Pidato Sekretaris Jenderal AMAN - Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, 17 Maret 2019
18 Maret 2019 Berita Rukka Sombolinggi
“Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar, Mengedepankan Solusi”
Hidup Masyarakat Adat!
Masyarakat Adat Bangkit Bersatu! Berdaulat!
Bangkit Bersatu! Mandiri!
Bangkit Bersatu! Bermartabat!
Pertama-tama, ijinkan saya menyampaikan hormat kepada semesta, para leluhur Masyarakat Adat, dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta untuk kebahagiaan kita pada hari yang sangat bersejarah ini.
Bapak, ibu, saudara-saudaraku, pimpinan dan anggota Dewan AMAN Nasional dari 7 region yang saya hormati, seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, Organisasi Sayap, Badan Otonom dan Lembaga Ekonomi AMAN yang saya banggakan, seluruh Komunitas Anggota AMAN di penjuru Nusantara yang saya muliakan, serta para sahabat yang telah setia berjuang bersama Masyarakat Adat selama ini.
20 tahun lalu, utusan Masyarakat Adat dari seluruh pelosok Nusantara, bersama para pejuang hak-hak Masyarakat Adat berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta, merajut asa menyusun barisan melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara. Kongres pertama ini mendeklarasikan Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan bersepakat membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan bersama untuk meraih pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan hak adatnya yang azasi. Bangkit bersatu bergerak bersama merebut kembali kedaulatan Masyarakat Adat sebagai bagian dari rakyat Indonesia, sebagai warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, juga sebagai penyandang hak-hak konstitusional di dalam Negara Republik Indonesia sesuai amanat UUD 1945.
Mengapa Masyarakat Adat harus bangkit bersatu dan bergerak bersama?
Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya muliakan,
Selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, Masyarakat Adat masih terus mengalami berbagai bentuk penindasan, pengabaian dan perampasan atas hak-hak asal-usulnya. Kemerdekaan Indonesia sebagai Negara-Bangsa di tahun 1945 tidak otomatis membebaskan Masyarakat Adat dari beragam bentuk penjajahan. Bahkan di masa Rejim Orde Baru bentuk-bentuk penjajahan bagi Masyarakat Adat itu terasakan lebih meluas dan jauh lebih berat dari masa-masa sebelumnya. Dimana-mana terjadi perusakan dan perampasan wilayah-wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga adat, serta diskriminasi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya. Oleh sebab itu, sejak pertengahan tahun 1980-an, perlawanan Masyarakat Adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis di berbagai wilayah Indonesia. Situasi ini, kemudian mendorong terbentuknya sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial pada tahun 1993, di Toraja-Sulawesi Selatan. Pembentukan jaringan ini telah menanam benih persatuan perjuangan bersama di kalangan pemimpin gerakan Masyarakat Adat yang terus bertumbuh di seluruh pelosok Nusantara.
Pertumbuhan semangat dan kepemimpinan persatuan gerakan inilah yang kemudian memungkinkan terselenggaranya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama. Lewat Kongres ini, para pemimpin perjuangan Masyarakat Adat menyatukan semangat dan komitmen bersama untuk mengingatkan kembali para penyelenggara Negara dan seluruh elemen bangsa tentang tujuan mulia berdirinya Negara Republik Indonesia, melakukan koreksi atas perjalanan bangsa yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur Pendiri Bangsa sebagaimana dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dan menegaskan kembali posisi Masyarakat Adat terhadap Negara.
Lewat Kongres pertama ini Masyarakat Adat kembali menegaskan posisinya terhadap Negara dalam Pandangan Dasar Kongres yang menyatakan bahwa, “Kami sudah sejak dulu ada sebelum Negara Republik Indonesia.” dan oleh sebab itu, “Jika Negara Tidak Mengakui Kami, maka Kami Tidak Mengakui Negara.”
