Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Perubahan iklim (climate change) menjadi tantangan global yang turut mempengaruhi situsi ekonomi, politik, sosial, dan lingkungan dunia di abad ini. Secara sederhana, perubahan iklim diartikan dengan perubahan terhadap iklim, suhu, maupun curah hujan secara signifikan karena kenaikan temperatur bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca.

Fenomena pemanasan global telah memberikan berbagai dampak, meliputi cuaca ekstrim, naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan, kekeringan, longsor, banjir, dan bencana lain. Dampak tersebut juga sudah dirasakan di berbagai wilayah adat di Nusantara, di mana perubahan iklim dapat mempengaruhi situasi pangan, sumber daya, dan perpindahan penduduk (migrasi). Upaya menjaga dan meningkatkan tutupan hutan, dipercaya menjadi salah satu solusi atas itu. Tetapi, di tengah diskusi tentang pentingnya peran hutan sebagai penyeimbang suhu bumi, muncul gagasan tentang pasar karbon.

Topik itu kian mengemuka pada Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia yang berlangsung tanggal 1-2 November 2021. Pada pidatonya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi untuk dihijaukan sekaligus negara yang potensial untuk menyumbang karbon.

Tipu-tipu Pasar Karbon

Pembahasan mengenai perdagangan karbon (carbon trading) muncul pertama kali pada COP 21 lalu di Paris, Perancis. Perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual-beli kredit karbon (carbon credit) yang dianggap selayaknya “hak” bagi perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon dalam proses bisnisnya. Sehingga, akan ada suatu penghitungan terkait penyerapan karbon pada kawasan hutan dan penerbitan semacam sertifikat atas kredit karbon tersebut. Maka, seandainya terdapat perusahaan yang menghasilkan emisi lebih dari kredit yang dimiliki, perusahaan itu bisa membeli kredit karbon. Begitu pula sebaliknya, seandainya ada perusahaan yang justru menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, mereka dapat menjualnya di pasar karbon.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dan masyarakat sipil pada COP 26. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Pemerintah hendak menetapkan batasan, mengatur mekanisme atau kebijakan, hingga menerbitkan sertifikat atas kredit karbon pada pasar karbon dengan asumsi bahwa pemerintah (bersama negara-negara lain di dunia) akan dapat mengontrol jumlah emisi karbon. Namun, persoalan tidak sesederhana itu. Jargon yang beredar terkait dengan anggapan bahwa menjaga hutan bisa mendapatkan bayaran uang, telah menempatkan hutan seolah komoditi. Sementara bagi Masyarakat Adat, hutan - yang disebut dengan hutan adat dan berada di dalam wilayah adat - adalah ruang hidup.

Iqbal Damanik dari Greenpeace - dalam acara “Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Merespon Pasar Karbon” yang diselenggarakan oleh AMAN (21/10/2021) - mengkritik hal tersebut sebab melegitimasi mereka yang merusak lingkungan di tempat tertentu untuk tetap punya “hak” merusak di tempat yang berbeda. “Mereka akan bisa bilang, tak apa-apa merusak di sini karena sudah memelihara di sana,” kata Iqbal.

Menurutnya, para elit telah keliru dalam menginterpretasikan Pasal 6 pada Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement) yang kerap dijadikan landasan perdagangan karbon. Iqbal mengutarakan bahwa tak ada pembicaraan pasar karbon di dalamnya, melainkan kerja sama internasional.

Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa hutan di Indonesia dapat menyerap 5,5 giga ton karbon dioksida (CO2) dengan luasan mencapai 36,5 juta hektar atau sekitar 10 persen dari kredit karbon dunia dengan nilai Rp1.400-1.600 triliun.

“Pemberian harga pada pohon akan jadi persoalan,” kata Iqbal. Penetapan harga pada karbon (carbon pricing) merupakan praktik dari asas pencemar membayar (polluter pays principle). Sehingga, menurutnya, “Semakin negara punya keuangan yang besar, maka (negara) bisa menggerakkan industrinya sepolutan apa pun, seburuk apa pun yang bisa dikeluarkan.” Ia mencontohkan hal itu pada peluang perusahaan pertambangan besar yang akan dapat menambang atau menebang pohon (mengeluarkan emisi karbon) sebanyak yang mereka mau ketika mampu membayar kredit karbon. “Pabrik, institusi, atau siapa saja bisa mencemari lingkungan dengan dalih sudah tanam pohon.”

Saat ini, Indonesia sedang merancang nilai ekonomi karbon dan mempersiapkan diri menjadi negara penyedia karbon (carbon offset). Sementara itu, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Pasal 13 ayat 5, mengutarakan bahwa subjek pajak karbon hanyalah orang pribadi atau badan yang memberi barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon. Iqbal mengatakan itu berarti produsen tambang tidak akan dipajakkan, tapi konsumen yang membeli.

