Oleh Maria Baru

Moses Syufi, seorang pemuda adat dari Masyarakat Adat Miyah, telah menyukai berburu sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ia bercerita bahwa kebiasan berburu telah diwariskan dari ayahnya.

Sejak kecil, Moses kerap mengikuti ayahnya berburu. Ia pun belajar cara memasang jerat dan membunuh babi. Ia mengatakan bahwa ada tiga cara dalam berburu, yaitu pertama, berburu dengan cara membawa anjing masuk ke hutan; kedua, berburu dengan metode memasang jerat di titik-titik jalur mobilitas babi; dan ketiga, berburu mata biasa yang artinya berburu dengan masuk hutan tanpa jerat dan anjing, melainkan hanya pakai busur, tombak, dan anak panah. Ia sering berburu dengan versi memasang jerat dan membawa anjing masuk hutan.

Masyarakat Adat Miyah di Tambrauw, Papua Barat, percaya bahwa berburu bukan untuk memusnahkan atau membunuh secara liar, namun hal tersebut dilakukan saat mereka ingin (haus) makan daging babi atau daging hewan buruan lainnya. Mereka membunuh secara secukupnya, tidak membabi buta atau membunuh dengan jumlah banyak, melainkan sesuai kebutuhan.

“Saya tidak selalu berburu. Tetapi, saat saya haus makan daging bersama keluarga, maka (saya) akan masuk ke hutan untuk berburu daging, seperti babi, kuskus, burung, ikan, dan lainnya. Saya tidak berburu secara rakus atau liar, tapi hanya satu sampai dua ekor sudah cukup,” jelas Moses.

Bagi Masyarakat Adat Miyah atau Papua secara umum, batasan dalam mengonsumsi daging dengan batasan tertentu, biasanya satu sampai dua ekor sekali dalam sebulan. Ketika ada hasrat makan daging, maka akan muncul keinginan untuk pergi berburu. Menurut Moses, hal tersebut merupakan bagian dari gaya hidup Masyarakat Adat Miyah dalam menjaga ekosistem hewan buruan di Papua.

Selain itu, penjelasan dari Moses menegaskan pula bagaimana Masyarakat Adat juga telah mempunyai nilai positif dalam mengatasi kerakusan dan keserakahan dalam memiliki sesuatu. Nilai positif tersebut menjadi suatu nilai baik yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui konsep hidup yang serba cukup. Masyarakat Adat tidak mengonsumsi banyak hal, termasuk hewan buruan secara berlebihan, karena meyakini bahwa itu akan bisa menciptakan pribadi yang berwatak egois dan serakah.

Kata Moses, walaupun perkembangan modern terus menerobos ke kampung dan dusun, tapi budaya berburu tidak akan ia lupakan. Ia tetap menjaga dan akan mewariskan tradisi berburu secara tradisional tersebut kepada anak-anaknya.

“Perubahan zaman tidak bisa mengubah adat dan tradisi dari leluhur moyang atau orangtua. Saya tetap melanjutkan budaya tersebut karena dengan demikian saya juga ikut menjaga ekosistem hutan Papua, khususnya hutan adat Miyah di Kabupaten Tambrauw agar tetap terjaga dan hijau,” tuturnya.

Ia berharap pembangunan yang didorong oleh Pemerintah Kabupaten Tambrauw, dilakukan dengan tidak menebang hutan, tapi cukup batas pada wilayah Pemerintah Kampung saja, sehingga semua ekosistem tetap dijaga dan lingkungan lestari. Manusia dan ekosistem lainnya pun dapat tetap eksis hidup.

“Tidak bisa babat hutan semua, tapi babat di batas wilayah kampung tersebut, sehingga hutan dan ekosistemnya tetap hidup, termasuk manusia. Jika hutan semua dibabat, kita bisa kehilangan identitas dan lainnya,” tambah Moses.

Sementara itu, ada juga Wilex Olvin Malak, seorang pemuda adat dari Moi, yang juga suka berburu babi hutan dan memancing ikan di sungai. Selain berburu, ia suka pula memotret alam dan keindahan lainnya. Ia mengatakan bahwa alam Papua adalah sumber kehidupan karena sampai saat ini Masyarakat Adat Papua masih menggantungkan hidup di alam, sehingga - dalam pembangunan - pemerintah jangan lagi ada penebangan hutan di Papua yang merusak semua tatanan ekosistem kehidupan flora, fauna, dan manusia.

“Pemerintah atau investor jangan lagi menebang hutan di Papua yang masih tersisa. Kami Masyarakat Adat Papua masih menggantungkan hidup di alam. Jika hutan di Papua terus ditebang, (makan akan) dikemanakan nasib Masyarakat Adat dan generasi anak kita berikutnya,” paparnya.

***

Penulis adalah Orang Asli Papua dari Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dan jurnalis Suara Papua.