Oleh: Hero Aprila dan Simon Welan

Sudah 78 tahun Indonesia merdeka. Angka yang terbilang menunjukkan kedewasaan sebuah negara. Maka, perlu adanya sebuah refleksi untuk mengukur kegagalan dan pencapaian Indonesia dalam bernegara, serta bentuk kesejahteraan yang diejawantahkan oleh konstitusi terhadap kelompok rentan seperti Masyarakat Adat.

Sejarah panjang perjuangan Masyarakat Adat adalah bagian integral dari perjalanan bangsa ini menuju kemerdekaan. Sebagai garda terdepan penjaga hutan (baca: wilayah adat), lingkungan, warisan budaya dan kearifan lokal yang telah melewati berbagai tantangan dan kesulitan untuk tetap menjaga akar-akar identitas. Namun dalam praktiknya, hak-hak Masyarakat Adat terus dirampas dan diabaikan.

Penegasan Pengakuan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), belum cukup untuk dapat diimplementasikan dalam ruang-ruang yang lebih kompleks di masing-masing wilayah adat. Sempat menjadi angin segar bagi Masyarakat Adat di seluruh Nusantara atas upaya yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama koalisi yang melahirkan Putusan MK 35/PUU-X/2012, bahwa putusan ini menyatakan hutan adat bukanlah hutan negara, ternyata masih belum cukup menjadi payung hukum bagi Masyarakat Adat.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) juga menempuh upaya gugatan uji materiil terhadap Perpres Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Melalui Putusan MA Nomor 61 P/Hum/2022, Majelis Hakim menolak isi gugatan, namun menegaskan bahwa Legal Standing Masyarakat Adat diakui sebagai penyelenggara nilai ekonomi karbon.

Meskipun telah ada langkah-langkah menuju pengakuan, masih banyak wilayah yang belum tersentuh oleh reformasi dan perlindungan hak Masyarakat Adat. Wilayah adat terancam oleh eksploitasi sumber daya alam, infrastruktur yang merusak lingkungan, dan kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampak kerugiannya. Ini adalah praktik ketidakadilan yang masih dirasakan oleh Masyarakat Adat di seluruh Nusantara.

Rekognisi terhadap hak-hak Masyarakat Adat merupakan langkah monumental menuju inklusivitas negara dan implementasi terhadap konstitusi serta penghormatan terhadap Masyarakat Adat, wilayah adat, kearifan lokal, dan keragaman budaya di Indonesia. Sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman etnis, bahasa, dan adat istiadat, pengakuan ini mewakili langkah maju dalam memastikan hak-hak Masyarakat Adat dihormati dan diakui secara hukum. Proses ini juga merupakan refleksi dari semangat gotong royong dan persatuan yang terus digaungkan oleh pemerintah dalam setiap forum resmi.

Perjuangan Masyarakat Adat untuk mendapatkan pengakuan telah memakan waktu bertahun-tahun, penuh tantangan, dan upaya keras dalam mengatasi hambatan hukum dan sosial. Pengakuan ini memberikan makna mendalam dalam refleksi di Hari Kemerdekaan. Ia mengajarkan kita bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika semua warga negara, termasuk Masyarakat Adat, dapat merasa diakui, dihormati, dan berpartisipasi dalam membangun bangsa.

Berbicara tentang Hari Kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan berpakaian adat saat berbicara dalam forum resmi, seolah-olah menunjukkan kepedulian terhadap keberagaman suku, bangsa dan adat istiadat. Namun diperlukan adanya langkah kongkrit yang mencakup implementasi dari payung hukum yang sudah ada maupun mendorong payung hukum untuk mencegah kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan nasional dan praktiknya.

Namun dalam refleksi ini, ditemukan sebuah inspirasi dari semangat perjuangan para leluhur Masyarakat Adat. Mereka telah memberikan teladan tentang kedaulatan dalam pengelolaan wilayah adat dan perjuangan untuk mendapatkan rekognisi atas hak-haknya, menjaga warisan budaya dan keseimbangan dengan alam.

Refleksi ini tidak hanya berlaku untuk Masyarakat Adat, tapi juga untuk semua warga negara Indonesia. Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap orang, termasuk ketika Masyarakat Adat dapat berdaulat atas wilayah adatnya sendiri tanpa diskriminasi dan intimidasi.

