Jakarta, 24 September 2013. Sengketa masyarakat adat Negeri Paperu dengan PT. Maluku Diving and Tourism masih berlanjut. Perwakilan masyarakat yang terdiri dari Raja Negeri Paperu, tokoh-tokoh adat, serta perwakilan perempuan adat Paperu menyampaikan keresahan mereka terkait perampasan wilayah adat Paperu oleh PT. Maluku Diving and Tourism, sebuah perusahaan swasta milik Kurt Walter Gross, investor Swiss yang membangun Cape Paperu Resort and Spa, beroperasi di Negeri Paperu sejak tahun 2007 lalu. Masyarakat Adat Paperu didampingi langsung oleh Sekjen AMAN, Abdon Nababan bersama staf AMAN urusan HAM dan Hubungan Internasional, Patricia Wattimena serta Ketua BPH AMAN wilayah Maluku, Yohanes Balubun saat bertemu dengan pihak Kedutaan Besar Swiss. Sengketa berawal saat masyarakat Paperu dilarang mengakses wilayah adat (petuanan) laut Tanjung Paperu, karena perusahaan menganggap masyarakat mengganggu dan membahayakan kelestarian biota laut di tempat tersebut. Dalam pertemuan bersama pihak kedutaan Swiss, masyarakat didorong untuk melakukan dialog lanjutan dengan pihak perusahaan karena banyak informasi simpang siur yang beredar. Menurut masyarakat bahwa sudah beberapa kali mereka mencoba melakukan dialog tetapi tidak pernah mencapai kesepakatan bersama, karena pihak perusahaan tetap bersikeras menguasai dan mengklaim wilayah laut Tanjung Paperu. Padahal wilayah itu merupakan sumber hidup masyarakat adat Paperu sejak nenek moyang mereka dulu. Oleh karenanya Masyarakat Paperu menuntut perusahaan tersebut untuk mematuhi kontrak yang telah disepakati bersama. “Dalam kontrak sewa-menyewa bersama masyarakat, jelas tertulis bahwa hanya wilayah darat yang dikontrakkan tapi kenapa perusahaan melarang kami mengakses wilayah laut? Itu hak ulayat kami yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun.” Tegas Raja Paperu, Christian Lawalatta. Sementara Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan sangat menyesalkan kasus yang menimpa masyarakat Paperu, khususnya respons pemerintah daerah terhadap kasus tersebut. “Bagi AMAN kasus yang terjadi di Paperu, bukan lagi isu daerah semata, tetapi ini sudah menjadi isu pada tingkat nasional dan internasional. 15 juta populasi anggota AMAN yang berasal dari 2240 komunitas adat di Indonesia siap berjuang bersama masyarakat Paperu. Kami akan terus menuntut hak masyarakat negeri Paperu untuk kembali ke tangan mereka.” Setelah itu mereka melanjutkan pertemuan dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Dalam pertemuan dengan pihak Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut, ditegaskan oleh pihak kementrian bahwa tidak dapat dibenarkan siapapun mengkapling wilayah laut milik masyarakat adat dan mengklaim kepemilikan terhadap wilayah tersebut. Pihak Kementrian berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, terutama Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Kami tidak pernah mengetahui tentang PT. Maluku Diving and Tourism. Meskipun ini adalah investor asing, kalau usahanya di daerah Kepulauan, yah harus minta izin dan rekomendasi dulu sama kami. Sangat tidak benar kalau perusahaan melarang masyarakat yang punya hak untuk mengakses wilayah mereka sendiri.” Jelas Rido Batubara, Direktur Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam pertemuannya dengan masyarakat Paperu. Sementara itu, sampai berita ini dibuat, kondisi Negeri Paperu masih memprihatinkan. Pelarangan masih terus terjadi dan masyarakat menuding pemerintah daerah cenderung berpihak kepada investor dan tidak bersikap terbuka dengan masyarakat. **** Patricia Wattimena.