Oleh Simon Welan

Masyarakat Adat Rendu terus menggaungkan suara. Mereka meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mendengarkan seruan mereka terkait pembangunan Waduk Lambo yang berada di Lowo Se, Dusun Malapoma, Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Seruan tersebut disampaikan oleh Masyarakat Adat Rendu melalui aksi protes. Mereka memblokir jalan untuk menghadang kedatangan Tim Survei dan Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusra II yang hendak melakukan observasi lapangan di lokasi pembangunan Waduk Lambo pada Senin lalu (23/8/2021) di Desa Rendu Butowe. Masyarakat Adat berpendapat bahwa tim dengan seenaknya datang ke wilayah adat milik Masyarakat Adat Rendu tanpa izin.

Sekretaris Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) Willybrodus Be’i Ou mengatakan kepada awak media bahwa Tim Survei dan BWS Nusra II sesungguhnya telah membuat kesalahan besar dalam melakukan aktivitasnya di dalam wilayah adat Masyarakat Adat Rendu. Mereka dengan sengaja memasuki tanah-tanah ulayat tanpa terlebih dulu meminta dan mendapat izin dari Masyarakat Adat Rendu.

“Mereka diam-diam nyelonong masuk saja seperti pencuri. Tanpa meminta izin dari kami (sebagai) pemilik tanah,” kata Willy. “Padahal, mereka tahu persis kalau tanah ulayat ini milik kami Masyarakat Adat yang ada di sini.”

Willy menuturkan kalau sekelompok Tim Survei yang hendak melakukan survei lokasi tersebut, telah mengetahui adanya penghadangan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Dusun Malapoma. Tetapi, mereka tidak kehilangan akal dan malah mencari jalan masuk lokasi lewat Pasar Raja dan secara diam-diam tetap melakukan survei.

“Mereka masuk melakukan survei di wilayah adat kami (tanpa izin) itu saja sama seperti pencuri. Namun, mereka melaporkan data ke (Pemerintah) Pusat (bahwa) semuanya baik-baik, padahal data-data itu banyak yang direkayasa dari lapangan,” tuturnya.  

Willy juga menegaskan jika Tim Survei itu, baik itu BWS Nura II maupun Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Nagekeo, tidak pernah jujur dan hanya melaporkan data rekayasa ke Pemerintah Pusat, sehingga Presiden Jokowi tidak pernah tahu kalau sesungguhnya sedang ada gejolak yang terjadi di Rendu Butowe terkait pembangunan waduk. Menurutnya, pihak BWS Nusra II dan Pemda Kabupaten Nagekeo bertanggung jawab secara penuh untuk secara jujur dan transparan memberikan laporan yang sebetulnya terjadi di Rendu Butowe agar Pemerintah Pusat mengetahui kondisi riil yang sebenarnya.

“Saya yakin kalau Pemerintah Pusat mengetahui adanya penolakan dari Masyarakat Adat pemilik tanah ulayat terhadap lokasi yang ada. Maka, pasti ada pertimbangan dan jalan keluar yang terbaik dari Pemerintah Pusat. Namun, yang terjadi BWS Nusra II dan Pemda Nagekeo merekayasa data dan melaporkan seolah-olah tidak ada persoalan di lapangan,” lanjut Willy.

Aksi penutupan jalan oleh Masyarakat Adat Rendu. Sumber foto: Dokumentasi AMAN Nusa Bunga.

Oleh karena itu, ia mewakili FPPWL meminta agar Presiden Jokowi bisa mendengarkan seruan yang diteriakkan Masyarakat Adat Rendu Butowe, Lambo, dan Ndora yang selama ini menolak lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowo Se. Masyarakat Adat sendiri mengaku bahwa mereka bukan menolak pembangunan waduk, tetapi mereka menolak lokasi yang ditetapkan secara sepihak karena berada di atas tanah adat yang memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup Masyarakat Adat Rendu.

“Masyarakat Adat di ketiga komunitas yang terkena dampak langsung pembangunan Waduk Lambo, sesungguhnya bukan menolak pembangunan waduk, tetapi menolak lokasi pembangunan,” tegas Willybrodus. Masyarakat Adat sendiri telah memberikan alternatif solusi pembangunan waduk di Malawaka dan Lowo Pebhu yang juga masih berada di dalam wilayah adat dari Masyarakat Adat Rendu. “Sejak awal, kami menolak lokasi pembangunan di Lowo Se karena kampung, kebun, tempat ibadah, sekolah, tempat ritual adat, dan kuburan leluhur kami akan ikut tenggelam. Sehingga, kami sediakan lokasi alternatif di dua tempat itu.”

Sementara itu, Antonius Api, tokoh Masyarakat Adat Rendu, mengatakan bahwa aksi tutup jalan yang dilakukan merupakan bentuk protes keras terhadap BWS Nusra II yang memaksakan diri untuk tetap melakukan survei terhadap wilayah adat Masyarakat Adat Rendu Butowe, Lambo, dan Ndora. Padahal, pihak BWS Nusra II sudah juga mengetahui kalau Masyarakat Adat di ketiga komunitas itu telah lama menolak lokasi dibangunnya Waduk Lambo.

Antonius pun bersikeras bahwa Masyarakat Adat tidak sedikit pun mengizinkan mereka untuk membangun waduk di Lowo Se. “Sebenarnya kami telah memberikan lokasi alternatif untuk dibangunkannya Waduk Lambo yang masih dalam wilayah adat kami dan lokasinya jauh dari pemukiman kami,” tuturnya.

Antonius mengaku kecewa dengan sikap Tim Survei maupun BWS Nusra II yang tetap memaksakan pelaksanaan survei secara diam-diam.

“Mereka seperti pencuri yang hendak mencuri harta warisan leluhur kami,” tegas Antonius menyindir

Hal yang sama juga diungkapkan Hermina Mawa atau akrab disapa Mama Mince, seorang perempuan adat dari Rendu Butowe yang turut berjuang mempertahankan wilayah adat. Ia mengatakan kalau kehadiran Tim Survei dan BWS Nusra II hanya mengganggu aktivitas Masyarakat Adat yang kesehariannya bekerja di kebun. 

“Sampai kapan juga, mereka tidak akan mendapatkan data yang sebenarnya,” tutur Mama Mince. “Mereka akan terus melaporkan data bohong kepada Presiden Jokowi karena mereka tiba lapangan, kita akan mengusir mereka dan tidak akan memberikan data kepada mereka.” Ia mengungkapkan bahwa dirinya dan Masyarakat Adat dari ketiga komunitas telah berkomitmen untuk menolak lokasi pembangunan waduk di Lowo Se.

Masyarakat Adat Rendu menyerukan akan tetap melawan jika pemerintah maupun pihak lain masih tetap bersikeras membangun waduk tanpa melalui proses musyawarah mufakat dengan Masyarakat Adat Rendu.

“Ini tanah kami! Ini ‘ibu’ yang harus kami jaga. Kami tidak akan pergi dari tempat ini. Mati pun kami sudah siap,” ucap Mama Mince

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Nusa Bunga.