Pontianak, 23 Oktober — Kali pertama saya menginjakkan kaki di Medan, provinsi Sumatra Utara adalah atas undangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk berbagi pengalaman di Skills Sharing Exchange Workshop and Visit. Pada hari kedua lokakarya (9 Oktober 2013), saya berbagi tentang bagaimana media memberi power kepada masyarakat akar-rumput (grassroot) yang selama ini akrab disebut citizen journalist (CJ) atau jurnalisme warga. Pesertanya tidak banyak, terdiri dari sahabat-sahabat dari Thailand, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Indonesia (tuan rumah). Mereka adalah praktisi media adat di negara-negara yang tergabung dalam program Indigenous Voices in Asia (IVA). CJ selama ini hanya berteriak di tempat. Teriakan itu hanya melengking ke udara hampa. Mereka tidak bisa protes. Mereka merasa dan mengalami masalah yang luar biasa besar dalam ukuran mereka. Sudut pandang mereka itu harusnya menjadi sudut pandang media arus-utama. RuaiTV, sebagai media masyarakat adat di Kalimantan Barat, melihat masalah sosial yang dialami oleh satu orang adalah sama dengan masalah seribu orang. Karena itulah, setiap masalah harus diselesaikan mulai dari satu orang sebelum menjadi masalah seribu orang. Sudut pandang ini bisa berlaku dalam konteks apa pun. Sudut pandang ini penting bagi praktisi media adat di negara-negara rekanan program IVA. Menceritakan sejarah RuaiTV berdiri, mempresentasikan program RuaiSMS untuk pemberdayaan komunitas-komunitas grassroot menjadi penting. Dengan pengalaman mengarusutamakan CJ, RuaiTV pun mulai mengarusutamakan isu-isu Masyarakat Adat. Sedikitnya dari sekitar tigaribu berita via SMS produksi CJ, lebih dari limaratus laporan diselesaikan para pengambil kebijakan. Saya pikir topik ini mengundang perhatian peserta. Dapatkah ini diterapkan di negara mereka? Memberikan materi produksi TV atau media arus-utama apa saja yang berkolaborasi dengan jurnalisme warga menjadi bagian paling penting dalam sesi pengembangan kapasitas. Di sesi ini, para peserta belajar mengindentifikasi masalah, menyiapkan materi pelatihan, mencari orang (calon CJ) yang akan dilatih, dan membuat atau mencari media untuk mengkomunikasikan masalah itu. Peserta memaparkan masalah atau konflik di negara masing-masing, dan apa yang harus dibuat untuk mengkomunikasikan masalah tersebut secara transparan. Beberapa masalah yang diceritakan oleh peserta adalah diskriminasi sosial, belum lahirnya demokrasi, intervensi militer, potensi sosial budaya dan setiap jenis masalah lainnya. Mengatasinya harus dimulai dari wilayah atau tempat kecil, dengan menggunakan cara yang sangat sederhana dan bertahap. Materi pembelajaran yang sangat sederhanya. Para pelatih harus dapat membedakan antara fakta, opini, fan klaim. CJ hanya dianjurkan melaporkan “fakta” yang ditangkap panca indera. Jadi CJ hanya melaporkan yang dilihat, didengar, dirasakan (dirasakan dengan hidung mulut, rabaan kulit/tangan). Berikutnya adalah “observasi” sebagai cara untuk menangkap fakta yang benar. Penulisan beritanya cukup dengan 5W+1H, S-P-O-K, dan piramida terbalik. Media yang digunakan bisa televisi (running text, grafik SMS, video kiriman CJ, live by phone); radio (live by phone, SMS dibaca, talk show); media cetak (SMS dicetak di ruang 5×5 cm); media sosial (YouTube, Facebook, Twitter). Menurut catatan saya, peserta sangat memahami maksud itu dan telah berpengalaman dalam isu-isu masyarakat adat, sebagaimana ditunjukkan oleh presentasi mereka. Mereka hanya perlu menerapkan sistem yang telah saya sampaikan. Sungguh luar biasa dapat bertemu teman-teman yang telah berpengalaman ini. Saya berterima kasih kepada IVA dan AMAN untuk langkah luar biasa ini. ALIM RuaiSMS Manager (RuaiTV)