[caption id="attachment_117" align="alignnone" width="1280"]Tandur (menanam padi) oleh petani di kalangan masyarakat Using, Banyuwangi Tandur (menanam padi) oleh petani di kalangan masyarakat Using, Banyuwangi. Foto oleh Riedo Andy Kurniawan[/caption] Masyarakat Adat dan Kebudayaan Bercocok Tanam Setiap kelompok etnik atau masyarakat adat di mana pun biasanya bercorak agraris atau memiliki kebudayaan bersawah/ berladang/ bercocok tanam sehingga hubungan mereka dengan tanah sangat lekat. Oleh karena itulah, maka tak heran apabila dalam konsepsi AMAN� mengenai masyarakat adat salah satu poin terpentingnya adalah adanya tanah ulayat (wilayah atau hutan adat). Corak agraris juga mewarnai kehidupan kelompok etnik Osing yang dianggap sebagai penduduk asli (indigenous people) Banyuwangi. Kondisi ekologi Banyuwangi yang subur dan kaya akan air serta sinar matahari terutama sangat mendukung bagi� terbangunnya tradisi atau kebudayaan bersawah yang telah dibuktikan dalam sejarah lokal Banyuwangi sebagai lumbung padi bagi kawasan Jawa Timur hingga saat ini. Memang produk-produk hukum yang dibuat oleh kaum kolonial serta pemerintah banyak yang menutup mata terhadap kepemilikan wilayah atau hutan adat, tetapi hilangnya wilayah atau hutan adat yang tentu saja mengancam tradisi agraris yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang agak tertolong dengan masih adanya masyarakat yang memelihara kearifan lokal dalam artian sebenarnya khazanah kearifan lokal itupun dalam kondisi terancam oleh globalisasi (baca: modernisme dan materialisme). Modernisme membujuk kita untuk meninggalkan segala hal yang berbau �masa lalu.� Sementara itu materialisme memaksa kita terus berhitung mengenai untung ruginya melakukan sesuatu. Globalisasi benar-benar memiliki logikanya sendiri mengenai apa artinya menjadi manusia. Tradisi agraris/ kebudayaan bersawah merupakan salah satu kebudayaan tertua yang masih lestari di Indonesia. Tradisi agraris membuat Indonesia di masa lalu menjadi penyuplai kehidupan masyarakatnya, walaupun program Revolusi Hijau bersama dengan global warming memporak-porandakan sistem kebudayaan bersawah beserta kearifan lokalnya sehingga Indonesia kini tak lagi memiliki kedaulatan pangan. Berdasarkan pertimbangan mengenai pentingnya para pemuda adat Osing memahami dirinya sendiri dalam hal ini melalui kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi agraris Osing, maka sesi ini diadakan. Sebelum masuk ke konten mengenai kearifan lokal tersebut, baik kiranya bila dikenalkan definisi dari beberapa istilah kunci: kearifan lokal dan tradisi agraris. Kearifan lokal (Kartawinata, 2011: viii) dimaknai sebagai pengetahuan atau gagasan lokal yang bersifat arif dan terbukti mampu memberikan daya tahan dan daya tumbuh bagi terselesaikannya masalah-masalah lokal. Tradisi merupakan kebiasaan yang diwariskan� secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Oxford Advanced Learner�s Dictionary, 1987: 917). Kearifan tradisi agraris Osing berarti pengetahuan lokal yang terdapat pada tradisi agraris masyarakat Osing yang walaupun terdapat variasi antara satu komunitas Osing dengan komunitas Osing lainnya, namun memiliki benang merah sehingga bisa dikatakan bahwa kearifan lokal tersebut bisa dilihat antara lain dari ritus pertanian dalam sistem budidaya padi, ritual adat, seni tari, seni musik dan seni arsitektural. Karena keterbatasan waktu, dalam makalah ini hanya dicontohkan kearifan lokal dalam tradisi budidaya padi dan selametan kampung. Kearifan Lokal dalam Tradisi Budidaya Padi dan Selametan Kampung Pola hidup, kebudayaan dan tradisi masyarakat Osing sangat dipengaruhi oleh sistem dan tradisi budidaya lahan serta hasil pertanian, terutama padi sebagai tanaman pokok. Tradisi budidaya padi tersebut mencakup 9 prosesi yang diawali dengan persiapan menanam padi hingga panen. Berikut ini ragam tradisi budidaya padi pada komunitas Osing:
