KONFERENSI PERS ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) Reformasi kehutanan merupakan desakan yang sejak lama disuarakan oleh Masyarakat Adat. Dalam setiap Kongres Masyarakat Adat Nusantara maupun Rapat Kerja Nasional AMAN maupun dalam pertemuan-pertemuan pengurus AMAN pada berbagai tingkatan, kritik terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) merupakan tema yang selalu ada. Kritik dan desakan untuk segera mereformasi peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang dimulai dari UUK didasarkan pada kenyataan bahwa selama 14 tahun UUK diberlakukan, praktis hanya menghasilkan trauma mendalam bagi Masyarakat Adat. UU itu telah menjadi basis legal bagi perampasan wilayah-wilayah adat oleh negara yang sebagian besar diantaranya diikuti dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Umumnya, wilayah-wilayah adat yang diambil itu diserahkan oleh negara kepada sektor-sektor logging dan perkebunan dan juga pertambangan, yang hingga hari ini, terus meminggirkan hak Masyarakat Adat untuk sejahtera serta berdaulat di atas wilayahnya sendiri. Selama 6 bulan terakhir saja UUK telah dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menahan tidak kurang dari 218 anggota Masyarakat Adat di berbagai wilayah di nusantara. Mulai dari tuduhan masuk kawasan hutan tanpa ijin (kasus Datu Pekasa yang akhirnya dipenjara oleh PN Sumbawa) sampai pada tuduhan melawan aparat karena Masyarakat Adat mencoba melindungi Hutan Kemenyan (hutan adat) dari penggusuran oleh perusahaan (kasus Pandumaan Sipituhuta) dan tuduhan lainnya. Menyadari bahwa reformasi hukum di bidang kehutanan sangat penting maka pada tahun 2012, AMAN telah mengajukkan Judicial Review atas UUK No. 41/1999, yang saat ini belum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, masyarakat sipil juga telah mendorong revisi UUK yang saat ini telah masuk dalam Prolegnas 2013. AMAN juga tengah mendorong agar RUU Masyarakat Adat disahkan tahun ini. Adanya UU yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat, menjadi sangat penting untuk memandu berbagai UU lainnya yang berkaitan dengan Masyarakat Adat, termasuk sektor kehutanan. Namun demikian, di tengah carut-marut persoalan kehutanan yang belum terselesaikan ini, dan di tengah upaya Masyarakat Adat dan masyarakat sipil untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih berkeadilan, tiba-tiba Pemerintah bersama dengan Komisi IV DPR-RI justeru diam-diam tengah mempercepat lahirnya UU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P2H). Secara proses, terdapat indikasi bahwa pembahasan RUU P2H ini dilakukan secara tertutup dan diam-diam. Masyarakat Adat yang sangat tergantung pada hutan dan merupakan pihak yang paling akan terkena dampak dari UU ini jika disahkan, tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU P2H ini. Demikian pula, konsultasi publik kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya, tidak pernah dilakukan. Organisasi masyarakat sipil termasuk AMAN terkejut ketika mengetahui bahwa DPR-RI dan Pemerintah berkeinginan untuk segera mensahkan RUU P2H ini pada tanggal 2 April 2013 yang akan datang, tanpa disertai proses-proses konsultasi publik yang seharusnya dilakukan. Secara substansi, RUU ini sangat membahayakan Masyarakat Adat. Pertama, secara umum RUU ini dibangun di atas ketidakjelasan hukum mengenai sistem tenurial. Hingga hari ini Mahkamah Konstitusi masih belum mengeluarkan putusannya terkait dengan Permohonan Uji Materiil atas UUK No. 41/1999 yang telah diajukan oleh AMAN pada tahun 2012 