[caption id="attachment_42" align="alignnone" width="782"]baru4-Inilah-salah-satu-lahan-persaahan-milik-warga-Desa-Margatani-Air-Sugihan-OKI-yang-diklaim-oleh-PT-SAML-Selatan-Agro-Makmur-Lestari. salah satu lahan milik warga Desa Margatani, Air Sugihan, OKI, yang diklaim PT Selatan Agro Makmur Lestari[/caption] Ada sejumlah isu yang sangat ini jadi prioritas AMAN sumsel untuk terus dikawal, yaitu Lahan untuk masyarakat adat dan industrialisasi sawit. Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera Selatan selama 18 tahun ini menyebabkan sekitar 1 juta dari 1,4 juta lahan gambut rusak. Sekitar 15.284 titik berada di lahan gambut, non-gambut sekitar 10.113 titik. Sebanyak 13.216 titik api berada di konsesi kehutanan, 3.619 di lahan perkebunan sawit, serta 8.562 berada di non-konsesi maupun perkebunan. Ini membuktikan jika perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) gagal menjaganya. Sebab, aktivitas perusahaan dengan mengedepankan tanaman sawit dan akasia, terbukti menurunkan kualitas lahan gambut, sehingga mudah terbakar. Perkebunan sawit dan HTI yang menanam akasia, terbukti gagal menjaga kualitas air di lahan gambut. Baik karena lemahnya sistem kelola air maupun karakter dari tanaman yang lemah mengontrol air. Tidak seperti tanaman khas gambut, seperti jelutung, aren, dan tanaman kayu lainnya, yang selama berabad menjaga lahan gambut. Sayang, semua tanaman tersebut sudah habis di lahan gambut di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, akibat eksplorasi perkayuan di masa Orde Baru, maupun saat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI. Satu-satunya solusi mencegah kebakaran adalah dengan membebaskan lahan gambut dari aktivitas perusahaan sawit dan HTI. Lahan tersebut, dikembalikan menjadi hutan, serta sebagian diberikan kepada masyarakat, sebagai jaminan mereka untuk menjaga lahan gambut kembali menjadi hutan, Sejumlah organisasi non-pemerintah di Sumatera Selatan (Sumsel) sepakat jika lahan perusahaan yang telah diambil negara karena gagal dijaga dari kebakaran dikembalikan menjadi hutan yang sebagiannya, diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola sebagai lahan pangan. Pemerintah Jokowi melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bakal menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarkat adat di Sumatera Bagian Selatan. Luasan lahan yang bakal dikelola melalui program areal kelola kawasan perhutanan sosial itu seluas 1,5 juta hektare. Liputan6.com tertanggal 4 Nov 2015 mengutip pernyataan Direktur Penyiapan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK Wiratno bahwa pengelolaan hutan ini merupakan bagian dari program nasional yang dicanangkan oleh KLHK dengan total lahan yang bakal diserahkan seluas 12,7 juta hektare. Penyerahan hak pengelolaan hak ini dalam rangka memaksimalkan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Pola agroforestry ini merupakan jalan tengah untuk menekan laju pengelolaan hutan yang saat ini belum maksimal, Dari alokasi 1,5 juta hektare itu Provinsi Riau mendapat alokasi lahan terbesar seluas 862.331 hektare, Jambi seluas 304.000 hektare, Sumatra Selatan seluas 257.828 hektare, dan Bengkulu seluas 119.661 hektare. Penyerahan pengelolaan kepada masyarakat adat lebih dari setengah atau 50 persen merupakan usulan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan JKPP dan KPSHK. Usulan itu melalui proses verifikasi yang melibatkan multipihak untuk memastikan bahwa tidak ada korporasi yang bermain di balik penyerahan hak pengelolaan ini. Sejumlah persoalan pada masyarakat adat di Sumatera Selatan (Sumsel) yang harus diselesaikan, sebelum mereka diberi kepercayaan pemerintah guna menjaga hutan dan lahan gambut. Misalnya, sebagian besar masyarakat adat saat ini hidup bergantung dengan perkebunan sawit, yang terbukti telah merusak hutan dan lahan gambut, serta membutuhkan lahan yang luas sertaadanya konflik lahan antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun pihak perusahaan. Salah satu cara untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, masyarakat adat harus melakukan pemetaan dirinya. Baik pemetaan wilayah maupun pemetaan terhadap identitas dirinya sebagai masyarakat adat. Pemetaan wilayah gunanya untuk mengatasi berbagai konflik lahan, sementara pemetaan identitas masyarakat adat untuk menemukan kearifan maupun tata nilai masyarakat adat dalam membangun kehidupan di wilayahnya maupun dengan lingkungannya. Dalam hal ini hutan atau lahan gambut. Selain melakukan pemetaan guna mengatasi persoalan tersebut, diperlukan upaya dalam membangun silaturahmi masyarakat adat. Kegiatan atau pendekatan yang paling efektif ialah dengan menghidupkan dan menjaga tradisi dan kesenian yang ada,� katanya. Begitu banyak tradisi dan seni yang ada di Sumsel yang sangat menjunjung keberagaman, kemanusiaan, dan kearifan dalam mengelola sumber daya alam. Inilah kekuatan Bangsa Indonesia yang telah dihancurkan, sehingga kehidupan bangsa seperti sekarang ini. Agar masa depan kita selamat, mari kita hidupkan kembali. (berbagaisumber) Sumber : saatnya-mengembalikan-lahan-untuk-masyarakat-adat