Bapak, Ibu, Saudara, Saudari sekalian,
Untuk memastikan komitmen perjuangan bersama yang sudah digariskan oleh Kongres inilah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dibentuk 20 tahun lalu. 20 tahun merupakan waktu yang cukup untuk kita merefleksikan secara mendalam perjalanan perjuangan Masyarakat Adat Nusantara. Geliat AMAN sebagai wadah berjuang bagi Masyarakat Adat Nusantara tentunya mengalami pasang dan surut. Dinamika politik nasional dan global kadang bersahabat, kadang tak jarang menghadirkan badai. Pada tingkat internasional, AMAN telah terlibat sejak penyusunan Draf United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) hingga isu Hak Asasi Manusia, perubahan iklim, dan isu-isu lainnya. Sementara di tingkat nasional, AMAN telah berjuang untuk mengubah hukum-hukum yang represif antara lain dengan menguji materi UU Kehutanan yang kemudian melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Juga terlibat aktif dalam Inkuiri Nasional yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang Pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan, mendorong masuknya peta wilayah adat dalam One Map Policy, hingga memperjuangkan masuknya 6 tuntutan masyarakat adat dalam Visi dan Misi Presiden Republik Indonesia yang dikenal dengan NAWACITA. Tidak hanya itu, AMAN juga berjuang hingga daerah dengan mendorong pembentukan produk hukum daerah yang mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya.
Meski tak mudah, AMAN terbukti mampu melalui masa-masa penuh tantangan, mengambil pilihan-pilihan strategis dalam rangka merespon dinamika politik nasional dan global. Sejak berdiri tahun 1999 hingga tahun 2007, AMAN pernah tampil konfrontatif dengan negara untuk menegaskan posisinya terhadap negara, menunjukkan kehadirannya sebagai gerakan sosial yang tumbuh dari realitas sosial di kampung-kampung adat dan sekaligus memperkuat pondasi solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan di antara sesama Masyarakat Adat. Perjuangan konfrontatif ini mendapatkan beragam respon dari penyelenggara negara dan berbagai pihak. Dengan perjuangan yang konsisten, respon positif terhadap kehadiran AMAN terus bertambah. Respon positif inilah yang membantu AMAN mengubah tampilan perjuangan dari konfrontasi ke dialog, full engagement, sejak tahun 2007. Strategi ini kita ambil karena pemerintah mulai menunjukkan keterbukaan pada tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat. Pilihan strategi tersebut mengharuskan AMAN masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan politik dan teknokratik yang berpengaruh pada kehidupan Masyarakat Adat. Organisasi yang bertumbuh cukup stabil di tingkat wilayah dan daerah juga mendukung perubahan strategi ini dengan rasa percaya diri yang lebih kuat.
Banyak tantangan yang kita hadapi dalam melaksanakan strategi ini. Tuntutan Masyarakat Adat tak selalu disambut sebagaimana mestinya. Masyarakat adat yang memperjuangkan haknya termasuk hak atas wilayah adat (Tanah, Hutan, dan Air) sebagian besar menemui jalan buntu. Pemerintah masih saja mempertahankan sikap abai dan memaksakan kehendaknya sendiri untuk menunda, mempersulit atau bahkan dengan sengaja membiarkan pelanggaran-pelanggaran terhadap Masyarakat Adat terjadi di lapangan. Beberapa bukti dari mengakar kuatnya sikap tersebut adalah dengan tidak adanya keberanian untuk mengubah UU Kehutanan yang terbukti menghambat pelaksanaan putusan MK 35/2012. Begitu pula dengan ketidakjelasan sikap pemerintah dalam mempercepat pembahasan RUU Masyarakat Adat yang sudah dijanjikan Presiden dan Wakil Presiden dalam NAWACITA.
AMAN menyadari bahwa berbagai pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat bersumber dari politik hukum yang memang dirancang untuk abai pada kepentingan Masyarakat Adat. Pendekatan dialog dan kemitraan dengan Pemerintah tidak cukup! AMAN harus masuk ke politik elektoral secara bermartabat. Untuk itu, sejak tahun 2009 AMAN mendorong kader Masyarakat Adat untuk ikut bertanding di dalam gelanggang Pemilu dan Pemilukada sehingga mereka dapat masuk di badan-badan legislatif maupun eksekutif sebagai perancang, pembuat dan pelaksana kebijakan publik. Sejak tahun 2009, puluhan kader Masyarakat Adat telah berhasil masuk ke badan legislatif maupun eksekutif terutama di daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor penggerak lahirnya Peraturan-Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di berbagai daerah.
