Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Di tengah sebuah rapat, di mana saya turut hadir, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional Abdon Nababan menyinggung tentang TIM 11 Ajak Tutup TPL yang tiba di Jakarta pada Selasa lalu (27/7/2021). Abdon bilang kalau seseorang harus membahas tentang profil satu perempuan di antara mereka. Menurutnya, ia istimewa.

TIM 11 merupakan akronim dari tiga kata - yaitu “tulus, ikhlas, militan” - yang merepresentasikan kampanye dan protes damai dari sebelas orang yang melakukan aksi jalan kaki untuk menyerukan penutupan PT Toba Pulp Lestari yang disingkat Ajak Tutup TPL. Itu dilakukan sebagai bentuk solidaritas sekaligus penyadaran publik atas perampasan wilayah adat, pencemaran lingkungan, serta kekerasan dan penderitaan yang dialami Masyarakat Adat Batak di Danau Toba dan sekitarnya oleh aktivitas TPL.

“(Dia adalah) perempuan terkuat yang pernah saya kenal, baik fisik maupun mental,” ucap Abdon. “Perempuan hebat dan luar biasa!”

Potret Anita Martha Hutagalung atau Oni. Sumber foto: Dokumentasi pribadi.

Ibu Rumah Tangga dengan Kesibukan Segudang

Namanya adalah Anita Martha Hutagalung. Tetapi, ia lebih suka disapa dengan Oni. Kehadirannya spesial. Hanya terdapat dua perempuan di TIM 11, salah satunya Oni. Ia menjadi yang tertua dari semua anggota kelompok tersebut. Umurnya 54 tahun.

“Baru pra-lansia,” kata Oni sambil setengah tertawa mengoreksi ucapan saya yang mengategorikan ia sebagai wreda. Ia benar sebab menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batasan minimum usia lansia adalah 55 tahun.

Dengan rendah hati, ia meminta saya memanggilnya Oni saja yang baginya punya arti terhormat sebagai perempuan Batak yang sudah menjadi seorang nyonya. Ia ibu dari tiga anak lelaki dan nenek dari dua cucu. Ia memutuskan melajang sejak suaminya meninggal. Kita tentu menaruh hormat pada peran yang dipilihnya: seorang perempuan kepala keluarga.

Sosok Oni bukan kali pertama menjadi perhatian publik. Beberapa tahun belakangan, berbagai unggahannya pada media sosial, viral dan diperbincangkan. Nenek kelahiran Sumbul, Sidikalang itu kerap membagikan berbagai pandangan dan aktivitas sehari-harinya terkait keluarga. Mungkin hal tersebut punya kesan yang umum atau biasa, tapi tentu tidak bagi orang-orang Batak. Ia memiliki kesadaran, kejujuran, dan keberanian sebagai seorang perempuan yang mengkritik nilai-nilai yang mengutamakan kepentingan lelaki.

“Patriarki di Batak itu jelas sekali,” ungkapnya. “Misalnya, perempuan Batak harus punya anak lelaki. Penentu keputusan juga lelaki. Dan, yang bicara di adat, itu lelaki. Perempuan identik (dengan) urusan dapur dan sawah. Itu yang buat aku selaku ibu dan perempuan Batak, membuat kritik melalui tulisan. Itu yang saya dobrak. Jadi, kesetaraan gender di situ seperti berbenturan. Itu yang sering aku buat dalam tulisan sederhana, sehingga bisa dipahami dengan mudah.”

Salah satu komentar Oni yang sempat bikin gaduh dunia maya, terjadi tahun 2018. Ia dianggap “mengusir” menantunya. Namun, bukan itu pesan yang hendak ia bagikan.

“Ketika itu, aku tulis postingan mengenai perkawinan anakku. Begitu dia berumah tangga, aku tak izinkan (tinggal) di rumah, padahal di rumah aku sendiri dan lega,” katanya. Bagi orang Batak, apa yang dilakukannya tersebut bukanlah kewajaran. Tapi, ia punya alasan kuat. “Menurutku, orang Batak itu kalau anaknya berumah tangga, menantu (perempuan) tinggal di rumah (orangtua pihak lelaki) dan menantu disuruh bereskan rumah tangga. Aku mau membebaskan menantuku.” Status Facebook-nya pun direspon puluhan ribu orang.

Dari tulisan-tulisan sederhananya pada media sosial tersebut, lahirlah buku berjudul Kek Ginilah Caraku Mengajar Anak yang terbit pada 2019.

Sampul buku karya Oni yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Sumber foto: Penerbit Aseni.

Kesadaran, kejujuran, dan keberanian Oni tidak muncul begitu saja, melainkan telah ia pupuk cukup lama. Ia selalu menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga. Namun, kesibukannya segudang di luar rumah. Gereja menjadi salah satu kendaraannya.

“Kebetulan Oni itu di gereja sebagai pengurus perempuan. Saya juga aktif di women’s crisis center (pusat penanganan krisis perempuan) untuk pendampingan perempuan korban kekerasan,” ungkapnya. “Dari situ, Oni bertemu jejaring dari teman ke teman yang concern (menaruh perhatian) pada orang yang termarjinalkan dan orang-orang yang bergerak pada (bidang) lingkungan dan literasi.”

Atas Nama Cinta pada Danau Toba

Menjadi bagian dari TIM 11 Ajak Tutup TPL, tidak pernah direncanakan oleh Oni sebelumnya. Banyak orang menganggapnya sekadar bercanda kala ia membalas status Togu Simorangkir di media sosial. Togu menyatakan niatnya untuk berjalan kaki dari Danau Toba ke Jakarta setelah pecahnya peristiwa berdarah di Natumingka, Borbor, Toba, di mana Masyarakat Adat yang hendak melindungi hutan adat mereka dari penebangan dan penanaman eukaliptus, bentrok dengan ratusan pekerja TPL yang melempari warga dengan kayu dan batu.  Ada sedikitnya 12 warga adat mengalami luka serius, termasuk para ibu dan lansia.

Perempuan kelahiran 12 September 1967 itu mengakui kalau perkataannya untuk ikut berjalan dengan Togu, terlontar secara spontan. Tapi, Oni ternyata tidak main-main. Tak ada keraguan secuil pun ketika itu menyangkut kecintaannya pada Danau Toba.

“Ada banyak nilai yang bergeser,” jawabnya ketika saya bertanya apa yang membuatnya tergugah untuk ikut Ajak Tutup TPL. “Orangtua dan anak jadi bermusuhan. Misalnya, anaknya kerja di TPL, sementara orangtuanya yang masih terikat adat, merasa tersinggung.” Ketersinggungan yang dimaksudkan Oni itu merujuk pada peristiwa perampasan wilayah adat dan penghancuran berbagai situs, termasuk kuburan leluhur, yang dilakukan oleh pihak perusahaan di kawasan yang diklaim sebagai konsesi mereka.

Awalnya, Oni hanya mengenal Togu Simorangkir dan anaknya yang bernama Bumi Simorangkir di TIM 11. Lainnya baru ia kenal saat melakukan aksi yang dimulai dari Makam Sisingamangaraja XII di Balige dengan doa dan pemberkatan oleh para tetua adat dan Masyarakat Adat Batak. 

Selain peristiwa Natumingka, Oni juga terkenang aksi protes yang pernah dilakukan oleh mamak-mamak menuntut penutupan TPL.

“Ada mamak sampai buka baju, telanjang,” kenangnya. “Itu hal yang memalukan karena (mereka sudah) tak tahu lagi mau apa…. Itu masih kuingat di kepalaku. Jadi, bukan karena (peristiwa di) Natumingka saja. Aku geram sekuat apa TPL ini, sehingga masih dipertahankan.”