  1. Slametan dawuan (prosesi doa dan selamatan yang dilaksanakan di sumber air/jaringan irigasi dengan harapan agar proses memulai mengolah sawah berjalan baik dan aliran irigasi mengalir lancar). Hidangan ritual pada prosesi ini adalah tumpeng-Pecel Pitik. Setelah doa dipanjatkan, puncak dari tumpeng dipotong sedikit dan kemudian diletakkan di wadah dari daun pisang (takir) bersama dengan bagian kaki (ceker), sayap (telampikan), kepala, dan bagian ekor (berutu) ayam yang sudah dibakar. Wadah berisi makanan tersebut kemudian diletakkan di saluran air utama bersama dengan kemenyan yang dibakar dan takir berisi daun sirih, pinang, dan kapur. Setelah itu, peserta prosesi memakan tumpeng-pecel pitik bersama-sama sebelum akhirnya masuk ke badan sungai untuk membersihkan saluran irigasi utama.
  2. Labuh nyingkal (prosesi mengolah tanah dengan bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi yang diawali dengan doa dan selamatan memohon kepada Tuhan agar diberi keselamatan selama proses berlangsung). Hidangan ritual untuk prosesi ini adalah nasi uduk dengan ayam dan kuah lembarang. Sebelum acara selamatan dimulai, ayam yang sudah dibumbui dipendam di dalam nasi uduk. Baru setelah doa selesai dipanjatkan, ayam dikeluarkan dari dalam nasi, disuwir-suwir dan dimakan bersama nasi uduk dan siraman kuah lembarang.
  3. Nyawani ngurit (prosesi menabur benih sambil diawali doa memohon kepada Tuhan agar tanaman terhindar dari hama penyakit). Yang harus disiapkan untuk prosesi ini adalah dringu-bawang yang berupa bawang merah, kunyit, dan dringu yang dihaluskan. Kemudian bahan tersebut diaduk-aduk dengan gabah yang akan ditaburkan.
  4. Labuh tandur (prosesi menanam padi yang diawali dengan doa memohon kepada Tuhan agar tanamannya tumbuh subur). Untuk memulai bertanam padi, yang harus disiapkan adalah adeg-adeg yang berupa daun jarak, daun, lengkuas, daun keluwih, sirih, kapur, gambir, dan sego urap. Prosesi ini dilakukan di uangan, tempat mengalirkan air yang pertama di sawah. Yang melakukannya harus orang yang memiliki weton tanam.
  5. Ngrujaki (prosesi doa dan selamatan memohon kepada Tuhan agar tanaman padi tumbuh dengan sempurna dan banyak). Seperti dinyatakan oleh namanya, prosesi ini hidangan ritualnya adalah rujak buah dengan buah-buahan yang biasa didapatkan di desa, seperti timun dan ubi jalar.
  6. Nylameti sawah (prosesi doa dan selamatan memohon kepada Tuhan agar proses pengisian bulir padi berlangsung sempurna).
  7. Metik (prosesi doa dan ritual menaruh sesaji di gubuk sawah sebagai ungkapan syukur atas hasil padi yang baik dan melimpah).
  8. Labuh nggampung (prosesi kegiatan panen yang diawali dengan doa sebagai bentuk rasa syukur bahwa tanamannya memberikan hasil yang baik). Yang harus disiapkan pada saat prosesi ini adalah lawe, bedak, cermin kecil, jarit kuwung, sisir, kembang telon (bunga tiga warna). Semuanya itu diletakkan di uangan agar roh penjaga padi (Dewi Sri) memakainya untuk berhias. Prosesi ini juga dulunya dimanfaatkan oleh warga untuk mengadakan tunangan (bakalan). Pasangan yang akan bertunangan didandani dengan pakaian khas Using lalu melaksanakan prosesi di tengah sawah yang padinya sedang dipanen. Hidangan yang dibuat adalah kue-kue sederhana seperti pisang goreng,sumping atau nagasari, tape buntut, ketan rokok, apem bleg, kucur, dan lain-lain.
