AMAN Kecam Penahanan Delapan Pejuang Masyarakat Adat di Sikka Sebagai Pembungkaman
29 Oktober 2024 Berita Simon WelanOleh Simon Welan
Delapan orang pejuang Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban di Nangahale, Kecamatan Tali Bura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur ditahan usai memenuhi panggilan penyidik Polri di unit Pidum Satreskrim Polres Sikka pada 25 Oktober 2024.
Kedelapan pejuang Masyarakat Adat yang ditahan adalah Nikolaus Susar, Bernadus Baduk, Thomas Tobi, Germanus Gedo, Yohanes Woga, Yosep Joni, dan dua orang Perempuan Adat yakni Magdalena Marta dan Maria Magdalena Leny.
Penahanan delapan orang Masyarakat Adat ini mengundang kecaman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) karena dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara-suara perjuangan Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak atas tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) di Nangahale.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi mengatakan selain pembungkaman, penahanan kedelapan pejuang Masyarakat Adat tersebut juga merupakan bentuk kriminalisasi secara nyata terhadap Masyarakat Adat. Maximilianus menegaskan AMAN Nusa Bunga secara organisasi mengecam keras tindakan aparat Kepolisian Resor Sikka yang melakukan penahanan terhadap kedelapan anggota Masyarakat Adat tersebut.
“Kami mengecam keras tindakan polisi yang menahan delapan orang Masyarakat Adat (Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut). Mereka tidak bersalah, mereka hanya berjuang mempertahankan keutuhan wilayah adat mereka,” kata Maximilianus Herson Loi.
Menurut pria yang akrab disapa Herson Loi ini, tindakan kedelapan anggota Masyarakat Adat yang dituduh melakukan pengerusakan adalah salah satu bentuk tindakan menjaga kampung dari eksploitasi dan pengambilan secara sepihak oleh pihak luar. Dikatakannya, menjaga kampung merupakan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam menjaga keutuhan wilayah dan tanah adat dari ancaman eksploitasi pihak luar. Semestinya, cara-cara yang dilakukan oleh Masyarakat Adat ini harus dilindungi dan dihormati oleh siapa pun sehingga penahanan terhadap kedelapan pejuang Masyarakat Adat adalah tindakan melanggar Hak Asasi Manusia.
“Polisi semestinya menjadi garda terdepan dalam menjamin upaya perlindungan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, yang selama satu dekade memperjuangkan hak atas tanah dan keutuhan wilayah adat mereka,” ungkap Herson Loi sembari menambahkan Polres Sikka juga harus bersikap adil dan obyektif terhadap Masyarakat Adat, bukan sebaliknya mendiskriminasikan Masyarakat Adat dalam setiap laporannya.
Herson Loi menceritakan jauh sebelum terjadi penahanan, Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut pernah melaporkan beberapa kasus yang diduga dilakukan oleh PT Krisrama terhadap kedua suku tersebut. Namun, hingga saat ini kasus-kasus tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Justru sebaliknya, Masyarakat Adat yang ditahan.
“Ini aneh dan sangat tidak adil,” tandasnya.
Herson Loi yang juga seorang pengacara dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusanttara (PPMAN) menyatakan pemberlakuan hukum di negara ini semuanya sama di mata hukum. Tapi di Kabupaten Sikka, katanya, berbeda.
“Orang kecil ditindas, sedangkan orang yang punya kuasa dan jabatan dipelihara. Ini sungguh menyedihkan,” ujar Herson sembari berharap hukum jangan tajam ke masyarakat biasa dan tumpul terhadap kelompok yang punya kuasa dan uang.
Mendampingi Masyarakat Adat di Polres Sikka. Dokumentasi AMAN
Kronologi Penahanan Delapan Masyarakat Adat di Nangahale
Selasa, 22 Oktober 2024 : Polres Sikka menghantar surat panggilan tersangka terhadap ke-8 pejuang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut untuk menemui penyidik di ruangan Unit Pidum Satreskrim Polres Sikka.
Juma’t, 25 Oktober 2024 : Ke-8 pejuang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut memenuhi panggilan kepolisian mulai pukul 09.00 WITa - 15.00 WITa untuk mendengarkan keterangan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Pengerusakan. Mereka didampingi penasihat hukum Antonius Johanes Bala dan Laurensius Weling.
Sebagai bentuk solidaritas terhadap ke-8 pejuang Masyarakat Adat, hadir sekitar 60 pejuang Masyarakat Adat lainnya untuk menghantar dan menemani mereka saat ditahan sebagai tersangka.
Para pejuang Masyarakat Adat yang hadir di Mapolres Sikka saat itu secara spontan melakukan protes terhadap penahanan yang dilakukan oleh Polres Sikka karena merasa tidak adil dan diskriminatif.
Proses penahanan ke-8 Masyarakat Adat berjalan instan. Setelah pengambilan keterangan, mereka langsung diberi surat penahanan dengan alasan untuk menghindari penghilangan barang bukti atau melarikan diri dan atau melakukan tindak pidana lainnya.
Sekitar pukul 17.00 WITa : Delapan anggota Masyarakat Adat ditahan di ruangan tahanan Mapolres Sikka hingga kini. Namun, satu orang atasnama Maria Magdalena Leny menjadi tahanan luar karena anak balitanya tidak mau berpisah dengannya.
Polisi Didesak Bebaskan Masyarakat Adat
Herson Loi mendesak Kepolisian Resor Sikka untuk segera membebaskan delapan pejuang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut yang saat ini masih ditahan. Polres Sikka diminta untuk menjunjung tinggi azas keadilan dalam pemberlakuan hukum.
“Kami mendesak Polres Sikka segera membebaskan delapan pejuang Masyarakat Adat yang masih ditahan,” tandasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Nusa Bunga