Hari Kemerdekaan adalah saat yang tepat untuk merefleksikan sejauh mana peran negara dalam memastikan rekognisi terhadap hak-hak Masyarakat Adat melalui pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan amanat konstitusi.

Sumbangsih Masyarakat Adat di Kemerdekaan RI

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan Kemerdekaan Indonesia 78 tahun lalu yang dirayakan hari ini, tidak terwujud kalau tanpa pelibatan dan kerelaan Masyarakat Adat untuk bahu membahu melawan para penjajah, berjuang mempertahankan tanah adat, dan kedaulatan negara. Fakta ini tercatat dalam kisah perjuangan Masyarakat Adat di seluruh wilayah adat Indonesia sejak zaman kolonial hingga memasuki era kemerdekaan.

Karena itu, Umbu Wulang menyatakan peristiwa 78 tahun Indonesia Merdeka ini, harus menjadi momentum refleksi bersama seluruh rakyat Indonesia, khususnya yang terkait dengan kondisi Masyarakat Adat yang kini kian terancam.

“Bagaimana nasib Masyarakat Adat yang hingga kini masih berjuang melawan segala bentuk eksploitasi terhadap ruang hidup mereka. Bagaimana kondisi alam, tanah, air dan udara yang kita hirup, yang kian tercemar. Ini catatan di Hari Kemerdekaan 78 tahun ini,” kata calon anggota DPD RI dari NTT ini.

Umbu Wulang menuturkan negara dalam orientasi pembangunannya juga mengubah Masyarakat Adat sebagai pemilik menjadi pekerja dan mengubah produsen menjadi konsumen atas kekayaannya sendiri.

Ia mencontohkan beberapa kasus yang menimpa Masyarakat Adat yang sampai saat ini marak terjadi di Nusa Tenggara Timur, diantaranya perjuangan Masyarakat Adat di Hutan Pubabu Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Masyarakat Adat mengambil langkah melawan Pemerintah Provinsi NTT dalam mempertahankan hutan Pubabu, hingga salah satu Masyarakat Adat bernama Nikodemus Manao dikriminalisasi.

Aksi Masyarakat Adat Poco Leok melawan rencana pembangunan Geothermal

Umbu Wulang juga menyebut kasus perlawanan Masyarakat Adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai melawan rencana pembangunan Geothermal yang merupakan perluasan dari PLTU Ulumbu. Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh Masyarakat Adat Nunang, Sano Nggoang, Manggarai Barat yang saat ini juga tengah terancam rencana eksploitasi Geothermal Wae Sano.

Kemudian, konflik pembangunan Waduk Lambo oleh Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora di Kabupaten Nagekeo. Konflik Masyarakat Adat di pesisir Sumba Barat yang mengakibatkan seorang petani Porno Duka harus meninggal, setelah peluru dari senjata aparat kepolisian bersarang di tubuhnya. Perjuangan Masyarakat Adat Kolhua, Kota Kupang yang sampai hari ini masih berjuang mempertahankan hutan Kolhua. Hutan satu-satunya yang menjadi paru-paru Kota Kupang, agar tidak digusur untuk pembangunan bendungan.

Berbagai peristiwa miris ini menjelaskan, betapa Masyarakat Adat selalu dihadapkan dengan ancaman pembangunan, di mana pembangunan hadir bukan untuk menyejahterakan Masyarakat Adat melainkan hadir untuk menggusur ruang hidup mereka tanpa memperlihatkan rasa hormat, perlindungan dan pemajuan.

Padahal, Masyarakat Adat adalah pejuang ekologis sejati, yang berperan penting dalam menjaga hutan dan lingkungan Indonesia, agar manusia Indonesia tidak kekurangan oksigen dan kehilangan ruang – ruang penghidupan.

"Ini refleksi saya sebagai aktivis lingkungan dan pemerhati Masyarakat Adat. Mari terus merdeka dengan menjaga adat, budaya dan lingkungan kita hidup. Karena hanya itulah satu-satunya warisan paling berharga dalam sejarah bangsa Indonesia, yang bisa kita wariskan untuk anak cucu kita,” ungkapnya saat berdiskusi dengan beberapa komunitas Masyarakat Adat dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 78.

***

Penulis Hero adalah Pemuda Adat di Seknas PPMAN, sedangkan penulis Simon adalah Jurnalis Masyarakat Adat di NTT

 

Tag : Refleksi HUT Kemerdekaan RI Pengakuan Hak Masyarakat Adat