
Ithuk-Ithukan : Simbol Pelestarian Tradisi Masyarakat Adat Osing Rejopuro
30 Mei 2025 Berita Zenba Bimbi Galuh PermataOleh Zenba Bimbi Galuh Permata
Masyarakat Adat Osing Rejopuro bersuka cita menggelar ritual Ithuk-Ithukan di Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tahun ini, ritual Ithuk-Ithukan dilaksanakan pada Sabtu, 10 Mei 2025. Ritual yang dipercaya telah ada sejak tahun 1617 ini tetap dipertahankan dengan penuh kesakralan dan kebersamaan. Ithuk-Ithukan ini menjadi simbol pelestarian tradisi Masyarakat Adat Osing Rejopuro, yang mengajarkan tentang rasa cukup, kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, dan kedekatan dengan alam.
Ithuk berasal dari istilah bahasa Osing : Gathuk, yang berarti "bertemu". Ini merujuk pada cara pembuatannya—dua sisi daun pisang dilipat dan dipertemukan, lalu disematkan lidi sebagai pengunci.
“Eh, gathuk, eh thuk,” ucap Sarino, Ketua Adat Dusun Rejopuro saat menjelaskan asal-usul nama Ithuk.
Sarino menerangkan ritual Ithuk-Ithukan adalah bukti bahwa kesederhanaan bisa menjadi kekuatan. Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas limpahan rezeki, khususnya dari makanan. Di tengah arus modernitas, sebutnya, ritual ini menjadi pengingat bahwa keberkahan sering kali hadir dalam bentuk yang paling sederhana.
“Dulu, para leluhur memilih wadah daun pisang sebagai lambang kesederhanaan, dengan harapan masyarakat dapat hidup cukup dan tidak sampai kelaparan. Dari semangat itu, ritual Ithuk-Ithukan ini diwariskan turun-temurun sebagai pengingat pentingnya hidup selaras dengan alam dan rezeki yang diberikan,” terang Sarino.
Salah satu prosesi yang menarik dalam ritual ini adalah arak-arakan ithuk. Wadah berisi nasi dan lauk diarak keliling kampung oleh ibu-ibu, disusun rapi dalam tampah yang disunggi di atas kepala. Sebelum diarak, semua makanan terlebih dahulu didoakan oleh pemimpin adat. Selama prosesi, masyarakat berjejer rapi di sepanjang jalan, menanti pembagian ithuk tanpa berebut, karena diyakini bahwa makanan dalam ithuk membawa keberkahan setelah didoakan.
Isi ithuk sangat beragam, dengan menu utama pecel pitik - sebuah sajian khas Osing. Di dalamnya bisa ditemukan pula lauk lain seperti telur dadar, tumis labu siam, tumis pepaya muda, tahu bumbu kuning, ati ampela goreng, mie goreng, dan lainnya. Meski porsinya kecil, makanan dalam ithuk bukan untuk mengenyangkan perut, melainkan untuk menyerap makna keberkahannya.
Suasana ritual Ithuk-Ithukan di Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Sehari sebelum puncak acara, masyarakat melakukan ziarah ke makam dua leluhur yang diyakini sebagai penggagas ritual ini: Buyut Jiyan dan Buyut Tok. Ziarah ini sebagai bentuk penghormatan dan pengingat akan akar tradisi yang harus terus dijaga.
Pada hari pelaksanaan, arak-arakan ithuk akan berakhir di Sumber Mangaran, sebuah tempat yang dianggap sakral. Di sana, masyarakat menggelar tikar, duduk bersama, dan menikmati hidangan yang dibawa dari rumah. Menu utamanya tetap pecel pitik.
Pemimpin adat kemudian meletakkan sesaji dan banyu arum—air rendaman bunga yang digunakan sebagai simbol kesucian. Jenis bunga yang digunakan fleksibel, sesuai ketersediaan, karena esensi ritual ini adalah kesyukuran, bukan kemewahan.
“Yang penting semua bisa makan, tidak boleh ada yang kelaparan,” ujar Samsiyah, salah seorang Masyarakat Adat Osing yang ikut dalam ritual tersebut.
Kegiatan makan bersama berlangsung dalam suasana kekeluargaan, saling berbagi dan menawarkan makanan antar warga. Minuman tidak dibawa dari rumah; masyarakat langsung meminum air dari sumber yang diyakini suci, dan membawa pulang air itu dalam wadah kosong sebagai bagian dari berkah yang ingin mereka simpan.
Uniknya, selesai acara, masyarakat menjaga kebersihan dengan membawa pulang kembali sampah masing-masing. Bahkan, beberapa warga sengaja membawa kantong plastik untuk dijadikan tempat sampah sementara, menunjukkan kesadaran ekologis yang tinggi.
Rangkaian ritual ditutup dua hari kemudian dengan prosesi Mocoan Lontar Yusup yaitu pembacaan naskah lontar kuno oleh orang yang telah ditunjuk oleh panitia. Namun, bagian ini menghadapi tantangan serius. Minimnya minat generasi muda untuk belajar membaca lontar membuat masyarakat khawatir akan keberlanjutan tradisi ini.
“Syukur, sekarang banyak anak muda yang ikut nguri-uri budaya, tapi sayangnya belum ada yang mau belajar membaca lontar. Saya berharap ke depan banyak generasi yang berminat,” kata Sarino sembari berharap AMAN Osing bisa menjadi wadah belajar mereka.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Banyuwangi, Jawa Timur