  9. Ngunjal (prosesi mengangkut padi ke rumah sebagai bentuk syukur atas panen melimpah dan bisa dibawa pulang).
Setiap tahapan budidaya padi dalam masyarakat Osing hampir selalu diwarnai dengan selametan yang di dalamnya ada doa dan makan bersama. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Osing merupakan masyarakat yang senantiasa berupaya menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta, roh Dewi Sri, sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Gambaran yang serupa juga bisa didapatkan dari seluruh ritual selametan kampung di kantung-kantung komunitas Osing seperti di antaranya Tumpeng Sewu Kemiren, Ithuk-Ithukan Jopura, Keboan Aliyan, Sapi-Sapian Kenjo, Tumpeng 9 Glagah, Gelar 7 Dukuh Kopen Kidul, Seblang Bakungan dan Olehsari. Ritual-ritual tersebut merupakan ritual agraris yang merayakan kesuburan dengan 3 ciri utama, yaitu 1) menjaga hubungan baik dengan Tuhan, roh-roh leluhur atau danyang desa, 2) memupuk kerukunan dengan sesama manusia, dan 3) memelihara hubungan baik dengan lingkungan. Pelaksanaan seluruh ritual apabila dilakukan dengan tertib dan penuh penghayatan akan menjamin ketenangan batin individu, kerukunan masyarakat serta kelestarian alam (karena selalu melibatkan tempat-tempat atau sumberdaya tertentu yang erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak, misalnya sumberdaya air). Masyarakat Adat dan lingkungan Tema kelestarian lingkungan, tentu saja merupakan tema yang amat penting dan relevan dengan kehidupan masyarakat adat karena sebagian besar masyarakat adat adalah komunitas yang menggantungkan kehidupannya pada lingkungan alam, baik itu pertanian, hutan maupun laut. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika hampir seluruh aktifitas ritual masyarakat adat berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan alam yang menjadi jantung dari masyarakat adat. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat adat Osing di Banyuwangi. Karena itulah maka perjuangan masyarakat adat dalam segala bentuknya seharusnya tidak lepas dari perjuangan dalam melestarikan lingkungan alam. Bentuk-bentuk ritual komunal masyarakat adat Osing yang dalam beberapa tahun terakhir gencar dijadikan daya tarik wisata di Banyuwangi, pada satu sisi tentu menumbuhkan kepercayaan akan kebudayaan dan tradisi lokal masyarakat adat Osing. Namun di sisi lain, perayaan seperti itu hanya akan menjadi seremonial semata jika tidak disertai dengan pemahaman tentang pentingnya menjaga tanah dan wilayah adat yang berbasis pada pertanian, yang berkaitan dengan sumber daya air dan lahan pertanian. Jika hal-hal semacam ini tidak segera disadari oleh masyarakat adat, maka pelan-pelan basis kebudayaan masyarakat adat akan segera hilang beserta sumberdaya yang dimilikinya. Oleh karena itulah, perjuangan masyarakat adat tentu saja bukan sekedar pemertahanan seni, tradisi, dan ritual adat semata, tapi lebih jauh dari itu adalah perjuangan dalam pengelolaan lingkungan dan wilayah adat� tempat tumbuh dan berkembangnya segala unsur kebudayaan masyarakat adat. Demikian. Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum.* Makalah disampaikan dalam acara Kemah Budaya Barisan Pemuda Adat Nusantara PD Osing pada hari Sabtu, 28 Januari 2017 di Bumi Perkemahan Tamansuruh Kecamatan Glagah - Banyuwangi. *Penulis adalah Sekretaris� BPH AMAN PD Osing yang sehari-harinya mengajar di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa� dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi. Sumber : kearifan-tradisi-agraris-osing