“Yang berbahaya, ketika pajak itu tidak ditaruh di produsen batu bara,” Iqbal mencontohkan, di mana produksi listrik Indonesia masih menggantungkan sekitar 70 persennya pada batu bara, “maka, biaya pembelian PLTU oleh batu bara, akan naik. Biaya produksi PLN akan naik karena pajak itu. Kita membeli listrik yang berasal dari pembakaran batu bara, maka kita bisa dipajakkan.” Menurutnya, itu tidak adil karena, selain masalah kesenjangan akses listrik yang masih kita hadapi, pajak karbon untuk menekan pencemaran udara pun akan dibebankan pada rakyat sebagai konsumen, bukan pada produsen.

Hutan yang ada di wilayah adat dan dijaga secara turun temurun oleh Masyarakat Adat Aru di Maluku. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Dampak terhadap Masyarakat Adat

Perdagangan karbon dapat menimbulkan peluang munculnya konsesi baru terhadap kawasan hutan Indonesia, di mana AMAN menegaskan bahwa yang masih tersisa saat ini berada sebagian besar di dalam wilayah adat. Konsesi yang ditaruh pada perusahaan atas dalih hendak melindungi hutan, pada akhirnya akan memperhadapkan Masyarakat Adat dan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan pada berbagai benturan masalah, misalnya ketika Masyarakat Adat hendak mengakses hutan yang telah mereka jaga secara turun temurun. Bukan mustahil, Masyarakat Adat bukan hanya tidak dilibatkan, melainkan justru dianggap merusak kawasan restorasi ekosistem. Padahal, kita tahu Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK 35) telah menekankan keberadaan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Putusan itu membatasi wewenang negara, sehingga hutan adat atau dengan nama lain (hutan marga, hutan pertuanan, dan sebagainya) berada pada cakupan wilayah adat.

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengutarakan bahwa persoalan krisis iklim sudah tidak bisa dihindari dan Masyarakat Adat tidak bisa memilih untuk tidak jadi bagian dari itu. “Sikap kita (sebagai Masyarakat Adat) tak boleh ada sesuatu dari luar wilayah adat tanpa pengakuan hak Masyarakat Adat dan tanpa FPIC,” tegas Rukka.

Free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan bebas tanpa paksaan, memberikan peluang Masyarakat Adat atas partisipasi dan demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Lewat prinsip itu, Masyarakat Adat berhak untuk mendapatkan informasi dan menentukan sesuatu, misalnya apakah suatu proyek pembangunan akan ditolak atau diterima seutuhnya atau diterima dengan syarat maupun penyesuaian tertentu.

“Tak boleh ada pembangunan di wilayah adat sebelum Masyarakat Adat tahu betul apa yang terjadi, apa dampaknya, apa manfaatnya, dan bagaimana kita terlibat di dalam itu. Keputusan diambil melalui musyawarah adat,” ungkap Rukka dalam menekankan pentingnya pelibatan Masyarakat Adat dalam setiap negosiasi tentang urusan perubahan iklim. Ia mengingatkan kembali berbagai pihak bahwa 20 persen permukaan di bumi, dikuasai oleh Masyarakat Adat, di mana hutan-hutan terbaik masih dapat ditemukan karena kontribusi Masyarakat Adat. “Di sanalah rumah dari 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa. Masyarakat Adat yang memastikan bumi tidak hancur.

Mina Setra (baju berwarna merah) tengah berbincang bersama Pangeran Charles pada COP 26. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Sebelum topik pasar karbon mengemuka, terdapat mekanisme dalam mengatasi soal perubahan iklim dengan menghentikan laju pengrusakan hutan melalui REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Mengenai itu, Abdon Nababan, Sekjen AMAN pada periode terdahulu dan kini menjabat sebagai Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) Region Sumatera, kembali mengutarakan tentang posisi Masyarakat Adat.

“REDD+ secara substansi sudah dikerjakan Masyarakat Adat selama ratusan tahun,” ungkap Abdon. “Bahkan, di banyak tempat, ada yang zero (nol) atau minus emisi. Kalau REDD+ diharapkan akan terus berjalan di wilayah adat, maka yang diperlukan hanyalah pengakuan dan perlindungan yang efektif terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.” Abdon menjelaskan bahwa REDD+ pernah dipakai untuk mengangkat derajat Masyarakat Adat sebagai pengelola hutan terbaik, sehingga untuk mengharapkan Masyarakat Adat menjadi solusi terhadap perubahan iklim, pengakuan dan perlindungan atas Masyarakat Adat dan wilayah adatnya, tinggal dilanjutkan dengan mendukung Masyarakat Adat mengelola ekosistem di wilayah adatnya.

Saat itu, AMAN memposisikan keterlibatan dengan syarat: tidak ada REDD+ tanpa pengakuan hak Masyarakat Adat (no rights, no REDD+). Abdon mengatakan bahwa karbon di wilayah adat, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak Masyarakat Adat atas hutan, sementara hutan adalah bagian tak terpisahkan atas hak atas tanah. Maka, hak atas karbon tak boleh dipisahkan dari hak atas tanah dan hak atas hutan.

