Pemerintah Indonesia yang ikut menandatangani Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau The UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dinilai tidak memahami subtansi UNDRIP, sehingga pemenuhan hak Masyarakat Adat di Indonesia masih belum terwujud.

Hal itu diutarakan oleh Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi ketika membuka diskusi publik bertema “14 Tahun UNDRIP di Indonesia: RUU Masyarakat Adat; Kerakyatan dan Kebangsaan” pada Senin, 13 September 2021. Turut hadir sebagai pembicara, yaitu Erasmus Cahyadi (Deputi II Sekjen AMAN Urusan Politik), Surya Yudiputra (Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia/BEM FH UI), Nining Elitos (Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI), dan Evi Mariani (Pemimpin Umum Project Multatuli) serta Era Purnama Sari (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI-Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat) sebagai moderator.

“Jika pemerintah ingin memberikan pemenuhan hak Masyarakat Adat, sebenarnya mudah. Cukup dengan menulis ulang subtansi di dalam deklarasi tersebut ke Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat,” ucap Rukka.

Nining Elitos menilai bahwa buruh memiliki nasib yang tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Masyarakat Adat dalam pemenuhan hak. Meski di dalam regulasi telah tertulis hak-hak buruh, namun di lapangan praktik pemenuhan hak tersebut jauh dari ideal. Menurutnya, buruh juga mengalami intimidasi, diskriminasi, bahkan kriminalisasi, sebagaimana yang dialami oleh Masyarakat Adat. Bahkan, banyak buruh yang masih kurang pemahaman tentang Masyarakat Adat, kerap dimanfaatkan oleh perusahaan untuk berhadapan dengan Masyarakat Adat terkait upaya perampasan wilayah adat.

“Kami mendukung penuh perjuangan Masyarakat Adat untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya. Masyarakat yang selama ini dipinggirkan oleh negara, harus bahu membahu memperjuangkan haknya, tak bisa berjuang sendiri-sendiri. Itulah kenapa kita juga menolak UU Cipta Kerja secara keseluruhan karena dampaknya sangat meluas, termasuk terhadap teman-teman Masyarakat Adat,” ujar Nining.

Sementara mewakili kalangan media, Evi Mariani mengutarakan pandangannya tentang pemberitaan seputar Masyarakat Adat yang terbatas pada perihal konflik. Menurutnya, itu terjadi karena media-media di Indonesia banyak dimiliki oleh kalangan pengusaha yang lebih menekankan aspek klik dan view ketimbang informasi dengan perspektif yang berpihak pada Masyarakat Adat.

“Project Multatuli ingin memberikan perspektif yang berbeda dengan mengangkat isu-isu Masyarakat Adat,” kata jurnalis senior itu. “Hal ini penting untuk mewarnai informasi publik yang dihadirkan media agar tidak selalu bias kota dan kelas menengah.” Dengan semakin banyak dan beragamnya isu Masyarakat Adat yang diangkat media, Evi berharap akan mampu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan.

Ketua BEM FH UI Surya Yudiputra pun menekankan perihal pengakuan secara penuh atas hak Masyarakat Adat yang masih sulit untuk dilakukan oleh negara. Menurutnya, itu tercermin dalam RUU Masyarakat Adat yang telah banyak mengalami perubahan dalam pembahasannya. Ia mencontohkan bahwa proses dan tahapan pengakuan satu komunitas Masyarakat Adat sangat panjang dan berbelit-belit.

“Padahal, seharusnya (pengesahan RUU Masyarakat Adat bisa) menjadi jawaban mendasar atas pengakuan hak Masyarakat Adat,” tegasnya.

Surya menjelaskan bahwa saat ini BEM UI tengah merampungkan kajian tentang RUU Masyarakat Adat dan menyatakan akan mengawal RUU tersebut. Ia menekankan bahwa DPR harus lebih serius dalam memberikan ruang partisipasi terhadap Masyarakat Adat dalam proses legislasi RUU Masyarakat Adat.

Kemendesakan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat pun diungkapkan oleh Erasmus Cahyadi. “Masyarakat Adat selama ini terdiskriminasi, dikriminalisasi, dan dideligitamasi oleh hukum negara. Masyarakat Adat dianggap sebagai kelompok yang harus disesuaikan dengan kepentingan nasional,” katanya.

Eras menekankan bahwa salah satu ide dasar dari pengakuan Masyarakat Adat, adalah untuk memulihkan relasi antara negara dan Masyarakat Adat yang selama ini hanya bertemu ketika terjadi konflik.

Tentu saja, upaya mendorong RUU Masyarakat Adat merupakan hal yang menantang untuk mengingat perjalanannya yang telah didorong sejak 2009.

“Tantangan proses RUU Masyarakat Adat selama ini, adalah tentang ide penaklukan Masyarakat Adat di bawah kepentingan nasional. Kita menemukan bahwa paradigma itu yang tercermin dalam komitmen yang terbatas di DPR dan pemerintah. Di media, (mereka) mengatakan mendorong, tapi kenyataannya tidak. Komitmennya terbatas karena ada kepentingan yang beragam di DPR,” lanjut Eras.

Dalam acara yang dihadiri sekitar 150 peserta dari berbagai penjuru Indonesia itu, Eras memberikan penekanan tentang pentingnya diskusi-diskusi lintas sektor untuk menjadi ruang bersama dalam melihat benang merah pentingnya RUU Masyarakat Adat bagi, bukan hanya Masyarakat Adat, melainkan banyak kelompok masyarakat sipil yang sejak awal telah ikut terlibat dan mendorong RUU tersebut bersama AMAN.

***