Kisah-kisah tentang Masyarakat Adat memang tidak bisa dibilang sedikit. Namun, bukan berarti pula hendak menegaskan bahwa narasi seputar Masyarakat Adat, telah mampu bersanding secara sejajar dengan isu-isu populer lainnya pada media arus utama di Indonesia. Dan Masyarakat Adat pun masih harus bergulat dengan stereotipe dan stigma. Masyarakat Adat butuh lebih banyak ruang untuk bisa hadir dan menunjukkan wajah dan suara yang sesungguhnya.

AMAN menyadari hal tersebut dan meresponnya lewat inisiasi Gerakan Kisah dari Kampung yang dimulai pada pertengahan 2021 ini. Untuk tahap pertama, AMAN merencanakan untuk menghasilkan 30 kisah dari 30 kampung Masyarakat Adat dari berbagai region di Nusantara.

Tentang Gerakan Kisah dari Kampung

Gerakan Kisah dari Kampung merupakan bagian dari gerakan pendokumentasian Masyarakat Adat dengan keutamaan pada penyusunan buku yang merekam profil kampung adat dan pembelajaran gerakan Masyarakat Adat di tingkat kampung.

“Gerakan Kisah dari Kampung ini menjadi klaim terhadap narasi dengan perspektif Masyarakat Adat dan hendak menyajikan realitas Masyarakat Adat dari kampungnya,” ujar Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi.

Dalam penyusunannya, Buku Seri Kisah dari Kampung didesain untuk melibatkan penulis yang berpasangan, yaitu jurnalis (penulis profesional) dan penulis warga adat (Kader AMAN). AMAN menyebutnya sebagai proses penulisan yang kolaboratif, di mana masing-masing memiliki kedudukan yang setara dan saling melengkapi. Setiap jurnalis akan bersama-sama Masyarakat Adat menyelami dan memahami beragam hal tentang Masyarakat Adat, mulai dari sejarah asal-usul, wilayah adat, pranata dan kelembagaan adat, serangkaian nilai dan filosofi, hingga konflik dan capaian dari gerakan Masyarakat Adat di kampung. Kisah yang kelak dihasilkan pun diharapkan dapat menjadi kekuatan dalam menggalang solidaritas, empati, solusi alternatif, dan berbagai hal positif yang mendukung gerakan Masyarakat Adat di Indonesia.

Menurut Rukka, hal tersebut akan menjadi semacam pembebasan cara pandang. “Kisah dari Kampung menunjukkan peran maupun kontribusi Masyarakat Adat,” ujar Rukka. Kampung pun diposisikan sebagai tempat yang mulia. Ia lanjut menegaskan bahwa para warga adat yang terlibat dalam menulis atau menuturkan kisah, adalah mereka yang benar-benar terpanggil menjaga, mengurus, dan mempertahankan wilayah adat.

Pada gelombang pertama ini, terdapat 30 warga adat yang terlibat mewakili masing-masing kampung. Mereka berpasangan dengan sekitar 17 jurnalis yang ikut menulis dan empat jurnalis senior sebagai mentor. Ketiga puluh kisah terbagi ke dalam kategori 10 kisah perjuangan kolektif Masyarakat Adat, 10 kisah perjuangan kolektif pemuda adat, dan 10 kisah perjuangan kolektif perempuan adat. Sementara tema besar yang diusung, di mana gerakan dimulai di tengah situasi pandemi, yakni “Tangguh di Tengah Krisis” dengan mencakup beragam topik yang terhubung dengan gerakan perjuangan Masyarakat Adat, antara lain kedaulatan pangan, kemandirian ekonomi, pemetaan wilayah adat secara partisipatif, plangisasi, sekolah adat, pemuda pulang kampung, pengakuan hak Masyarakat Adat, dan lain-lain. Tema tersebut dipilih dengan harapan untuk menghadirkan semangat baru kepada Masyarakat Adat maupun publik di tengah hantaman berbagai krisis.