Yuyun Harnoko dari WALHI pun mengkritik soal perdagangan karbon. “Posisi kita  terkait perdagangan karbon harus merefleksikan apa yang dilakukan Masyarakat Adat,” katanya. Menurutnya, upaya Masyarakat Adat dalam memperjuangkan wilayah adat, termasuk di dalamnya hutan adat, tidak pernah didasari atas landasan bahwa itu akan diperdagangkan, melainkan bagian dari ruang hidup. “Jadi, asumsi dapat keuntungan, bukan utama, tapi pengakuan hak dan identitas kita bersama dengan ruang hidup untuk menjaga keberlanjutan.”

Sementara itu, Mufti Ode dari Forest Watch Indonesia (FWI), memaparkan fakta menarik atas apa yang disebutnya dengan klaim berlebihan yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas kesuksesan menghentikan laju deforestasi. Berdasarkan fakta lapangan, menurutnya, laju pengrusakan hutan justru meningkat. Ia mengibaratkan dalam rentang 2013-2017, hilangnya kawasan hutan di Indonesia disetarakan dengan empat kali luasan lapangan sepak bola setiap menitnya. Selama 17 tahun itu, kita telah kehilangan 23,5 juta hektar hutan alam.

“Yang menjaga hutan kita sebagian besar adalah Masyarakat Adat, tapi mengapa dana perdagangan karbon itu lari ke BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau semacam badan untuk dana lingkungan di Indonesia), padahal pemerintah yang ikut menghancurkan hutan yang tersisa,” ujar Mufti.

Baginya, itu merupakan tantangan untuk melihat data dan situasi hutan yang berada di dalam wilayah adat, di mana 12,4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan (dari perkiraan terdapat 40 juta hektar wilayah adat di Indonesia), sebanyak 70 persennya (8,75 juta hektar) adalah hutan yang pula bersinggungan dengan tumpang tindih berbagai izin atau konsesi. Menurur Mufti, selain masalah klaim atas penghentian deforestasi, pemerintah justru memperlihatkan niat buruknya dalam komitmen menjaga hutan dan wilayah adat dengan hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Menurut Mufti, itu adalah proses yang tak mudah. Pengetahuan dan keterampilan dan komitmen Masyarakat Adat untuk menjaga, tak pernah dimasukkan dalam urusan perdagangan karbon. Kini, Masyarakat Adat pun dihadapkan pada isu atau rencana yang bisa jadi menjerat Masyarakat Adat. Selain melihat isu ini secara teknis, maka penting untuk melihat hal-hal mendasar.

Melalui konsolidasi nasional tersebut, Deputi Sekjen AMAN Urusan Politik Erasmus Cahyadi menyimpulkan alasan terhadap penolakan mekanisme pasar karbon. Eras menegaskan bahwa ide dasar atas perdagangan karbon dibangun di atas ketidakadilan. Hal tersebut bukan hanya mengacu pada proses yang rumit, melainkan pertimbangan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan komitmen Masyarakat Adat untuk menjaga hutan, tak pernah dimasukkan ke dalam urusan perdagangan karbon.

“Pandangan itu mengonfirmasi keseluruhan hal yang sudah dipaparkan: ada pemaafan terhadap industri yang merusak lingkungan,” katanya.

Alasan lain adalah tidak diletakkannya Masyarakat Adat sebagai bagian penting dari proses negosiasi dan prosedur perdagangan karbon, di mana umumnya itu hanya diikuti oleh negara-negara tanpa partisipasi organisasi masyarakat sipil maupun Masyarakat Adat.

Secara prosedural, Eras juga mengkritisi tentang ketiadaan koneksi mengenai pasar karbon dengan prosedur pengakuan hak Masyarakat Adat di Indonesia.

“Terlalu jauh membayangkan perdagangan karbon akan dapat menguntungkan Masyarakat Adat, tapi justru menjerat Masyarakat Adat pada ruang yang sulit untuk kita keluar, misalnya bagaimana prosedur perdagangan itu masih belum melibatkan Masyarakat Adat sebagai subjek yang dihormati dalam hukum.”

Melalui kertas posisi yang dikeluarkan pada 26 Oktober 2021 lalu, secara tegas AMAN menyatakan untuk menolak mekanisme pasar karbon, terutama di wilayah adat; mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengubah hukum yang selama ini menjadi penyebab peminggiran Masyarakat Adat, termasuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat; dan mendesak komunitas global untuk menyusun satu kebijakan dan mekanisme global (non-market mechanism) untuk mendukung berbagai inisiatif Masyarakat Adat dalam menjaga, melindungi, dan mengelola wilayah adat dan sumber daya secara berkelanjutan sebagai kontribusi langsung pada penurunan emisi dan peningkatan stok karbon.

***

 

Tag : COP26 Mina Setra Pangeran Charles Glasgow Masyarakat Adat Karbon