiliki banyak kampung adat, salah satunya bernama “Panahan”. Kampung adat yang terletak di ujung Kalimantan Tengah ini jarang disebut namanya.  Nama kampung ini juga mungkin tidak pernah muncul dalam cerita besar tentang sejarah bangsa, tapi di kampung ini banyak ditemukan kisah manusia.

Kampung adat Panahan yang terletak di desa Panahan, Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah ini biasa disebut “Tanah Moyang”.  Sebuah tempat yang tidak hanya menjadi ruang tinggal, tetapi ketika menyebutnya sebagai "Tanah Moyang" ada lapisan makna yang lebih kaya di sana.

Di kampung adat Panahan, pagi datang dengan cara yang sedikit berbeda. Dikelilingi bukit, matahari baru mulai tampak sekitar pukul 07.00 Wib, disertai kokok ayam yang memecah kesunyian. Sesekali terdengar suara babi peliharaan yang kelaparan.

Dari dapur rumah, mengepul asap dari tungku tradisional. Tercium aroma kayu bercampur harum kopi hitam pekat yang diseduh dengan kesederhanaan. Ibu-ibu menyiapkan sarapan seadanya: nasi hangat dengan ikan asin, ditemani sambal pedas yang dibuat dengan cobek batu. Semua terasa begitu nikmat.

Setelah sarapan, semua orang melakukan pekerjaan masing-masing. Berkebun, sekolah, menebas, dan sesekali ada anak kecil yang berlarian di halaman rumah. Beberapa diantara mereka bermain kelereng, lainnya lompat tali dan ada juga yang mengejar bayangan masing-masing.

Sementara, anak-anak yang lebih besar duduk bersenda gurau di anak tangga tetua adat. Mereka mendengarkan cerita dari tetua adat yang sedang duduk menyirih. Tak ada gadget di tangan mereka, tak ada notifikasi yang mengganggu. Yang ada hanya obral seru yang terdengar sampai jauh.

Di jalanan, setiap jengkal tanah kampung menyimpan cerita. Jalanan di kampung tidak mulus dan luas. Hanya jalan setapak menuju sungai Arut, tempat anak-anak belajar berenang. Di ujung sungai Arut  dikelilingi bebatuan besar, yang menjadi tempat duduk favorit untuk menikmati ketenangan alam yang masih asri. Ada hutan yang masih hijau seperti tak pernah disentuh oleh manusia, suara air dan suara kicauan burung menjadi musik alam yang menenangkan jiwa.

Namun, waktu tak pernah berhenti. Kampung adat Panahan, seperti halnya kampung lain, perlahan berubah. Anak-anak yang dulu bermain kelereng kini tumbuh besar dan memilih merantau ke kota. Sebagian besar pulang hanya saat perayaan besar. Rumah-rumah kayu yang dulu penuh kehidupan mulai berganti dengan tembok beton yang dingin. Jalan-jalan tanah sudah sebagian diaspal, menggantikan suara sepatu yang bersentuhan dengan debu, dengan deru knalpot motor.

Dulu,  orang menggunakan mobil pickup untuk membawa bahan pokok masuk keliling kampung sambil menawarkan beras, gula, sayur-mayur, dan kebutuhan lainnya. Namun kini, suasana ini semakin jarang dijumpai di kampung. Warga lebih memilih pergi ke kota untuk berbelanja, memilih kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan minimarket modern. Hutan yang dulu lebat kini perlahan gundul akibat kekuatan modal atasnama pembangunan. Rumah-rumah baru, pola hidup masyarakat yang baru pelan-pelan mengubah wajah kampung, meninggalkan kenangan masa lalu yang semakin memudar.

Sungai yang dulu jernih dan menjadi sumber kehidupan kini mulai tercemar, tergerus oleh aktivitas manusia yang tak lagi menghiraukan dampaknya. Pembangunan membawa perubahan yang begitu cepat, tetapi sering kali mengorbankan keaslian dan keseimbangan alam. Masyarakat yang dulu hidup dekat dengan alam, kini mulai terasingkan dari tradisi dan cara hidup yang lebih sederhana. Mereka lebih terikat pada rutinitas sehari-hari yang dibentuk oleh kebutuhan modern.


Deforestasi di kampung adat Panahan. Dokumentasi AMAN

Deforestasi Mengubah Peradaban Kampung

Elisa, salah seorang tetua adat di kampung Panahan yang ditemui di kediamannya pekan lalu  bercerita tentang bagaimana perubahan di kampung ini terjadi begitu cepat. Perempuan berusia 79 tahun ini tidak menampik perubahan yang ada di kampung mereka ini terjadi akibat deforestasi.

