Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Masyarakat Adat di Indonesia memiliki begitu banyak kearifan dalam mengelola sumber daya di wilayah adat secara adil dan lestari. Mereka tersebar di berbagai ekoregion yang pula amat beragam, seperti yang berkehidupan di pesisir dan pulau kecil, pegunungan, lahan basah, dataran rendah bergambut, sungai, dan lain-lain.

Sejumlah kearifan Masyarakat Adat yang tertuang pada tulisan ini, hanyalah uraian kecil dari suatu sistem atau proses yang panjang serta mewakili segelintir dari melimpahnya kearifan yang ada di segala penjuru Masyarakat Adat di Nusantara. Umumnya, tata kelola itu memang dapat disamakan dengan sistem pertanian atau aktivitas bercocok tanam. Namun, wilayah adat yang dikelola oleh Masyarakat Adat, menjangkau pula perairan, termasuk sungai, laut, dan sebagainya.

Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut Hari Tani yang dirayakan setiap tanggal 24 September berdasarkan Keputusan Presiden RI Sukarno pada 1963. Pemilihan tanggal tersebut bukan tanpa maksud sebab di hari itulah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), disahkan. Dalam sejarah gerakan Masyarakat Adat, UU tersebut punya makna penting terkait dengan adanya pengakuan hak Masyarakat Adat atas wilayah adatnya yang disebut dengan “tanah ulayat.” Meski begitu, pengakuan dan pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hak Masyarakat Adat atas wilayah adat, perlu diatur di dalam UU Masyarakat Adat - saat ini tengah terus didorong oleh AMAN bersama berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya - untuk menuntaskan konflik agraria, bahkan potensi kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, dan mendukung tata kelola yang berkelanjutan oleh Masyarakat Adat terhadap wilayah adatnya.

Beje pada Masyarakat Adat Dayak Bakumpai di Kalimantan Tengah

Di Kampung Mengkatip di Dusun Hilir, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Masyarakat Adat tinggal di tepian Sungai Barito dan berbatasan dengan hutan. Sebagian dari mereka ada yang berumah di daratan, tetapi ada juga yang tinggal di rumah apung yang dikenal nama lanting di sepanjang anak sungai. Bagi mereka, sungai adalah nadi kehidupan. Begitu pula dengan hutan yang berada di bagian belakang permukiman warga. Di sana, mereka memiliki kearifan dalam bercocok tanam di lahan gambut yang pada musim hujan, kerap tergenang oleh luapan air sungai, yakni beje.

Menurut warga setempat, beje telah sejak dulu dikenal dan bisa ditemukan di hampir seluruh kampung di sekitar Sungai Barito.  Dalam bahasa Dayak Bakumpai, kata “beje” berarti parit. Tetapi, secara luas, makna beje lebih dari sekadar saluran irigasi, melainkan sistem atau pola yang melekat sebagai kesatuan pada permukiman dan ladang yang berbatasan dengan sungai, rawa, dan gambut.

Penerapan beje di Kampung Mengkatip.

Pada awalnya, beje dibuat di ladang-ladang Masyarakat Adat yang berbatasan dengan hutan, namun terhubung dengan aliran air. Beje dibuat menyerupai parit yang lurus selayaknya batas atau garis pemisah dengan panjang sekitar 10 rentangan tangan orang dewasa dan kedalaman satu sampai dua meter. Pembuatannya dilakukan secara gotong royong sekitar bulan ketujuh atau kedelapan saat kemarau. Pada permukaan lubang parit itu, warga mengalasinya dengan ranting dan daun kering guna memancing ikan untuk bersarang sekaligus selayaknya sumur serapan saat curah hujan meninggi. Sementara di musim kemarau, beje berfungsi sebagai cadangan air tanah bagi tanaman di ladang dan sumur-sumur penduduk. Potensi kebakaran hutan juga diantisipasi dengan adanya beje sebagai tatas apuy (batas api dan pelindung api). Jika terjadi kebakaran, api tak akan meranggas hingga ke permukiman karena terhalang beje. Setiap tahun, beje dirapikan dan itu menjadi momen bagi warga memanen ikan.

Kuang pada Masyarakat Adat Toraja di Sulawesi Selatan

Jika sedang berada di area persawahan Masyarakat Adat Toraja di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, cobalah jeli untuk melihat-lihat. Di sana terdapat hal menarik berupa kolam mungil. Sekilas, bentuknya mirip sumur kecil dengan kedalaman sekitar satu sampai dua meter dengan bentuk melingkar atau persegi di tengah-tengah sawah. Namanya kuang. Ada pula yang menyebutnya dengan gusean atau kurungan.

