[caption id="" align="alignleft" width="288"] Pengembangan ekonomi masyarakat adat[/caption] Jakarta. Pada tanggal 15 - 19 Agustus 2013 lalu di Hotel Akmani Jakarta, diselenggarakan Pelatihan Fasilitator Pengembangan Ekonomi Komunitas Masyarakat Adat yang diikuti oleh 16 Kepala Biro Ekosob Pengurus wilayah AMAN. Secara khusus pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para fasilitator yang juga adalah pengurus wilayah untuk menjalankan peran dan fungsi pendampingan usaha masyarakat adat anggota AMAN memanfaatkan semaksimal mungkin potensi sumberdaya alam yang ada di wilyah adat sesuai dengan perencanaan yang telah di sepakati oleh Komunitas Adat itu sendiri dengan mengacu kepada nilai-nilai kearifan yang mereka miliki, hukum bisnis dan keberlanjutan kehidupan. Pelatihan dimulai dari bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dan mengetahui potensi yang ada dalam diri mereka melalui test MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Beberapa peserta kaget dengan hasil testnya, setelah mengetahui bahwa potensi dirinya adalah di bagian pemasaran, di bagian strategi, di bagian komunikasi dan lain sebagainya. Dalam perbincangan santai dengan Biro Ekosob PW AMAN Sulawesi Tengah, Pak Yakob Taha, mengatakan,” saya mendapat tambahan ilmu baru, karena selama ini saya hanya belajar advokasi kasus yang terkait dengan konflik, namun ternyata masalah ekonomi juga sangat penting,” ujarnya. Lain lagi yang dikatakan oleh Biro Ekosob PW AMAN Sulawesi selatan Nurhaji Madjid “Seharusnya dari dulu AMAN sudah membicarakan ekonomi, karena sangat penting dan tidak selalu bicara kasus konflik saja”. Dalam pelatihan ini AMAN dibantu oleh para Fasilitator professional yang berasal dari Konsultan Bisnis Usaha Masyarakat, Sahabat Indonesia Lestari (SIL) yang merupakan lembaga pendamping, fasilitator dan konsultan bagi bisnis-bisnis masyarakat, berperan besar dalam mengembangkan kerajinan-kerajinan yang beraal dari Komunitas adat di Kalimantan dan menjadikannya menjadi barang-barang premium yang diminati oleh konsumen Jakarta, melalui mitra usahanya Borneo Chic Galery di bilangan Kemang Business. Pelatihan yang dilakukan selama 5 hari tersebut diisi dengan berbagai materi-dan praktek yang merupakan dasar-dasar dalam kewirausahaan komunitas, pengembangan usaha di komunitas sesuai dengan potensinya, studi banding ke galeri kerajinan yang menjual-produk-produk yang berasal dari komunitas, melakukan uji coba kemampuan personal dalam melakukan perencanaan usaha, praktek pameran pada AMAN Expo 2013 diselenggarakan dalam rangkaian acara hari Internasional Masayarakat Adat Se-Dunia. Pelatihan ini juga membuka wacana soal bagaimana bisnis komunitas dimulai dari ide-ide mengembangkan kapasitas komunitas dalam kewirausahaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Peluang pasar yang ada dan bagaimana mempertahankan kwalitas - kwantitas, keberlanjutan serta berpegang teguh pada nilai-nilai adat yang dimiliki untuk mendukung peningkatan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. Para peserta yang sebagian besar berasal dari komunitas adat untuk pertama kali diajak berpikir dan menyadarai potensi apa yang ada dalam dirinya dan komunitas, serta anggota AMAN. Kemudian mulai memikirkan apa yang dimaksud dengan usaha komunitas, bagaimana mengidentifikasi, merencanakan dan menjalankan usaha komunitas, baik yang sudah ada maupun yang sedang diupayakan oleh komunitas agar usaha-usaha itu memenuhi aspek-aspek wira usaha komunitas sebagai upaya menuju kemandirian ekonomi komunitas. Para peserta bersepakat untuk terus mengasah dan mengembangkan kemampuannya mendampingi dan menginisiasi bisnis-bisnis komunitas dengan terus berkomunikasi, bertukar pendapat, berdikusi dan saling membantu dalam upaya menjadi fasiliatator yang baik bagi komunitas anggota AMAN diwilayah masing-masing. Untuk itu dibentuk jaringan fasilitator usaha Masyarakat adat (JFUMA). Pada hari terakhir, peserta mengunjungi Alun-alun Indonesai yang merupakan salah satu pusat penjualan craft masyarakat adat di kawasan elit Bundaran Hotel Indonesia. Para peserta takjub dan heran. “Wah ini kok harganya segini disini?,” komentar para peserta. Intinya para pesrta tidak percaya kalau produk mereka itu dijual mahal oleh Galeri Alun-alun Indonesia. Pengelola Alun-alun Indonesia, Ibu Dolly mengatakan; “Jangan menilai produk sendiri, artinya teruslah berkarya sesuai dengan semangat yang ada di tempat saudara-saudari, karena penilaian kita berbeda. Penilaian terhadap barang anda oleh anda sendiri dengan kami berbeda. Bisa saja di tempat Anda barang ini nilainya rendah dan jelek. Tapi di sini anda lihat sendiri penilaian konsumen dan penggemar tidak sama dengan Anda. Jadi teruslah berkarya dan berbuat untuk tetap melestarikan budaya dan adat Anda,” ujarnya. Para peserta bersemangat dan mungkin dalam pikirannya mulai memikirkan apa langkah ke depan untuk bisa memasukan barang-barang craft dari daerahnya ke tempat seperti Alun-alun Indonesia.*** (Taryudi Caklid / Feri)