Partisipasi politik Masyarakat Adat tersebut kembali ditingkatkan pada tahun 2019 ini dengan mendorong ratusan kader-kader terbaiknya untuk terlibat di dalam pemilu legislatif. Langkah perjuangan ini didasari pada fakta bahwa berbagai pelanggaran hak Masyarakat Adat disebabkan oleh karena hukum dan kebijakan disusun oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan Masyarakat Adat atau orang-orang yang memiliki kepentingan berbeda dengan Masyarakat Adat. Untuk itu, Masyarakat Adat harus masuk ke dalam proses-proses pengambilan keputusan. Bukan sebagai partisipan, tetapi sebagai aktor pembentukan hukum dan kebijakan. Karena itu, mengutus kader Masyarakat Adat untuk bertanding di Pemilu Legislatif tahun 2019 bagi AMAN adalah pilihan yang tepat. AMAN percaya, bahwa semakin banyak kader Masyarakat Adat di lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif akan membuat tuntutan pengakuan hukum, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat semakin terbuka untuk tercapai. Apakah PEMILU 2019 tanggal 17 April 2019 nanti akan memandu perubahan pendekatan dan strategi lebih lanjut bagi AMAN? Ini pertanyaan buat kita semua para pemimpin dan penggerak AMAN!
Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya banggakan,
Sebagai organisasi yang dibentuk oleh Masyarakat Adat untuk mengorganisir diri sendiri, selama 20 tahun ini, AMAN semakin percaya diri, bahwa perjuangan yang dilakukan secara kolektif mampu meraih perubahan demi perubahan. Meskipun demikian, harus diakui pula, bahwa kekuatan Masyarakat Adat di seluruh nusantara belum secara optimal bergerak bersama. AMAN dihadapkan pada tantangan untuk berani memimpin usaha sistematik dalam melakukan pembaruan hukum dan lembaga adat sehingga prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, emansipasi, dapat dinikmati oleh seluruh warga Masyarakat Adat terutama kelompok perempuan, anak-anak, lanjut usia, orang-orang yang miskin karena perbedaan kelas, budaya, dan penyandang disabilitas.
Bapak Ibu dan saudara-saudaraku yang saya kasihi,
Di depan, tantangan tidaklah ringan. Negara belum sungguh-sungguh berubah. Sikap abai, mempersulit, bertele-tele, membuat lebih rumit, adalah sikap-sikap yang telah berakibat pada mandegnya berbagai agenda perubahan: Putusan MK 35/2012 sejauh ini hanya menghasilkan 30.000 hektar hutan adat, sementara RUU Masyarakat Adat jalan di tempat. Sementara di sisi lain, negara aktif merampas wilayah-wilayah adat. Kasus-kasus yang dialami Masyarakat Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, Masyarakat Adat Rendu di Nagekeo Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Seko di Sulawesi Selatan, dan kasus-kasus lainnya menunjukkan hal itu.
Bapak, Ibu, saudara-saudara yang berbahagia,
Di tengah situasi itulah AMAN membentangkan cita-cita bersama Masyarakat Adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Sebuah cita-cita yang hanya akan tercapai jika AMAN mampu menggalang kebersamaan yang kokoh untuk selalu bergerak bersama. Sementara, AMAN dituntut untuk masuk, melebur dan memperkuat gerakan perubahan bersama dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah.
Perjuangan Masyarakat Adat melampaui rezim, melintasi batas waktu. Kita masih jauh dari cita-cita kita bersama. Namun kita tidak menyerah. Semangat kita berasal dari 2.366 komunitas adat anggota kita yang setia dalam perjuangan, komitmen dari 21 Pengurus Wilayah, 119 Pengurus Daerah, semangat dari Organisasi Sayap AMAN, yakni semua Perempuan Adat yang menyatukan diri dalam Persekutuan Perempuan Adat AMAN, Para pemuda dalam Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Pembelaan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), serta inspirasi dari 2 Badan Otonom dan 3 Badan Usaha yang terus memberikan motivasi bahwa kita bisa!
Hari ini, Minggu, 17 Maret 2019, kita telah 20 tahun bangkit bersatu dan bergerak. Setiap tahun kita merayakannya dan tahun inipun kita merayakannya dengan khidmat, di kampung-kampung adat, di rumah-rumah adat, di lahan-lahan dan wilayah adat kita, di rumah-rumah AMAN yang tersebar di seluruh pelosok. Kita merayakan hari besar ini dengan penuh suka cita dan rasa syukur atas perjalanan gerakan ini. Dengan penuh harapan kita menyerahkan langkah kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa dan bermohon restu para leluhur, agar kehidupan kita terus membaik, sampai suatu saatnya nanti Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang besar ini dapat kembali Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat di Tanah-Airnya sendiri.
Akhirnya, kepada semua Masyarakat Adat di Nusantara, selamat merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara! Selamat Ulang Tahun yang ke-20 AMAN! Teruslah tanggap membela, aktif melindungi dan cepat melayani Masyarakat Adat di mana pun!
Jakarta, 17 Maret 2019
Rukka Sombolinggi
Sekretaris Jenderal AMAN