Keberadaan kuang di Tana Toraja.

Kuang punya fungsi yang beragam. Selain mengoptimalisasi lahan sawah sekaligus keberlangsungan ekosistemnya, kuang juga bermanfaat sebagai pengontrol air maupun tempat pemijahan ikan. Sebagai suatu sistem, keberadaan kuang pun tak bisa dipisahkan dari pola pengelolaan sawah dan proses bertani di sawah. Masyarakat Adat Toraja menekankan prinsip gotong royong dalam menggarap sawah. Dalam satu area persawahan terasering di dataran tinggi, terdapat puluhan, bahkan ratusan petak sawah. Kebersamaan dalam menanam padi itu juga terkait distribusi air secara komunal. Kuang akan terlebih dulu disiapkan, lalu bibit-bibit ikan ditebar sebelum bibit-bibit padi ditanam. Dalam satu petak sawah, terdapat satu hingga tiga kuang. Dan untuk menandakan keberadaan kuang dan menahan agar struktur kuang tidak rusak, biasanya tepian dan dinding kuang ditopang dengan bambu atau tanaman berakar kuat sejenis rerumputan. Pemeliharaan ikan-ikan pada kuang bermakna seperti tabungan lauk bagi keluarga pemilik sawah.

Selain optimalisasi untuk perikanan, area tepian sawah Orang Toraja, turut ditanami sayur, ubi, dan palawija lain yang dimakan sehari-hari. Sehingga, kuang pun tidak hanya punya fungsi pada aspek ekologis, tetapi pula stabilisator ekosistem dan salah satu penyedia lauk, termasuk merekatkan kolektivitas dalam corak pertanian Masyarakat Adat.

Ngahuru dan Ngaduruk pada Masyarakat Adat Baduy di Banten

Di Jawa bagian barat, tepatnya Lebak, Banten, ada Masyarakat Adat Kanekes atau akrab disebut dengan Baduy yang  hidup begitu sederhana dan mengandalkan sumber penghidupan dari pemanfaatan wilayah adatnya secara arif. Salah satu tradisi menarik yang mereka miliki, adalah corak perladangan gulir balik, di mana mereka membuka dan mengelola lahan secara berpindah-pindah di dalam wilayah adatnya. Perpindahan tersebut punya maksud untuk mengistirahatkan atau memulihkan unsur hara pada lahan untuk kemudian - pada rentang waktu yang cukup lama - mereka akan kembali pada lokasi lahan yang sama. Ritual dan aktivitas awal yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy dalam perladangan gulir balik itu, - sebelum benih-benih padi ladang disebar - dinamakan ngahuru dan ngaduruk.

Proses pembersihan dan pembakaran lahan di wilayah adat Baduy.

Secara sempit, ngahuru dan ngaduruk dapat dipadankan artinya dengan tahapan pembersihan dan pembakaran lahan yang akan dijadikan ladang. Tentu, sebelum itu dilakukan, ada proses lain yang panjang dalam mempertimbangkan pemilihan dan penyiapan lahan yang terhubung dengan banyak hal, termasuk kelembagaan adat dan kepercayaan Masyarakat Adat setempat. Menurut warga adat Baduy Dalam (Baduy Jero), kegiatan pembersihan dan pembakaran lahan memiliki aturan yang kompleks dan dilakukan secara kolektif. Lahan yang hendak dijadikan area ladang itu harus berada di wilayah garapan dan luasnya terbatas, biasanya hanya satu sampai dua hektar saja. Ada aturan adat dalam menebas rerumputan dan pohon-pohon di ladang. Mereka juga mengatur jarak sekitar empat hingga lima meter untuk mengontrol api agar tidak merambat ke area lain.

Ladang-ladang di wilayah adat Baduy, tidak diberi pupuk dan pestisida. Keseluruhan proses bercocok tanam dilakukan secara organik dan bergantung pada musim. Abu-abu sisa pembakaran itulah yang kelak menyuburkan padi-padi ladang mereka. Pada masa panen, satu hektar lahan dapat menghasilkan 500 ikat padi dengan berat satu ikatnya mencapai sekitar empat kilogram.

Sasi pada Masyarakat Adat Akoon di Maluku

Kearifan Masyarakat Adat tidak hanya terbatas pada tata kelola wilayah adat di daratan, tetapi juga di perairan. Salah satu kearifan tersebut bernama sasi yang umum ada di berbagai komunitas adat yang tersebar di tiga provinsi, yaitu Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Di Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku, Masyarakat Adat Akoon memiliki sasi laut. Sasi sendiri dapat diterjemahkan sebagai larangan. Jika itu sasi laut, maka berarti ada larangan bagi siapa pun untuk mengambil sesuatu, bahkan melintas, di area yang ditandai sebagai sasi. Masyarakat Adat Akoon kerap menaruh bendera sebagai tanda.

