[caption id="" align="alignleft" width="336"] Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei Petakan Wilayah Adat[/caption] Tempun petak menana sare Tempun kajang bisa puat Tempun uyah batawah belai (punya tanah tapi di pinggir punya atap tapi kebasahan punya garam tapi tawar rasa) Pesan di atas berkali-kali diucapkan oleh warga komunitas Dayak Ngaju, Tumbang Bahanei, saat sosialisasi pemetaan partisipatif. Mereka menyadari meningkatnya arus investasi perkebunan besar sawit, tambang dan HPH di Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Gunung Mas dan hal itu merupakan ancaman pengabaian atas hak-hak bawaan mereka. “Dimana-mana ada perusahaan sawit berdiri, lalu bagaimana kami menjaga tanah air demi masa depan anak cucu. Dengan jelasnya batas-batas wilayah adat, maka jika investor mau masuk harus mengetuk pintu dulu” ujar Suley, seorang warga komunitas Dayak Ngaju. Oleh karena itu pada tanggal 10/ 7/ 2013 lalu di gedung SDN Tumbang Bahanei, diadakan pertemuan kampung untuk membahas pemetaan wilayah adat dan mengambil keputusan penting. Dalam pertemuan yang dihadiri 80% warga komunitas itu, sepakat untuk melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat mereka. Sadar bahwa mereka adalah komunitas anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang harus mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik, maka mulai dari pembentukan struktur pelaksana, penyusunan rencana kerja dan anggaran, pertemuan dengan kampung yang berbatasan, hingga pengambikan titik koordinat, semua dilakukan komunitas secara partisipatif. Pemetaan ini didukung pemerintah Desa Tumbang Bahanei. Pemerintah desa turut terlibat memfasilitasi pertemuan kampung terkait. “Doa kami mudah-mudahan pekerjaan ini berhasil dengan baik, kalau kami ini dari pekarangan rumah sampai ke kebun habis, dimana lagi kami bisa hidup?” ujar Sudar, Kepala Desa Tumbang Bahanei. Setelah komunitas sepakat melaksanakan pemetaan wilayah adat, tim lapangan segera bergegas mendatangi kampung yang berbatasan. Membawa sketsa wilayah adat mereka dan membicarakan tentang tata batas antara kampung, sebab pengakuan batas wilayah dari kampung tetangga adalah salah satu syarat pengesahan peta wilayah adat mereka nantinya. Pada saat pengambilan titik kordinat batas wilayah adat, ada beberapa peristiwa yang dapat dicatat. Ketika beras yang kami bawa habis di perbatasan komunitas Tumbang Tuwe, kami kemudian diberi beras oleh warga komunitas Tumbang Tuwe itu” ujar Suley. Beras diberikan karena rasa kekeluargaan antar kampung. Lalu saat pengambilan ulang titik serta memastikan bahwa titik yang diambil adalah batas wilayah yang benar, dilakukan berkali-kali. Mengingat medan yang sulit ditempuh dan kebanyakan hutan rimba, pengambilan titik koordinat diselesaikan dalam 12 hari. Keterlibatan pemuda adat sangat membantu proses pemetaan wilayah adat ini. Mulai dari mengoperasikan GPS hingga menggambar peta secara manual. “Saya ikut karena saya ingin tau lebih banyak tentang hukum adat, asal-usul kampung dan apa saja yang dilindungi di wilayah adat,” ujar Hendro, salah satu pemuda adat di sana. Dia juga menjelaskan bahwa pemetaan wilayah adat ini tidak untuk kepentingan pribadi tetapi untuk komunitas, agar muncul rasa saling memiliki dan saling bantu demi menjaga keberlangsungan ekosistemnya. Kini bentang wilayah adat Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei sudah terihat di peta manual. Sementara masih ada beberapa proses yang harus dijalankan, seperti lokakarya tentang tata batas wilayah dan rencana tata ruang wilayah adat juga harus diselesaikan. Hingga akhirnya peta wilayah adat disahkan oleh seluruh masyarakat komunitas yang bersangkutan, pemerintah setempat dan kampung yang berbatasan.***(Pebri)