Oleh Arman Seli

Kampung Puntana adalah sebuah pemukiman Masyarakat Adat Nggolo di desa Powelua, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.  Kampung ini dihuni 16 kepala keluarga. Semuanya masih menjaga tradisi menanam padi ladang atau Punde.

Bagi Masyarakat Adat Nggolo,  menanam padi ladang bukan hanya sekadar kebutuhan pangan melainkan bagian dari menjaga hubungan dengan leluhur, alam semesta dan Maha Pencipta.

Padi ladang di kampung Puntana berfungsi untuk cadangan pangan. Biasanya dikonsumsi jika ada tamu penting dari luar kampung  atau situasi  sedang sulit.

Mebune, seorang totua adat dari kampung Puntana menyebut tradisi menanam padi ladang ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, tradisi ini masih dipegang teguh dan dipraktikkan oleh Masyarakat Adat Nggolo.

Mebune mengatakan untuk menanam padi ladang ini ada proses yang harus dilakukan,  mulai dari membuka lahan (Nantalu) hingga Panen (Nokato).

Iya Ane No Punde, Nantalu ghu, Naliungga sa’a ane Nompadu Kayu Nolopi Mo.(Iya, kalau menanam padi ladang, awalnya membuka lahan dulu. Setelah itu membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang, kemudian dibuatkan adatnya atau Nolopi,” jelas Mebune belum lama ini menggunakan bahasa Kaili Unde.

Naliungga Sa’a Vomo, Da Naghiapa to Nipovia, Ane Polopi Botu Tolunggani nipovia sampe Nompaliu. (Setelah itu, masih ada yang dilakukan, Nolopi dilakukan sebanyak tiga kali sampai pada pesta syukuran atas panen),” lanjutnya.

Mebune sendiri mengaku sudah menanam  padi ladang sejak kecil. Ia memiliki beberapa varietas padi ladang yaitu Ane ni tuja, Naghia Koyo, Naghia Vo Pulu.

Dikatakannya, di kampung Puntana ada puluhan varietas padi ladang yang hingga kini disimpan dengan baik antara lain  varietas Patirangga, Tomai,  Sikuru Batu, Ntomai, Tinggaloko, Pulugguni/Pungguni, Tolebana, Njoili, Togadera.

Masyarakat Adat Nggolo panen padi. Dokumentasi AMAN

Mitologi Masyarakat Adat Nggolo

Mebune menjelaskan dalam Mitologi Masyarakat Adat  Nggolo, padi ladang dipercaya  berkaitan erat dengan manusia. Mebune menceritakan awalnya, padi ladang atau Punde dari tujuh bersaudara, dua diantaranya Manusia dan Punde. Kemudian, Punde yatim piatu ketika pamannya membuka ladang (Nantalu). Ia pergi ke ladang yang telah dibuka oleh pamannya. Selanjutnya, ia menggulingkan badannya di ladang tersebut dan akhirnya menjadi padi.

Alkisah disebutkan jika orang-orang yang mempunyai kemampuan khusus (Nabalia) memotong padi,  mereka melihat ada darah keluar dari tangkai padi ladang,  hal itu diyakini Punde memiliki jiwa layaknya manusia.

Dalam rangkaian panen padi ladang, juga ada ritual nobalia atau nyanyian semalam suntuk dengan berbagai syair sebagai bentuk kesyukuran atas hasil yang didapatkan.

Mebune menyebut ada nama-nama syair (Dade) yang dilantunkan dalam nyanyian semalam suntuk (Balia) tersebut yaitu Njalisa, Roya, Sebone Ndate, Sebone Mbuku, Ndue, Eja, Kamai, Namo, Mpanamo.

“Syair-syair dalam nyayian semalam suntuk juga memiliki makna mengucap syukur dan meminta agar panen selalu diberikan hasil yang melimpah,” terangnya.

Mebune menjelaskan semua kepala keluarga yang memiliki padi ladang diwajibkan agar menyiapkan ayam dan perlengkapan syukuran pada saat panen. Perlengkapan panennya meliputi dulang, parang, piring putih dan sirih, pinang, kapur atau disebut dengan sambulu gana.

“Ayam sebagai wadah untuk memohon kepada Maha Pencipta agar selalu diberikan kebaikan,” jelasnya sembari menambahkan dalam melihat hati ayam ini, Masyarakat Adat di kampung Puntana menyebutnya dengan Nompepoyu.

Mebune mengingatkan ada beberapa pantangan yang harus dihindari oleh Masyarakat Adat Nggolo saat menanam hingga panen padi ladang. Bahkan, keseharian dalam kehidupan sosial tidak boleh mengucapkan kerbau putih dalam bahasa Kaili.

“Pantangan ini tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar akan menimbulkan hal yang tidak baik,” ucapnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah