Oleh Albertha Siska, Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Utara

Masyarakat adat tidak bisa terpisahkan dengan tanah atau wilayah adatnya. Hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan budaya yang khas, mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannnya dengan hukum dan kelembagaan adat, serta berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya.

Di pedalaman Kalimantan Utara (Kaltara), Masyarakat Adat Dayak di Desa Long Sam hidup berdampingan dengan alam. Berlatar budaya berburu dan meramu, mencari binatang dan ikan, mengumpulkan hasil hutan; rotan, daun, gaharu, sarang burung wallet. Mengumpulkan sumber dan bahan makanan dari hutan serta perladangan bergilir, bergantung pada musim.

Perjalanan dari ibu kota Kaltara, Bulungan, menuju Desa Long Sam ditempuh dalam waktu tiga hingga empat jam melalui jalur darat dan air. Dengan kondisi jalanan darat yang belum sepenuhnya beraspal, jalan tanah berbatu, berlubang, dan beberapa bagian jalan berkubangan air dan lumpur, dan ketika musim panas jalanan kering dan berdebu. Medan yang berat ini menghambat perjalanan dan dapat membahayakan pengendara yang melaluinya.

Masyarakat Adat Dayak Ga’ai menjadi bagian dari salah satu rumpun Masyarakat Adat yang berada di Desa Long Sam dengan memanfaatkan hutan dan segala isinya sebagai pusat penghidupan. Hutan dan segala isinya, selain menjadi sebagai salah satu sumber pendapatan juga sebagai perpanjangan tradisi leluhur turun temurun, melestarikan budaya leluhur atau kearifan lokal kehidupan Masyarakat Adat itu sendiri.

Masyarakat Dayak Ga’ai mengolah sumber daya alam yang ada di sekitar dengan cara tradisional. Dalam struktur adat, tidak saja laki-laki yang bekerja, perempuan pun turut berpartisipasi. Berladang secara gotong royong, produksi hasil hutan bukan kayu untuk membuat kerajinan anyaman cinderamata dan peralatan penunjang kebutuhan sehari-hari, meramu, hingga berkebun sayur mayur di sekitaran rumah.

Aktivitas berburu dan menangkap ikan sebagai salah satu sarana perpanjangan tradisi budaya leluhur atau kearifan lokal, diejawantahkan dengan melibatkan para pemuda adat. Generasi muda menjadi terbiasa dekat dan menyatu dengan alam dan diharapkan mampu menerima dan menjaga ajaran tradisi budaya leluhur.

Sistem teknologi yang digunakan oleh Masyarakat Adat ini relatif sederhana, seperti peralatan yang digunakan umumnya berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pertanian, berburu, menangkap ikan dan membangun rumah.

Adapun peralatan yang digunakan untuk berburu dan mencari ikan adalah haruk (sampan), besay (dayung), lus (peralatan berburu seperti tombak), puot (sumpit), Luwak (jerat), seueh (ranjau), semat (peralatan menangkap ikan seperti pancing), wouw (bubu), lego (tangguk), kelbong (pantau), jela (jala), tuen (pukat dan peralatan lain yang biasanya digunakan saat ke hutan yaitu belanyat), kawung (sebuah anyaman dari rotan sebagai tas gendong, bakul), kenjang (tikar daun), hung (saung), dll. Sementara untuk pelindung kepala digunakan semacam topi berbahan daun silat berbentuk kerucut yang cenderung berukuran lebih besar dari topi pada umumnya.

Pukat penangkap ikan

Satwa Buruan Hilang dari Habitat

Namun, definisi tentang Masyarakat Adat dan cerita tentang kedamaian kehidupan Masyarakat Adat dengan alam, semakin hari semakin terlihat pudar. Masyarakat Dayak Ga’ai mulai kehilangan sumber penghidupan atau kekayaan alamnya sendiri. Di wilayah hulu sungai kayan termasuk Desa Long Sam sudah ada beberapa perusahaan, seperti sawit, kayu, juga batubara.

Akibatnya, Masyarakat Adat Dayak Ga’ai di Desa Long Sam dalam beberapa tahun ini merasakan berkurangnya populasi ikan di sungai dan juga hewan buruan seakan hilang di wilayah hutan. Berburu dan menangkap atau mencari ikan biasanya di sekitaran hutan dan sungai-sungai yang tidak jauh dari pemukiman. Namun, juga terkadang ada yang memilih untuk berburu di hutan yang lebih jauh hingga menempuh berpuluh-puluh kilometer perjalanan.

