Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Sudah jadi kebiasaan umum bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di depan publik dengan baju adat. Salah satu rutinitas yang kerap ditunggu-tunggu itu, adalah penampilannya dalam Pidato Kenegaraan Tahunan dalam rangka HUT RI sekaligus Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI yang disiarkan langsung di saluran televisi nasional. Tahun ini, Jokowi hadir dengan pakaian adat Masyarakat Adat Baduy (Kanekes) dari Lebak, Banten, sedangkan Wakil Presiden Ma’aruf Amin dengan pakaian adat Masyarakat Adat Mandar dari Sulawesi Barat.

Presiden Jokowi menyampaikan pidato dengan baju adat Masyarakat Adat Baduy pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI. Sumber Foto: Kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Pada pagi hari ini (16/8/2021), Jokowi memasuki Gedung Parlemen bersama rombongan dengan baju serba hitam lengkap dengan tas anyaman dan penutup kepala. Apa yang dikenakannya tersebut merupakan pakaian khas yang menandakan Orang Baduy Luar. Di tempat asalnya, baju semacam itu dibuat dari tenun polos yang dijahit tangan. Masyarakat Adat di Kanekes kerap meyebutnya dengan baju kampret. Penutup kepalanya adalah kain batik berwarna biru yang dikenal dengan romal. Sementara tas anyaman yang terbuat dari kulit kayu pohon tereup itu, bernama tas koja atau jarog. Bagi Masyarakat Adat Baduy, ada makna tentang kesederhanaan, kesahajaan, dan jalan hidup yang bersahabat dengan alam pada pakaian adat mereka.

“Busana yang saya pakai ini adalah pakaian adat Suku Baduy,” ucap Jokowi di akhir pidatonya. “Saya suka karena desainnya yang sederhana, simpel, dan nyaman dipakai.”

Kampung Masyarakat Adat Baduy di Lebak, Banten. Sumber Foto: Nurdiyansah Dalidjo.

Tetapi, di balik baju adat yang kerap dibanggakan oleh Presiden Jokowi dan para pejabat, ada sisi gelap lain terkait agenda-agenda pengakuan Masyarakat Adat yang jalan di tempat serta wilayah adat yang terus dibabat.

Mengomentari penampilan Jokowi tersebut, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi melempar komentar pedas yang mengingatkan kita pada janji Jokowi terhadap Masyarakat Adat yang belum dipenuhi. Ia bilang, “Sikap dan tindakan (Jokowi) sangat bukan Baduy.”

Agresi Pembangunan dan Krisis Hak Masyarakat Adat

Tahun lalu, persis satu hari berselang setelah Jokowi mengenakan baju adat dari Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada peringatan kemerdekaan, potret yang bertolak belakang justru dialami oleh Masyarakat Adat Besipae. Puluhan kepala keluarga terpaksa harus tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit setelah peristiwa pengrusakan rumah-rumah warga oleh aparat. Peristiwa yang dibarengi dengan intimidasi dan diskriminasi itu, bukan yang pertama. Rentetan konflik terjadi karena Pemerintah Provinsi NTT tiba-tiba mengklaim lahan seluas 3.700 hektar yang tak lain adalah hutan adat Pubabu dengan cakupan Desa Linamnutu, Mio, dan Oe Ekam. Masyarakat Adat direlokasi secara paksa sebab pemerintah setempat mengaku hendak mengembangkan perternakan, perkebunan, dan pariwisata di atas wilayah adat mereka.

Potret dari Masyarakat Adat Besipae - yang ditindas, namun baju adatnya dibanggakan -  hanyalah satu contoh dari berbagai kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat di banyak daerah. Di tengah pandemi, perampasan wilayah adat tidak menyurut.

Pada Catatan Akhir Tahun 2020, AMAN mendokumentasikan sedikitnya terdapat 40 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat sepanjang 2020. Pada periode Januari hingga Mei tahun lalu saja, diperkirakan seluas 1.488 hektar hutan di Papua, lenyap. Dari 40 kasus yang terjadi di total wilayah adat yang mencapai 31.632,67 hektar itu, ada lebih dari 39 ribu warga Masyarakat Adat yang telah mengalami kerugian ekonomi, sosial, dan moral sebagai dampak dari tindakan intimidatif, kekerasan, dan kriminalisasi. Tentu saja, AMAN beranggapan bahwa data yang terekam itu tak selalu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Selayaknya fenomena gunung es, tipologi konflik yang menimpa Masyarakat adat, tak hanya bersifat laten, melainkan pula tak selalu muncul ke permukaan.

Selain kasus pengusiran Masyarakat Adat Besipae dari wilayah adatnya, pada dokumen yang sama, AMAN juga mengurai secara detail persoalan penggusuran wilayah adat Rakyat Penunggu Kampong Durian di Langkat, Sumatera Utara serta kriminalisasi dan kekerasan sebagai respon negara terhadap perlawanan Masyarakat Adat Kinipan di Kalimantan Tengah.

Rukka Sombolinggi berpendapat bahwa Presiden Jokowi sebetulnya tengah menunjukkan dirinya sendiri dengan menjadikan baju adat dari Masyarakat Adat Baduy sekadar pembungkus badan, tapi Indonesia dibuat sangat jauh dari paradigma pembangunan ala Baduy yang begitu menghormati bumi.

“Janji Nawacita belum terpenuhi satu pun,” tegasnya. “Perampasan wilayah adat terus terjadi; Satgas Masyarakat Adat menguap; Undang-Undang Masyarakat Adat belum disahkan, terus melemah di DPR, dan malah yang disahkan adalah Revisi Undang-Undang Minerba dan Omnibus Cilaka (Undang-Undang Cipta Kerja).”

Selain itu, Rukka juga mengutarakan perihal penanganan Covid-19 dan vaksin yang susah diakses oleh Masyarakat Adat. Sementara pada pidatonya, Jokowi turut menyoroti situasi pandemi dan upaya yang sudah maupun tengah dilakukan pemerintah untuk mengatasi wabah. Tentu saja, tanpa menyinggung kondisi Masyarakat Adat di tengah pandemi.

***