Di area laut yang di-sasi itu, warga dilarang melempar jaring serta memancing atau mengambil ikan, teripang, udang, atau hal-hal lain. Umumnya, pemberlakuan sasi memakan waktu yang beragam, namun ada yang diberlakukan selama enam bulan. Banyak pihak mengaitkan sasi dengan konservasi, sehingga penerapan sasi kerap dihormati dan didukung oleh pemerintah setempat. Di Kepulauan Lease, sebagian besar Masyarakat Adat menggantungkan hidup dari berburu dan mengelola sumber daya laut. Sehingga, menurut warga adat di sana, sasi tidak dimaknai seperti larangan, melainkan upaya mereka dalam menjaga. Sebab, ketika tiba saatnya sasi dicopot atau dibuka, mereka dapat menikmati kelimpahan untuk mendukung kehidupan komunitas, bahkan mendatangkan penghasilan, misalnya dari hasil tangkapan dan penjualan ikan di area yang sebelumnya di-sasi.

Pasar ikan di Kota Ambon, Maluku.

Aturan dalam pemberlakuan sasi, dilakukan oleh Masyarakat Adat Akoon melalui musyawarah bersama pemimpin adat dan warga, terkadang juga melibatkan aparat pemerintah. Di sana, pengaturan sasi turut menjadi tugas dan kewenangan masing-masing kelembagaan adat. Masyarakat Adat di sana menyebutnya dengan saniri dan soa. Pelanggaran terhadap sasi dapat dikenai sanksi adat yang bentuknya beragam dan disesuaikan, misalnya di Akoon - menurut warga setempat - pernah ada aturan sanksi bagi yang melanggar sasi teripang dengan uang Rp50 ribu per teripang yang ditangkap. Uang yang didapat dari pelanggaran itu akan dikelola oleh kampung.

Subak pada Masyarakat Adat Bali di Tabanan, Bali

Tidak hanya di Tabanan sebetulnya, melainkan hampir di berbagai pelosok Bali, dikenal dengan yang namanya subak. Subak merupakan suatu organisasi (kelembagaan) yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Bali dan secara khusus mengatur sistem pengairan dalam bercocok tanam padi. Pengaturan irigasi tersebut dilakukan untuk menjamin seluruh petani (petak sawah) yang tergabung dalam suatu subak, mendapat jaminan akses air secara adil. Masyarakat Adat secara kolektif melalui musyawarah juga membangun, memelihara, dan mengelola subak bersama-sama. 

Hal menarik lainnya dari subak, adalah keterhubungannya pada aspek spiritual-religius Masyarakat Adat Hindu-Bali di Pulau Dewata. Setiap subak secara umum memiliki pura yang disebut dengan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang diperuntukkan bagi Dewi Kesuburan. Berbagai ritual yang terhubung dengan proses pertanian padi, dilakukan oleh Masyarakat Adat Bali di setiap subak. Tahun 2012, lanskap kultur Bali yang dipengaruhi oleh subak, diakui UNESCO sebagai bagian dari Situs Warisan Dunia.

Lanskap persawahan di Bali.

Hingga kini, subak serta berbagai kearifan Masyarakat Adat dalam mengelola wilayah adatnya, masih banyak diterapkan dan bertahan melampaui masa Revolusi Hijau di era Orde Baru yang telah banyak mengubah wajah pertanian di wilayah adat maupun petani secara umum di Indonesia melalui introduksi bibit hasil rekayasa genetik, sistem irigasi modern, pestisida, dan pupuk kimia dengan dalih peningkatan produktivitas hasil pertanian. Sementara bagi Masyarakat Adat, aktivitas bercocok tanam untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan komunitas secara cukup, merupakan bagian dari keseharian hidup. Begitu pula dengan petani yang memiliki konteks tak sekadar pekerjaan atau profesi. Sampai sekarang pun, ada banyak Masyarakat Adat yang masih menerapkan aturan adat dengan tidak boleh memperjual-belikan beras selayaknya komoditi, seperti Masyarakat Adat Baduy dan Kasepuhan di Jawa bagian barat. Dan berbagai kearifan yang hidup di dalam Masyarakat Adat itu, membuktikan bahwa Masyarakat Adat bukan hanya mampu mengelola wilayah adatnya, melainkan pula menjawab tantangan keberlanjutan terkait persoalan lingkungan dan pangan yang menghantui dunia saat ini.

***

Writer : |