[caption id="" align="alignleft" width="280"] Siaran Pers: Pemetaan Wilayah Adat Jembatan Emas untuk Forest Governance[/caption] Masyarakat Adat Internasional menyambut baik dan mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi No.35/2013 sebagai kunci forest governance di Indonesia Jakarta, 5 September 2013 – Masyarakat Adat seluruh dunia menyatakan pemetaan sebagai alat penting untuk inisiatif mereka dalam membangun sistem informasi dan pemantauan berbasis masyarakat. Karena itu pemetaan wilayah adat merupakan jembatan emas untuk memperbaiki forest governance secara menyeluruh sehingga konflik-konflik hak penguasaan di kawasan hutan bisa diselesaikan. Hal tersebut salah satu bagian dari hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang telah digelar di Somosir, Sumatera Utara, pada 25 – 28 Agustus 2013. Konferensi masyarakat adat sedunia dihadiri 102 peserta dari perwakilan masyarakat adat Asia, Afrika, Amerika Latin, LSM, dan para ahli pemetaan wilayah adat. Hasil-hasil dari Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat dipaparkan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (5/9). Hadir sebagai pembicara adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, Koordinator Nasional JKPP Kasmita Widodo, Kepala Bidang Pemetaan, Kebencanaan & Perubahan Iklim Pusat. Pemetaan & Integrasi Tematik. Badan Informasi Geospasial, Sumaryono. Sedangkan Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru menjadi moderator konferensi pers. Konferensi internasional masyarakat adat tersebut membuat beberapa rekomendasi global. Antara lain, masyarakat adat sedunia mendukung tuntutan Masyarakat Adat Indonesia kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan melaksanakan Keputusan Mahkamah konstitusi Hukum Nomor:35/PUU-X/2012 yang menyatakan Hutan Adat bukan Hutan Negara. Tindakan tersebut harus mencakup percepatan pemetaan Wilayah masyarakat adat dan pengukuhan hutan. Masyarakat adat sedunia juga mendukung seruan masyarakat adat Nusantara agar Parlemen Indonesia segera mengesahkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Menurut Abdon Nababan, selama ini, masyarakat internasional menilai bahwa dukungan yang kerap mereka berikan tidak efektif memperbaiki pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Namun, Keputusan MK No.35/2013 memberikan harapan baru baru tidak hanya bagi masyarakat adat, pemerintah Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional. “Dukungan internasional semakin kuat diberikan. Konsep, pengalaman dan pembelajaran dari negara-negara lain yang dipaparkan pada konferensi global pekan lalu akan memperkuat gerakan pemetaan partisipatif wilayah adat di Indonesia, khususnya yang terkait dengan upaya percepatan pemetaan yang harus kami lakukan 7 tahun ke depan,” kata Abdon Nababan. Pada konfernesi ini, AMAN mengevaluasi tujuan, pendekatan, metodologi dan teknologi yang selama ini digunakan di Indonesia. Penggunaan foto citra satelit, aplikasi-aplikasi open source yang mudah diakses seperti Google Earth dan BING MAP, software pengolahan informasi geospasial seperti Quantum GIS akan memperkuat pemetaan wilayah adat dalam skala yang lebih luas dengan tetap menjamin proses yang partisipatori. Menurut Kasmita Widodo, permasalahan pemetaan masih menjadi hal yang krusial di Indonesia karena tidak adanya satu peta resmi yang mengakibatkan departemen-departemen pemerintah memiliki petanya masing-masing. Inilah yang menyebabkan munculnya tumpang tindih ijin pengelolaan lahan hutan. “Muara dari tumpang tindih penggunaan lahan adalah timbulnya konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dan perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan. Pemetaan partisipatif menjadi salah satu alat untuk menunjukkan keberadaan masyarakat adat atas hak dan ruang hidupnya, sehingga bisa menjadi alat menyelesaikan konflik,” kata Kasmita Widodo. Menurut Sumaryono, saat ini Indonesia telah memiliki UU No.4/2011 tentang Informasi Geospasial yang memberikan hak kepada masyarakat untuk melakukan pemetaan. Peta yang dibuat masyarakat termasuk peta tematik yang wajib mengacu pada Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang dibuat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). “Pada dasarnya peta tematik bisa dibuat oleh siapa pun baik instansi pemerintah, pemda, maupun setiap warga Indonesia. Dalam menyelenggarakan peta tematik, instansi pemeritah, maupun pemda berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang pun dapat menyelenggarakan peta tematik hanya untuk kepentingan sendiri dan selain yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah. Semua ini diselenggarakan untuk menuju kebijakan satu peta,” ujar Sumaryono. Dari hasil konferensi global tersebut Indonesia, melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengantongi dukungan internasional dalam langkah percepatan pemetaan lebih dari 40 juta hektar wilayah adat di Indonesia. Pada akhirnya penyelesaian pemetaan wilayah adat akan mendukung terwujudnya satu peta resmi kawasan hutan.