KONFLIK antara masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat, mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun pusat. Yang terakhir, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah melakukan pemetaan untuk menentukan tapal batas. Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012, agar tanah/wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan Negara, sesuai dengan Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan. Namun hingga sekarang, belum ada kejelasan dari pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan tentang hal ini. Sementara itu, di lapangan (di Tombak Haminjon/hutan kemenyan), pihak TPL tetap melakukan aktifitas penebangan, dan mulai melakukan pembukaan jalan di tombak, agar dapat dengan mudah dilalui alat- alat berat dan mengangkut kayu tebangan dari areal ini. Melihat tindakan pihak TPL ini, warga sudah berkali-kali menegur dan melarang para pekerja TPL tersebut: agar tidak melakukan penebangan dan membuka jalan, karena sampai sekarang belum ada penyelesaian atas kasus ini dan posisinya masih stanvast. Hal ini sesuai dengan surat DPRD dan kesepakatan ketika Komnas HAM datang ke Desa Pandumaan pada 2010 yang lalu. Namun teguran dan larangan warga ini tidak diindahkan pihak TPL yang selalu dikawal aparat Brimob dengan senjata laras panjang. Bahkan pada hari Selasa, 18 September 2012, beberapa petani kemenyan yang sedang berada di tombak dan menyaksikan pembukaan jalan ini, melakukan dialog dengan oknum Brimob tersebut. Pada saat itu, oknum Brimob tersebut malah bersikap arogan, memancing kemarahan dan melecehkan warga dengan mengatakan: ‘sahali tumbuk hulean Rp 200 ribu’ (kalau ada yang berani dengan saya --memukul--, akan saya beri uang Rp.200.000,-). Tetapi warga tidak menanggapi dan tidak terpancing dengan sikap arogan aparat ini. Pada hari Rabu 19 September 2012, para petani kemenyan berangkat ke tombak. Setiba di areal milik Pandumaan-Sipituhuta tepatnya di Tombak Sitangi, warga menemukan pihak TPL (operator) yang sedang membuka jalan dengan menggunakan alat berat escavator, dikawal oknum Brimob memakai kaos oblong dengan senjata laras panjang dan security TPL. Terjadi dialog hingga berdebat, dan kemudian atas sikap Brimob yang arogan, terjadi bentrok. Dalam bentrokan ini, aparat dan security TPL ini pun melarikan diri dan senjatanya tertinggal di tempat. Warga kemudian mengambil senjata tersebut dan meninggalkannya di hutan. Kemarahan warga semakin memuncak melihat pohon-pohon yang bertumbangan akibat pembukaan jalan ini. Secara spontan, warga mengambil solar yang kebetulan ada di escavator tersebut dan menyiramkannya ke tempat duduk alat berat tersebut dan menyalakannya, selanjutnya mereka meninggalkan tempat tersebut dan pulang. Pada malam harinya, menurut penuturan warga, pihak kepolisian sudah mulai lalu lalang di Kecamatan Pollung. Dari beberapa sumber diperoleh informasi bahwa pihak kepolisian resor Humbang Hasundutan menghembuskan isu: “bahwa telah terjadi perampasan senjata, bahwa apabila senjata tersebut tidak dikembalikan atau diserahkan pada malam itu juga, maka seluruh rumah-rumah penduduk akan disisir (digeledah). Tetapi kalau senjata tersebut dikembalikan, kampung ini akan aman dan dianggap tidak ada persoalan”. Dengan berbagai pertimbangan dan jaminan dari Kepala Desa, akhirnya pada malam itu juga, sekitar pkl.20.00, Wibb, beberapa warga berangkat ke hutan mengambil senjata tersebut. Pada malam itu juga, Wakapolres, Kapolsek Kec.Pollung, dan Kasat Intel, datang ke desa menjemput senjata tersebut, sekitar pkl.23.00.Wibb. 20 September 2012 Roganda Simanjuntak Ketua BPH AMAN Tano Batak