Oleh Seliani

Ada 12 komunitas Masyarakat Adat di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur yang sudah terdaftar sebagai anggota AMAN, salah satunya adalah Benuaq Jumetn Tuwayaatn. Kami tinggal di Kampung Sembuan, Kecamatan Nyuatan.

Asal-usul
Berdasarkan hasil penelusuran kami dengan Kepala Adat Kampung Sembuan, yaitu Ibu Ratnaty, kami mendapat cerita tentang asal-usul kami yang - secara suku dan bahasa - berasal dari daratan Lawangan, Teboyan, Kalimantan Tengah. Pada zaman nenek moyang kami dahulu, terjadi serangan cacing  yang begitu luar biasa di daerah yang bernama Kehepm Rahadetn (sekarang Rahaden, Bengahon di Kecamatan Lahei, Kalimantan Tengah). Karena serangan cacing tersebut, nenek moyang kami melakukan perjalanan untuk berpindah hingga tiba dan menetap di Kampung Sembuan. Itulah mengapa bahasa kami mengikuti bahasa orang Tuwoyatn atau Lawangan.

Kampung kami berada di tepi Sungai Nyuatan dengan pemandangan hutan yang asri. Bukit Muray tampak menjulang tinggi dengan indahnya. Sungai dan danau-danau kecil yang kaya akan sumber daya ikan air tawarnya, satwa liar, dan berbagai lahan yang subur, seolah menjanjikan sejuta harapan bagi anak cucu kami kelak. 

Sistem Pengelolaan Wilayah adat
Sejak zaman nenek moyang kami dahulu, wilayah adat kami diwariskan secara turun-temurun dari leluhur kami. Kami mengelola wilayah adat kami yang berupa hutan untuk dijadikan ladang, kebun, dan simpukng (kebun untuk bermacam jenis buah). 

Pembagian hutan warisan untuk dikelola, didasarkan pada silsilah atau garis keturunan (usuur bentekng), musyawarah mufakat, jual-beli, dan perjanjian pinjam-pakai. Untuk perjanjian pinjam-pakai, ada ketentuannya. Yaitu, pihak peminjam lahan akan mengelola lahan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati bersama dan jangan menanam tanaman keras, misalnya pohon buah, kayu, rotan, dan sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi sengketa perebutan lahan pada anak cucu nanti.

Kondisi Geografis dan Potensi Wilayah Adat
Secara geografis, di sebelah utara Kampung Sembuan, berbatasan dengan Kampung Intu Lingau; sebelah selatan, berbatasan dengan Kampung Temula; sebelah barat, berbatasan dengan Haragandang, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah; dan sebelah timur, berbatasan dengan Kampung Jontai. Kondisi fisik wilayah adat kami merupakan dataran rendah, perbukitan, dan lahan basah. 

Potensi wilayah adat kami sangat beragam, mulai dari hasil hutan, meliputi kayu ulin, bengkirai, meranti, kapur, dan keruing, hingga hasil hutan bukan kayu (HHBK), meliputi rotan dan damar. Selain itu, ada juga potensi berbagai ikan air tawar, sayur, madu, dan buah. Untuk potensi hasil pertanian dan perkebunan, ada padi, jagung, singkong, ubi jalar, dan karet.

Upaya Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat
Ada beberapa perusahaan kayu dan tambang yang beroperasi di wilayah adat kami. Namun, sebagai Masyarakat Adat, kami tidak menggantungkan penghidupan kami dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kami berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan kami sendiri dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan adat sebagaimana yang telah diturunkan oleh leluhur kami, salah satunya adalah ngumeq ngentautn.

Ngumeq ngentautn adalah cara kami dalam bercocok tanam dengan membuka hutan untuk dijadikan ladang. Sebelum membuka hutan yang akan dijadikan ladang, ada beberapa tahapan yang harus kami lakukan, termasuk mengadakan ritual-ritual adat agar diberkahi oleh leluhur dan semesta hingga mendapatkan hasil panen yang melimpah sesuai harapan. 