“Bagaimana kita mau mendapat hasil buruan sedangkan kita masuk ke hutan sekarang saja bekas kaki binatang pun tidak kita lihat. Ikan pun kita cari sekarang sudah sangat jarang,” ujar Pak Well, salah satu Masyarakat Adat.

Sekarang, ia rata-rata hanya mendapat ikan kecil, kalau ada yang besar paling hanya satu atau dua ekor saja, itu pun sangat jarang dan tidak seperti dahulu saat ikan masih banyak. Kondisi ini membuatnya menjadi semakin jarang pergi ke hutan, dan tentu saja anak-anak muda pun jadi jarang diajak mengenal hutan.

Perempuan-Perempuan adat Dayak Ga’ai.

Satwa buruan dan ikan yang perlahan berkurang dan hilang masih menjadi pertanyaan di kalangan Masyarakat Adat. Masyarakat Adat Ga’ai sampai saat ini belum mengetahui apa penyebab dari hilangnya satwa buruan dan ikan di sungai juga semakin sulit.

“Kami sudah hampir lima tahunan ini jarang makan daging hasil berburu. Daging hasil buruan kini harganya sangat mahal dan biasanya dibawa dari daerah lain yang jauh,” ujar mama-mama Masyarakat Adat Ga’ai.  

Para perempuan adat sekarang juga sudah tidak pernah lagi membuat minyak goreng sendiri dari lemak daging babi karena sudah tidak pernah lagi ada yang dapat babi. “Jangankan babi, binatang kecil pun jarang kita tahu ada orang dapat, kalaupun kita mau buat minyak dari kelapa,” sambung para mama-mama.

Salah satu tradisi yang dilakukan oleh perempuan adat Ga’ai ialah membuat minyak goreng yang berasal dari lemak babi dan ikan. Diolah menjadi minyak goreng dan sebagai bahan pengawet untuk daging secara alami. Namun, saat ini sudah tidak dapat dilakukan lagi karena sudah tidak ada hewan hasil buruan sebagai bahan utamanya.

Ditelisik lebih jauh, hilangnya hewan buruan dan juga ikan di sungai, bukan saja kehilangan sumber pangan utama. Lebih dari itu, hilang pula ajaran dari tradisi leluhur. Masyarakat Adat Ga’ai menjadi kesulitan mengajarkan hal itu kepada generasi muda, yang artinya akan ada ancaman terputusnya pengetahuan Masyarakat Adat Ga’ai.

Pemetaan Wilayah Adat untuk Melindungi Hutan

Masyarakat Adat Ga’ai memiliki hubungan dekat dengan lingkungan, terutama dengan hutan. Sumber daya alam menjadi motivasi tersendiri bagi Masyarakat Adat Ga’ai dalam menjaga dan melindungi hutan. Ikatan ini yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lain.

Pemahaman Masyarakat Adat terhadap sistem ekologi dan ikatannya dengan alam selama ratusan tahun, menyadari betul atas perubahan dalam lingkungan sekitarnya. Situasi ini mendorong Masyarakat Adat Ga’ai melakukan proses pemetaan wilayah adatnya, agar segera mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.

Wilayah adat Masyarakat Adat Dayak Ga’ai

“Alasan mengapa rencana lokasi hutan adat kita diambil bagian yang jauh dari daerah permukiman, itu untuk menjaga tingginya potensi kepunahan satwa serta keberagaman hayati baik flora maupun fauna,” ujar Yunus Lihiu, salah satu anggota Dewan AMAN Wilayah Kaltara.

Ia, mewakili suara Masyarakat Adat Ga’ai berharap hutan dan isinya tetap terjaga, satwa dapat berkembang biak dan bertambah banyak, hutan tidak mudah dijamah atau d ambil oleh orang-orang-orang dari luar. Masyarakat adat Ga’ai Kung Kemul Long Sam hingga saat ini masih berupaya melanjutkan pemetaan wilayah adat agar segera mendapat SK pengakuan dan perlindungan hukum, demi menjaga wilayah adat dari berbagai macam ancaman ke depan.