Bogor, 7-8 Desember 2012. Rekomendasi Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN) dari Tobelo, menyoal kesetaraan gender, hak-hak perempuan, ternyata sunyi tak bergaung. Dalam draft RUU PPHMA, versi Baleg DPR maupun draft usulan AMAN belum menyerap aspirasi perempuan adat. Sadar bahwa aspirasi perempuan adat belum sepenuhnya diserap rancangan undang undang tersebut, membuat peserta bersemangat, tertantang untuk saling uji argumentasi saat membahas pasal-pasal bermasalah yang mereka anggap perlu penegasan. Peserta dari aktivis Komnas Perempuan tentu saja lebih menguasai permasalahan menyangkut harkat kesetaraan perempuan dalam perundang-undangan. Acara yang difasilitasi Divisi advokasi Deputi II PB AMAN tersebut dihadiri oleh 23 orang perempuan dari berbagai komunitas adat nasional juga tiga orang dari Komnas Perempuan. Konsultasi berlangsung tanggal 7 – 8 Desember lalu di Hotel Amaris jln Padjajaran 25, Bogor. “Bagi perempuan adat AMAN, konsultasi ini sangat penting sebab RUU PPHMA perlu mendapat masukan dari perempuan adat. Bagaimana perempuan merumuskan point-point sudut pandangnya sendiri, munculnya sudut pandang perempuan adat yang dirumuskan secara interaktif sebagai refleksi persandingan dari dua versi draft rancangan undang-undang itu dan out come inilah yang kita harapkan,” papar staff advokasi Deputi II PB AMAN, Patricia Watimena. Perempuan Adat AMAN sebenarnya sudah belajar secepat kilat lewat pembekalan yang diberikan oleh Dr Kunthi Tridewiyanti.SH.MA, Ketua Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, pada hari pertama. Dalam konsultasi ini hadir sosok Diah dari BPRPI AMAN, Sumut, dengan pertanyaan dan logikanya yang kritis. Bu ida pemangku adat suku Pagu, AMAN, Maluku Utara bercerita mengenai pengalaman empirisnya berjuang melawan klaim konsesi atas tanah adat suku Pagu, ”Bukan karena ada kebijakan yang memberi ruang, tempat bagi perempuan untuk memimpin. Saya merasa terpanggil untuk mempertahankan hak-hak warisan bawaan dari leluhur kami suku Pagu,” ungkapnya dalam sesi konsultasi. Ibu Hemmy Koapaha dari Bantik, Sulawesi Utara, mendorong perempuan adat ikut menyampaikan pikirannya dalam sesi konsultasi. Bu Tanti dari komunitas Pamona, Poso menyatakan rasa senangnya karena jadi bagian dari proses konsultasi ini. “Ternyata ada banyak teman-teman yang mempunyai visi dan misi yang sama. Menurut saya forum ini sangat baik, walaupun kebanyakan dari kami kerja di grass root tapi ada beberapa teman yang memang kerja di link-link kebijakan sehingga kami bisa saling belajar. Interaksi yang terjadi itu membuat kita semakin kaya. Saya berharap point-point yang dihasilkan di sini bisa diakomodir, disetujui oleh Baleg dan bisa secepatnya diputuskan,” katanya berharap. Dari generasi muda Cony Margaretha mengatakan,” Kalo konsultasi yang di Kalbar sendiri, kita bicara tentang masyarakat adat pada umumnya, di sini kita lebih fokus ke perempuan adat. Kalau bicara mana yang lebih penting, keduanya ya sama penting, cuma di sini lebih menarik menyangkut isu perempuannya,” papar Cony Margaretha. Semetara itu Romba Maranu Sombolinggi’ Dewan Perempuan AMAN, menjabarkan pasal apa saja yang dipertimbangkan masuk koreksi. Misalnya tentang Cedaw, konvensi tentang diskriminasi dan kesetaraan gender, prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang jadi landasan hukum perempuan sudah kami masukkan, ada sekitar lima usulan. Intinya pasal 1 tentang defenisi masyarakat adat. Masyarakat adat adalah laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini berpihak pada perempuan ndak?,” pungkas Sombolinggi’. Sebuah harapan perempuan adat terkembang sudah//*****