Tahapan-tahapan dalam proses perladangan kami, antara lain ngeraakng (membersihkan semak-semak untuk persiapan membuka ladang), nebes (menebas bambu-bambu dan sebagainya), nowekng (menebang pohon), ekaay joa (menjemur atau membiarkan kayu sisa-sisa tebangan agar kering), nyuruu (membakar lahan), menuk (membersihkan lahan dari sisa-sisa pembakaran), ngasek atau menugal (menanam padi), ngerikut ngerangey (menyiangi rumput), dan ngotew ngamiq (memanen).

Sementara itu, ritual-ritual adat yang biasanya diadakan dalam proses membuka ladang, antara lain Makaatn Bayaaq Laakng (upacara untuk memberi makan kepada roh-roh sekaligus meminta izin kepada penunggu hutan), Nemaa (upacara panen perdana), dan Muat Lawiikng (ritual yang dilaksanakan saat ngasek dan dilangsungkan secara besar-besaran). Namun, ritual yang terakhir itu sudah sangat jarang dilakukan saat ini. 

Ritual Makaatn Bayaaq Laakng. Sumber foto: Dokumentasi PHD PEREMPUAN AMAN Lou Bawe.

Selain ngumeq ngentautn dan berkebun sayur untuk menyediakan sumber makanan pokok bagi kami, kami juga berburu babi hutan dengan cara memasang jerat untuk menangkap babi hutan yang akan masuk ke ladang dan merusak tanaman kami. Beberapa dari kami juga masih menangkap ikan dengan cara tradisional menggunakan alat-alat yang kami sebut buuk, kalaak, unek, siur, serkep, dan sebagainya . 

Sebagai sumber penghasilan, sebagian besar dari kami ada yang menyadap getah karet dan menyadap pohon aren (untuk diambil airnya dan dibuat menjadi gula aren) yang hasil penjualannya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap tahun, jika musim madu tiba, kami akan mengambil madu alam langsung dari pohon-pohon besar dengan cara memanjat menggunakan tali. Di wilayah adat kami, terdapat beragam pohon buah hutan yang melimpah, seperti durian, asam, rambutan, dan lain-lain.

Saat ini, kedaulatan pangan di komunitas Masyarakat Adat kami, masih dapat terpenuhi dengan pengetahuan adat yang kami punya dan alam yang kaya. Kami masih memelihara adat dan budaya sempeket (gotong-royong) dalam kehidupan sehari-hari. Kami juga masih aktif melaksanakan ritual-ritual adat untuk mewarisi adat dan budaya leluhur kami. Sejumlah ritual adat itu, antara lain Beliatn Jerungan (ritual pengobatan orang sakit), Pesengkeet/Pesiwah atau Tota Toroou (upacara penyucian diri dan rumah), Took Toaay (upacara adat kematian), Kenyew/Kuwangkey (upacara adat kematian lanjutan), Nulaar/Nalitn Tautn atau Gugu Tahun (ritual permohonan), Nyager (ritual tolak bala), Makaatn Laakng (ritual untuk memberi makan roh-roh yang memelihara hutan), dan Makaatn Bayaaq (ritual untuk memberi makan roh-roh agar tidak mengganggu).

Hutan dan wilayah adat adalah sumber penghidupan dan napas kami. Kami hidup dan bersahabat dengan alam sejak zaman nenek moyang kami. Adat dan budaya adalah warisan leluhur kami yang menghubungkan kami dengan semesta dan sesama.

Mari, Masyarakat Adat bangkit bersatu untuk berdaulat, mandiri, dan bermartabat! Salam Nusantara dari Komunitas Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwayaatn.

***

Penulis adalah perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwayaatn yang tinggal di Kampung Sembuan, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Selain sibuk menjadi bagian dari PHD PEREMPUAN AMAN Lou Bawe, penulis juga bergabung menjadi jurnalis rakyat AMAN bersama Tempo Witness.