Martin Manurung, Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem), mengatakan tekanan publik sangat diperlukan agar pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat segera terwujud. Ia menyampaikan itu, dalam webinar Menyongsong Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat sebagai Hak Inisiatif DPR, yang digelar Fraksi Nasdem dan Martin Manurung Centre, Rabu sore (17/3/2021). “Di sinilah kita harus menyadari. Selain gerakan yang kami lakukan di dalam parlemen atau intra parlementer, perlu juga dukungan dan penguatan dari kawan-kawan yang berada di ekstra parlementer. Ini tentunya bila kita menginginkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat ini bisa tahun ini juga disahkan. Jangan sampai lagi lewat periode DPR-RI 2019-2024,” ucapnya. Ia menyebut selama ini, banyak kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, disikapi melalui advokasi-advokasi, seperti layaknya pemadam kebakaran. “Kita tidak bisa terus-menerus menjadi pemadam kebakaran. Akar persoalan ini yang harus kita pecahkan. Akar persoalannya adalah kita perlu dasar hukum bagi masyarakat adat di Indonesia ini, untuk memperoleh pengakuan, untuk memperoleh perlakuan yang adil dan setara sesuai dengan hak-haknya sebagai warga negara di Indonesia ini.” Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Masyarakat (Hukum) Adat, Badan Legislasi DPR-RI, menyebut sudah enam masa sidang dilalui, tapi RUU ini belum diparipurnakan. Menurutnya, pihaknya selalu mengusulkan agar segera disahkan menjadi RUU Hak Inisiatif DPR. Willy menyebut pada periode sebelumnya, pembahasan RUU Masyarakat Adat sudah sampai pada level surpres (Surat Perintah Presiden). “Tapi surpresnya sudah turun, tapi DIM (Daftar Inventarisasi Masalah)-nya tidak ada. Biasanya lampiran surpres itu DIM. Tapi surpresnya turun, tapi DIM-nya entah hilang di mana,” ucapnya. Menurutnya, ada beberapa isu krusial yang perlu dibahas sebelum pemerintah menurunkan surpresnya. Itu meliputi hak asal-usul, atau usulan asli. Menurutnya, menyikapi masyarakat adat yang banyak tinggal di sekitar kawasan hutan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), bersedia membicarakan ini, melakukan exposure. Lalu, soal Masyarakat Adat sebagai self regulating community, pengakuan hak dan perlindungan Masyarakat Adat dan lokal geniusnya. Strategi Komunikasi Politik Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, berpendapat bahwa faktor strategi politik antara DPR dan pemerintah yang lebih menentukan bagaimana RUU Masyarakat Adat disahkan. Rukka menyebut, dua kali periode pemerintahan gagal mengegolkan UU Masyarakat Adat karena faktor sektoralisme di pemerintahan. Ini yang harus diatasi. “Dua kali gagal semuanya itu karena sektoralisme, karena Kehutanan. Dari masa SBY, waktu itu yang ditugaskan untuk menjadi leading-nya adalah Kementerian Kehutanan, belum jadi KLHK. Nyatanya mereka kemudian memboikot, tidak jadi pengesahan itu.” “Kemudian periode yang sebelumnya (masa Jokowi), sama juga gitu. Masuk lagi ke Mendagri, masuk lagi Kemenkumham, masuk kementerian desa, masuk kementerian ATR, semuanya kemudian amburadul. Tidak ada yang menyerahkan DIM. Dan pada saat yang sama mereka mengatakan, kami sedang mengerjakan, dan kami sudah memasukkan,” beber Rukka. “Menurut saya, nanti di strategi komunikasi politik yang harus dikuatkan. Karena Nasdem ini kasihan. Saya melihat teman-teman di Nasdem, anggota DPR di Nasdem, sudah berjuang habis-habisan. Saya ikut bekerja bersama teman-teman TA (Tenaga Ahli). Dan saya tahu bagaimana beratnya pekerjaan ini, untuk membuat draf bersama itu,” lanjut Rukka. Perempuan asal Toraja ini kemudian mengatakan, yang harus ditertibkan oleh Partai Nasdem adalah kader-kadernya yang ada di pemerintahan. “Menteri KLHK secara khusus. Karena meskipun beliau mengatakan berkomitmen, tapi jawaban dan realitas saat ini tidak demikian. Nyatanya (Putusan) MK (Mahkamah Konstitusi) 35 itu sudah hampir 10 tahun, hasilnya baru 59 ribu hektar (hutan adat). Berbanding terbalik dengan jutaan perhutanan sosial lainnya,” ucap Rukka. Ia menyatakan, kementerian ini saat ini justru dengan sengaja menggunakan uang negara untuk menginvasi wilayah-wilayah adat, melalui skema hutan desa dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). “Jadi menurut saya ada hal-hal yang mesti dilakukan di tingkat ketua umum. Supaya tidak saling bertentangan justru pekerjaan-pekerjaan yang di mana Nasdem menjadi penggawanya. Itu yang menurut saya perlu dilakukan.” Rukka berpendapat, Nasdem sebagai bagian dari koalisi besar, yang bisa melakukan komunikasi politik langsung, tidak seperti kelompok masyarakat yang di luar parlemen. “Kalau pemerintah dan DPR memang punya niat yang tulus dan merasakan bahwa ini adalah UU yang urgen, mestinya lebih cepat dari Omnibus Cilaka itu,” cetus Rukka. Menanggapi Rukka, Martin Manurung mengatakan, dukungan publik lebih kuat harus ditunjukkan, karena nature­-nya RUU ini sebagai RUU yang bersifat populis, yang hadir secara bottom up. “Karena itu kita mengharapkan kesatuan gerak antara kita di parlemen dengan yang ada di luar parlemen.” **Budi Baskoro