Jakarta/ Baleg DPR 7 Maret 2013. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memenuhi undangan Badan Legislasi (baleg) DPR untuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU serta memberikan pandangan dan masukan terkait RUU PPHMA yang telah disusun DPR dan baru disosialisasikan pada Februari lalu. Dalam proses awal penggodokan undang-undang ini, AMAN telah berinisiatif menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat pada Baleg, agar masyarakat adat mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah lewat undang-undang. Sekjen AMAN, Abdon Nababan, menyampaikan hal-hal mendasar akan pentingnya lahir Undang Undang PPHMA. Karena hal ini terkait pada ketidakadilan berkepanjangan yang telah dialami masyarakat adat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. “Sejak tahun 1945 dudukan untuk masyarakat adat sebenarnya sudah ada, namun akibat ada kelalaian dan salah urus selama 67 tahun, maka terjadilah konflik-konflik antara pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan BPN versus masyarakat adat. Ketidakadilan tersebut akibat dari pengingkaran dan pengambilalihan hak masyarakat adat (hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat adat), kata Abdon Nababan. Tindakan-tindakan tersebut bahkan nyaris selalu diikuti dengan kekerasan. Kekerasan yang kerap menimpa masyarakat adat ini sebenarnya bisa diselesaikan lewat perlindungan hak-hak masyarakat adat. Dalam perjalanannya nanti bangsa Indonesia bisa bangkit berdaulat dan bermartabat,” papar Abdon Nababan lebih jauh. Kemudian Sekjen AMAN pun memaparkan "usulan perubahan atau masukan" dengan berbagai argumen pokok pikiran yang seharusnya bisa masuk dalam RUU PPHMA. Pokok pikiran yang harus masuk dalam RUU PPHMA.

  1. Judul dan terminologi
  2. Istilah “Masyarakat Adat”
  3. Tentang Pengakuan Bersyarat.
  4. Tentang asas-asas.
  5. Identifikasi, Verifikasi dan Penetapan Masyarakat Adat.
  6. Kelembagaan
  7. Hak Masyarakat Adat
  8. Tanggung jawab pemerintah dengan penjabaran cukup panjang.
  9. Penyelesaian Sengketa
  10. Peranserta Masyarakat
  11. Ketentuan peralihan.
Giliran Noer Fauzy Rachman memaparkan hasil penelitiannya dengan sangat komperhensif hal itu membuat para anggota Baleg terkejut. “Bahwa ada pengalaman pahit rakyat pedesaan yang menyebut diri sebagai masyarakat adat, dalam perampasan tanah sumber dan daya alam itu membuat masyarakat adat memperjuangkan tanah air mereka. Praktek lalim itu dimulai dari penghancuran leburan hubungan kepemilikan rakyat pedesaan atas tanah, sumber daya alam dan wilayahnya dan segala hal ihwal kebudayaan yang hidup dan melekat secara sosial di atas-nya. Kemudian pengakuan negara atas eksistensi masyarakat adat serta lainya adalah jalan tempuh yang akan memulihkan jalur transformasi, komunitas-komunitas masyarakat adat dari sekedar penduduk korban menjadi warga negara dengan seperangkat hak asasi yang melekat padanya,” papar Noer Fauzy. Jika biasanya interupsi itu untuk menyangkal, kali ini interupsi dilakukan Prof Hendrawan dari FPDIP hanya untuk memastikan dapat coppy salinan materi yang disampaikan oleh Noer fauzy Rachman. Anggota Baleg DPR Prof Ismed (PAN) mempertanyakan mengapa bupati yang diusulkan AMAN untuk menetapkan ketentuan masyarakat adat? Bukankah Perda Gubernur atau Kepres lebih punya kekuatan hukum ketimbang seorang bupati? Abdon Nababan menjawab hal itu dengan sederhana bahwa tak perlu masyarakat adat harus ngurus persoalannnya jauh-jauh ke pusat. Biarlah bupati yang mengurusnya, karena representasi pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat adat adalah tingkat kabupaten dan jika nanti itu menyangkut dua wilayah kabupaten barulah ke-tingkat propinsi,” jawab Abdon Nababan yang juga mengingatkan bahwa Banyak sebenarnya di daerah itu yang sudah mengatur dengan baik hak-hak masyarakat adatnya dan bagaimana status Perda tersebut setelah undang-undang ini disahkan?. Nestariani (Gerindra) dia menerangkan bahwa sekarang juga di Komisi II sedang membahas undang-undang pertanahan. Lalu apakah RUU Petanahan tidak kontraproduktif dengan RUU Masyarakat adat menyangkut soal pengadaan tanah? Endang (Golkar) lain lagi, dia menerangkan bahwa saat ini sudah ada otonomi daerah, juga ada undang-undang desa yang sekarang dibahas, lantas bagaimana peran kepala desa sebaiknya nanti? sehubungan dengan keberadaan masyarakat adat? karena kita juga sedang membuat RUU Desa. Sebelum lebih jauh lagi Ketua Baleg, Sunardi Ayub (Hanura) menganulir pernyataan Endang itu karena RUU Desa adalah berbeda dengan RUU PPHMA, demikian Ketua Baleg RUU PPHMA membantah sendiri pernyataan anggota baleg tersebut. Selesai acara formal dengar pendapat, Ketua Baleg bersama para anggota baleg lanjut berdialog secara langsung dengan dengan Sekjen AMAN dan Noer Fauzy Rachman. Kita boleh berharap semoga saja ada titik terang antara Baleg DPR dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantra dalam menyusun undang-undang tentang masyarakat adat ini.//***** JLG