Semangat dalam Berproses

Baik itu bagi para jurnalis maupun penulis warga adat, proses kolaboratif yang dikreasikan oleh AMAN, merupakan hal yang baru dan menjadi pengalaman pertama bagi kedua pihak. Tidak hanya rekan-rekan jurnalis yang bersemangat, tetapi juga kawan-kawan penutur atau penulis yang mewakili kampungnya.

“Pendapat kami (para perempuan adat) di Montong Baan, sangat bagus,” ungkap Rosa’adah yang turut terlibat dalam Gerakan Kisah dari Kampung. Bu Ros, begitu ia akrab disapa, berasal dari Komunitas Montong Baan di Desa Montong Baan, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).  “Adanya ini jadi membuat kami bersemangat menceritakan kisah kampung kami. (Kami merasa) ada yang memperhatikan cerita kami dan ada yang peduli dengan sejarah kami di kampung.”

Bu Ros sendiri aktif berorganisasi bersama PEREMPUAN AMAN melalui wilayah pengorganisasiaan Pengurus Harian Komunitas (PHKom) Montong Baan. Sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh tani dan ibu rumah tangga. 

“Tidak sulit,” jawabnya singkat ketika ditanya bagaimana ia berproses di kampung untuk mulai menggali data dan melakukan wawancara. “Kami sesuai rencana mewawancarai berbagai narasumber. Kami agendakan menemui mereka. Selama proses ini, saya wawancara (secara) terbuka dan mereka mendukung kegiatan ini.

Ia mengaku para narasumber maupun tokoh adat dan tokoh kampung sangat senang dengan adanya perwakilan dari perempuan adat setempat yang tertarik menggali sejarah. Bahkan, tokoh agama pun dilibatkan. Di NTB, mayoritas masyarakat beragama Islam, termasuk di Montong Baan. Bu Ros bilang kalau di kampungnya adat dan agama sudah terbiasa berdampingan.

Ia berbagi pengalaman sekaligus tips ketika memulai proses Gerakan Kisah dari Kampung. “Awalnya, pas kita mendatangi dan wawancara itu, tidak langsung bertanya, tapi mengobrol dan mendengar kisah-kisah dari (para tokoh dan tetua) yang lebih dulu punya sejarah di kampung. Setelah itu, baru menanyakan berbagai hal, termasuk peran perempuan di kampung. Itu berjalan lancar sesuai dengan yang direncanakan.”

Bu Ros juga mengungkapkan kalau kelancaran dalam berproses itu dipengaruhi pula oleh kedekatannya dengan masyarakat, di mana ia sudah lebih dulu aktif bersosialisasi pada berbagai kegiatan di kampung. Selain didukung dengan cara komunikasi yang baik (sesuai adat yang berlaku), Bu Ros juga tak lupa melakukan musyawarah terlebih dulu dengan kelompok perempuan adat setempat sebab kisah yang akan dikedepankan untuk kampungnya, adalah yang bercorak perempuan adat.

Wawancara dengan Haji Gunawang, seorang tokoh agama dan tokoh adat di Montong Baan. Sumber foto: Dokumentasi pribadi Rosa’adah.

“Saya juga baru belajar,” katanya bercerita sambil menunjukkan foto-foto yang diambilnya lewat telepon genggamnya. “Foto pakai hape. Kalau untuk wawancara, saya pakai alat perekam.”

Baginya, perjalanan jauh menemui para narasumber, bukan tantangan besar. Ia dan teman-teman perempuan adat seringkali menikmati proses itu dan ia mengakui obrolan dengan tokoh adat bisa berlangsung dari pagi hingga malam. Kendala yang tengah ia resahkan justru ada pada bahasa Sasak yang dipakai oleh komunitasnya.

“Ada beberapa narasumber kami tidak pakai bahasa Indonesia. Mungkin nanti akan diterjemahkan dulu,” ujarnya.

 

***

Oleh Nurdiyansah Dalidjo