yang lalu. Artinya pengaturan mengenai hutan adat hingga hari ini masih harus mengikuti ketentuan UUK saat ini di mana hutan adat dikonstruksikan sebagai hutan negara yang berada di wilayah Masyarakat Adat. Kedua, dengan kedudukan yang demikian, ditambah dengan definisi-definisi yang lemah dalam RUU P2H, maka ancaman kriminalisasi terhadap jutaan anggota Masyarakat Adat yang hidupnya tergantung pada hutan, tidak akan terelakkan. RUU P2H ini dapat mengkriminalisasi anggota komunitas yang mengambil pohon sebesar tongkat (diameter 10cm) untuk sekedar membuat pagar rumah misalnya, atau dapat mempidanakan anggota komunitas yang membawa parang atau sejenisnya, masuk ke dalam hutan. Definisi kejahatan terorganisir dalam yang lemah dalam RUU P2H ini, dapat memenjarakan 2 orang saja anggota Masyarakat Adat yang masuk ke dalam hutan adatnya tanpa ijin dari pihak berwenang. Tidak disangsikan, bahwa Masyarakat Adat akan kehilangan semua aksesnya terhadap hutan, jika RUU ini disahkan sebagai UU. Rencana pengesahan RUU P2H pada tanggal 2 April 2013, menunjukkan, bahwa reformasi hukum di sektor kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam masih jauh dari harapan. Gelagat ini terlihat dengan tidak adanya upaya yang berarti dari pemerintah dalam menyikapi putusan MK No. 45 tahun 2012 (terkait Uji Materiil yang diajukan oleh beberapa bupati dari Kalimantan Tengah). Pembahasan RUU P2H ini juga tidak punya sense pada kemungkinan perubahan UUK melalui Uji Materiil atas UUK yang diajukan AMAN tahun 2012 lalu, yang saat ini sedang menunggu putusan MK (perkara No. 35/2012). Pembahasan hingga rencana pengesahan RUU P2H ini juga menunjukkan ketidakperdulian pemerintah atas upaya serius masyarakat sipil untuk mendorong revisi UUK yang telah diagendakan di DPR, serta pembahasan RUU Masyarakat adat di Badan Legislasi. Pembahasan dan pengesahan RUU P2H seharusnya menunggu hasil Revisi UUK selesai dilakukan dan RUU Masyarakat Adat disahkan. Dengan demikian, UU yang dihasilkan, tidak berbenturan. Oleh sebab itu, AMAN mendesak DPR-RI dan Pemerintah untuk :

  1. Segera menghentikan pembahasan RUU P2H ini karena mengancam kehidupan dan penghidupan jutaan Masyarakat Adat di nusantara. Selain itu, RUU P2H berpotensi besar untuk untuk mengkriminalisasi sekian banyak anggota komunitas Masyarakat Adat yang hidupnya tergantung pada hutan.
  2. Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat dengan catatan bahwa substansinya harus dikonsultasikan secara terbuka kepada Masyarakat Adat dan organisasi Masyarakat Adat serta masyarakat sipil lainnya. RUU P2H hanya dapat dibahas setelah ada payung hukum yang kuat untuk melindungi keberadaan Masyarakat Adat berikut hak-haknya. Dengan demikian, UU yang dihasilkan oleh DPR-RI dan Pemerintah tidak bertentangan satu dengan lainnya.
  3. Segera melakukan revisi atas UUK No. 41/1999. Revisi UUK harus dilandaskan pada semangat untuk melakukan koreksi atas akar persoalan kehutanan, sekaligus merancang UUK yang lebih adil dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Artinya Revisi UUK harus dapat memastikan bahwa persoalan pengukuhan kawasan hutan, persoalan hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dan persoalan lain yang selama ini menjadi kritik publik, mendapatkan tempatnya dalam revisi UUK tersebut.
Jakarta, 28 Maret 2013 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kontak Person : Abdon Nababan (Sekjend AMAN) – 0811111365 ; Email : abdon.nababan@aman.or.id Erasmus Cahyadi (Direktur Advokasi) – 081386911075 ; Email : erasmus@aman.or.id