"Dulu, di Panahan semua bergantung pada hutan. Kami berburu, bertani, mengaret dan mengambil kayu secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi sekarang, saya khawatir ke depannya hutan kami tak ada lagi," kata Elisa sambil menghela napas panjang.

Kekhawatiran Elisa bukan tanpa alasan. Sebuah lembaga non-pemerintah Save Our Borneo (SOB) melakukan monitoring deforestasi pada sekitar 35 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Tengah. Hasilnya, PT Korintiga Hutani (PT KTH) yang beroperasi dekat dengan desa Panahan, Kecamatan Arut Utara menjadi salah satu perusahaan penyumbang deforestasi terbesar yakni mencapai 84.012,30 hektar. Ke depannya ada potensi hutan yang dibuka lagi sebesar 10.372 hektar.

Hutan dan lingkungan yang berubah juga mengubah cara hidup masyarakat, hingga anak muda yang akhirnya memilih meninggalkan kampung Panahan dan merantau ke kota.

Elisa mengungkap perubahan yang terjadi akibat deforestasi ini cukup mempengaruhi kehidupan di kampung.

Sekarang ini, katanya, jarang anak muda yang mau tinggal di kampung. Mereka lebih suka kerja di kota, cari uang yang banyak. Padahal di kampung, imbuhnya, kalau kita mau kerja keras, hidup bisa cukup.

“Tapi, zaman sudah berubah. Orang tua seperti kami hanya bisa berharap mereka ingat kampung halaman dan mau pulang," ujarnya dengan nada lirih.

Hal senada disampaikan Amin. Pria berusia 50 tahun ini menjadi tulang punggung keluarga yang telah menyaksikan pergeseran budaya di Panahan.

Amin mencontohkan dulu, anak-anak masih diajari mengayam atau menanam padi. Sekarang, katanya,  sudah jarang meskipun masih ada sebagian anak yang melakukannya.

“Tradisi mulai hilang karena anak-anak lebih tertarik pada hal baru yang mereka lihat di internet," kata Amin sambil mengarahkan matanya menatap ke arah langit, seolah mencari jejak masa lalu yang per lahan menghilang.

Amin pesimis anak-anak kampung Panahan dapat mempertahankan budaya dan tradisi yang telah dibangun oleh leluhur. Namun, ia masih menaruh secercah harapan kepada anak-anak kampung manakala mereka masih mau belajar.

"Kalau kita masih mau mengajarkan dan anak-anak mau belajar, masih ada harapan. Tapi kalau tidak, mungkin nanti tinggal cerita saja," tuturnya.


Anak muda lebih memilih kerja di kota. Dokumentasi AMAN

Makna Tanah Moyang

Percakapan dengan para tetua adat ini membuat kita harus berpikir lebih dalam tentang makna tanah moyang. Tanah moyang tetap tanah moyang. Ia mungkin berubah secara fisik, tetapi ada sesuatu yang abadi di sana. Ada ketulusan yang tak pernah luntur, ada rindu yang selalu terasa saat langkah kaki jauh dari tempat itu. Sebuah tempat seperti seorang ibu yang tak pernah marah, meski anak-anaknya memilih meninggalkannya, bahkan menyakitinya. Ia tetap menunggu, dengan sabar, tanpa protes, hingga akhirnya kita memutuskan untuk pulang.

Pulang ke tanah moyang bukan hanya soal kembali ke tempat asal. Lebih dari itu adalah perjalanan untuk menemukan diri sendiri. Di tengah aliran sungai yang tenang dan hembusan angin yang membawa aroma rumput, kita seperti diajak mengingat siapa kita dulu sebelum segala ambisi kota mengubah pandangan kita tentang dunia. Di sana, kita diajak berhenti sejenak, merenungi apa yang benar-benar penting dalam hidup.

Tempat itu, yang dulu penuh dengan keceriaan dan kebersamaan, kini mulai menyisakan kesepian, tergerus oleh waktu dan perubahan yang tak terhindarkan. Namun, di balik semua itu, ada harapan agar warisan budaya dan kearifan lokal tidak hilang begitu saja.

Orang muda harus berusaha mempertahankan tradisi, yang tua harus mengajarkan mereka cara menanam padi dengan tangan, cara membuat kerajinan dari alam, dan cerita-cerita dari leluhur yang mengajarkan nilai kebersamaan dan penghormatan terhadap alam.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah