Oleh Samsir  

Pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Energy dengan kapasitas mencapai 515 MW (megawatt) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Februari 2022, menyisakan penderitaan bagi Masyarakat Adat yang berada di Danau Poso. 

Para petani yang biasa menggantungkan hidupnya dari hasil menanam padi dan berkebun, kini harus menanggung dampak dari operasional PLTA Poso Energy.  Sekitar 266 hektar lahan sawah milik petani, tenggelam akibat uji coba pintu air bendungan PLTA itu. 

Para petani di sekitar Danau Poso tidak lagi dapat mengelolah sawahnya selama dua tahun terakhir. Kondisi itu berdampak pada kelangsungan hidup Masyarakat Adat.

“Hidup kami kian susah sejak kehadiran PLTA Poso Energy. Tidak ada lagi tempat untuk bertani karena sawah terendam air,” kata seorang petani bernama Herman (25/2/2022).

Ia menyebut kehadiran PLTA Poso Energy telah memiskinkan warga di sekeliling Danau Poso. Banyak anak Masyarakat Adat yang kemudian putus sekolah karena tidak punya biaya. 

“Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan sehari-hari saja susah. Kami sudah tidak punya uang sejak sawah kami terendam air bendungan,” kata Herman.   

Pendeta Novi Montolu, salah seorang tokoh adat, menyatakan, selain membawa bencana pada sendi perekonomian warga, kehadiran PLTA Poso Energy juga merusak wilayah adat. Padahal, secara turun-temurun, Danau Poso dipercaya telah memberikan kehidupan terhadap Masyarakat Adat sekitar. 

Namun, sejak 2019, penggusuran jalan di sekitar Sungai Poso yang disertai dengan pengerukan, membuat tradisi dan budaya Masyarakat Adat semakin tersingkir, misalnya Waya Masapi atau Pagar Sogili. Secara turun-temurun, budaya tersebut telah menjadi tradisi dari Masyarakat Adat di Danau Poso. Namun, keberadaan budaya tersebut terancam punah. Berdasarkan ketentuan adat, apabila terjadi pengambilan atau penghancuran Waya Masapi, maka Pamona Poso harus dituntut ganti rugi. 

Masyarakat Adat di Danau Poso seakan tenggelam dalam aliran listrik. Ratusan hektar sawah yang dahulu tampak menghijaukan lingkungan sekitar dan menghidupi anak dan cucu kami, kini telah berubah menjadi lautan seolah kawasan itu diterpa gelombang tsunami. Itu merenggut ruang-ruang historis kehidupan Masyarakat Adat. 

Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun bersepakat mendampingi dan memperjuangkan hak Masyarakat Adat di Danau Poso, antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) LBH Poso, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Solidaritas Perempuan (SP).  

Dalam konfrensi pers yang mereka gelar pada 25 Februari 2022, berbagai organisasi masyarakat sipil tersebut menolak keberadaan PLTA Poso Energy yang telah menyingkirkan ruang hidup Masyarakat Adat.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak atas tanah yang dijamin konstitusi. Apalagi, pembangunan kental sekali dengan cara-cara yang manipulatif terkait dengan keterbukaan informasi kepada publik.

"Seharusnya mereka malu,” tegas Dewi. “Pembangunan PLTA Poso Energy ini menyebabkan tenggelamnya sandaran hidup warga di sekitarnya."

Evani Hamzah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Sintuwu Raya Poso, juga menuturkan bahwa dirinya pernah melakukan riset pada 2019 sampai 2020 untuk melihat situasi perempuan dalam sistem pengelolaan sumber daya alam pada konteks pembangunan PLTA Poso Energy. 

"Hasil riset kami, perempuan mengalami kerugian secara materil karena pembangunannya tidak melalui proses konsultasi terhadap perempuan. Padahal, perempuan (merupakan) kelompok yang rentan mengalami dampak berlapis. Tidak ada pembangunan di dunia ini tanpa mempertimbangkan kehadiran perempuan," kata Evani.

Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar AMAN Muhammad Arman mengatakan bahwa tidak akan pernah ada pangan yang kita bisa nikmati di meja makan tanpa jerih payah petani dan nelayan. Menurutnya, Masyarakat Adat yang juga terdiri dari nelayan dan petani, sering tidak dianggap secara mendasar dalam proses pembangunan.

Arman mencontohkan bahwa pembangunan PLTA di Poso itu adalah salah satu bagian dari banyak persoalan pembangunan yang melanggar hak Masyarakat Adat. Masyarakat Adat pun tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya dalam pelaksanaan proyek tersebut. Oleh karena itu, AMAN terus berupaya memperjuangkan nasib Masyarakat Adat di sekitar Danau Poso untuk mendapatkan haknya. 

Hal serupa diungkapkan oleh Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI, yang mengatakan kalau proyek pembangunan PLTA itu tidak akan berdiri sendiri, namun akan ada proyek lainnya, sehingga dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar ke depan. 

"PLTA ini cukup besar dan hanya menguntungkan oligarki secara bisnis. Masyarakat beserta lingkungan akan menjadi korban," kata Sawung.

 ***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari Sulawesi Tengah.

Tag : AMAN Sulteng Jokowi Danau Poso PLTA Poso Energy