Oni mendapat dukungan penuh dari keluarga dan kerabat atas keputusannya ikut berjalan sejauh 1.700 kilometer selama 44 hari perjalanan. Sebelum berangkat, Oni melakukan sejumlah persiapan atas saran anak ketiganya, termasuk dengan mengontrol kondisi kesehatan dan latihan berjalan kaki didampingi pelatih. Selama mewujudkan misi mencapai garis finish di Istana Kepresidenan Jakarta dan berjumpa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan aspirasi Masyarakat Adat Batak, ia mampu berjalan kaki selama delapan sampai sepuluh jam per hari. Tak ada ramuan khusus di balik stamina yang luar biasa itu, kecuali api semangat untuk menyelamatkan Danau Toba dan - tambahnya, memberi tahu saya satu rahasia - konsumsi tiga telur yang direbus tujuh menit setiap hari.

“Banyak yang buat saya speechless (tak mampu berkata-kata),” komentarnya ketika saya bertanya pengalaman yang tak terlupakan selama melakukan perjalanan. “Saya baru tahu, ada penggemar atau follower (pada Facebook saya) itu sampai ke pelosok di tiap kota, bahkan sampai di Pasar Rumput (di Jakarta) itu ada. Mereka sampaikan semangat dan bawa makanan. Ada (dari mereka) yang beri rumah untuk kami singgahi.”

Oni berbagi foto, video, pesan, dan bermacam kabar lewat Facebook-nya tentang keseharian ia dan kawan-kawan selama melakukan Ajak Tutup TPL. Rekan-rekan seperjuangannya pun tak segan untuk mengutarakan kekaguman melihat ia yang sudah menjadi nenek itu, punya semangat dan stamina yang memang tak perlu diragukan lagi. Seringkali, Oni berjalan di barisan paling depan.

Pada siang tanggal 27 Juli 2021, TIM 11 Ajak Tutup TPL tiba di ibu kota, tepatnya di Jl. Sisingamangaraja. Namun, perjalanan mereka sempat dihadang aparat kepolisian yang telah dipersiapkan untuk menyambut mereka dengan sikap dingin di kawasan Patung Pemuda Membangun di Senayan. Mereka dipaksa untuk melakukan tes antigen. Kala itu, hanya hasil tes Togu Simorangkir yang dinyatakan reaktif. Rombongan pun dialihkan ke Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, namun ditolak. Mereka diminta bergeser ke Rusun Pasar Rumput yang dijadikan tempat isolasi, lalu dibawa lagi ke kantor kepolisian setempat dengan alasan untuk pendataan. Esoknya, hasil lanjutan tes Togu Simorangkir ternyata negatif.

Saya bertanya pada perempuan yang gemar mengenakan penutup kepala dari kain tenun bernama bulang sumapei itu, apa langkah lanjutan yang hendak dilakukan TIM 11 Ajak Tutup TPL setelah sempat tertunda.

“Menunggu saja arahan,” jawabnya enteng. “Kalau jalan, ayo jalan! Jadi, kami masih dalam proses menunggu. Ajak Tutup TPL ini ‘kan jalan kaki dari Balige ke Istana. Itu dulu mau kami tuntaskan. Perkara jumpa Jokowi, ya harus seizin Jokowi.”

Saat ini, tersisa delapan kilometer saja untuk mereka kembali berjalan kaki dari lokasi di mana mereka sempat dihadang aparat, untuk menuju ke Istana Kepresidenan Jakarta di Jl. Medan Merdeka Utara No. 3, Gambir.

“Harapan saya, Jokowi mau mendengar atau menerima aspirasi dari kami yang mewakili Masyarakat Adat Batak dan masyarakat Sumatera Utara yang mencintai Danau Toba. Jokowi ‘kan concern banget membuat Danau Toba menjadi lebih baik, tapi kalau ada pabrik rusak lingkungan, itu sia-sia,” tegasnya.

Sebagai ibu dan juga nenek, Oni bilang kepada saya betapa dengan melihatnya anak-anak dan cucu-cucunya, ia sepatutnya membayangkan kelak bagaimana wilayah adat maupun lingkungan hendak diwariskan. Menurutnya, ia pun punya hutang dan tugas dalam menjaga alam dan budaya di Tano Batak untuk para penerusnya.

 "Mereka (generasi mendatang) punya hak untuk menikmati Danau Toba. Itu harapan,” ucap Anita Martha Hutagalung.

***