Oleh Lastri

Pengalaman saya membuat tulisan untuk buku Kisah dari Kampung itu, singkat saja. Awalnya, saya ditelepon oleh Pak Apriadi Gunawan, seorang jurnalis yang menjadi pasangan saya dalam menulis. Kala itu, saya mendapatkan tugas untuk menulis tentang kampung saya. Saya sendiri adalah warga dari Komunitas Masyarakat Adat Balai Pantai Uang (kerap disebut dengan Balai Adat Pantai Uang) di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan.

Waktu itu, saya berpikir kalau saya masih ragu: apakah saya akan bisa atau tidak untuk menyelesaikan tugas tersebut. Saya belum pernah membuat tulisan atau cerita seperti yang diharapkan itu, apalagi tulisan itu akan dijadikan sebuah buku. Tapi, saya berpkir lagi. Kalau kawan-kawan lain bisa, mengapa saya tidak. Maka, pada akhirnya, saya mengerjakannya secara bertahap.

Sebelumnya, saya diberikan gambaran atau arahan oleh Pak Apriadi sebagai jurnalis yang mendampingi saya dalam menggali data dan informasi serta menulis lewat sambungan telepon. Setalah itu, saya pulang ke kampung dan saya bercerita dengan tetangga dan warga kampung lainnya. Kata mereka, kami setuju saja kalau itu untuk kebaikan kampung kita.

Pada suatu hari, saya mau bertemu pemangku adat atau disebut tutua adat. Saya membutuhkan waktu hampir dua jam berjalan kaki menyusuri hutan sambil menikmati indahnya pegunungan yang masih terlihat asri untuk bisa menemui dan berbincang dengannya. Informasi dari tutua adat tersebut, sangat bermanfaat untuk bahan saya menulis. Setalah saya sampai di kediaman tutua adat, saya bersantai-santai sejenak sambil mengobrol. Dan, ketika ia menceritakan tentang sejarah kampung kami, saya menuliskan apa yang dituturkannya. Saya kemudian dapat saling bertanya tentang sejarah kampung. Saya bertanya mengapa kampung kami bisa dinamakan “Pantai Uang.” Jawaban dari tutua itu pun tertuang lengkap pada tulisan saya di buku Kisah dari Kampung dengan judul “Kisah dari Balai Pantai Uang: Hidup Mandiri di Tengah Keterbatasan.”

Sebanarnya, ada banyak cerita yang terdapat di kampung kami. Tapi, mungkin ini saja dulu pengalaman saya dalam berproses selama pembuatan buku seri pertama Kisah dari Kampung. Terima kasih banyak buat para jurnalis dan teman yang sudah membantu saya.

Proses perladangan (gulir balik) dengan cara membakar sebagai bagian dari upaya melestarikan wilayah adat. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Buku tersebut kemudian telah diterbitkan pada Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) dan 23 Tahun AMAN. Saya sempat hadir dan berbagi pengalaman ini lewat diskusi peluncuran buku Kisah dari Kampung yang dilakukan di sela-sela acara perayaan secara daring tersebut. Setalah buku terbit,  perasaan saya senang sekali, bahkan saya seakan-akan tak percaya. Saya terharu bisa menyelesaikan tugas dan bisa menuliskannya menjadi sebuah buku.

Harapan saya ke depannya, semoga buku itu bisa dipegang dan dibaca oleh adik-adik saya nantinya di kampung. Saya harap kelak mereka nanti juga akan tahu tentang sejarah kampung kami. Sementara itu, untuk masyarakat umum lainnya di Indonesia, - ketika mereka membaca kisah tentang sejarah dari kampung saya - harapan saya adalah agar kisah itu jangan hanya dibaca, tapi juga dipahami. Ada masyarakat yang masih belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kami masih dianggap “masyarakat terpencil.” Ada banyak hal yang masih harus diperhatikan untuk mendukung kami tetap bisa mempertahankan hutan adat di wilayah adat kami yang telah dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun dari nenek moyang kepada kami.


Sampul buku Kisah dari Kampung. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

***

Penulis adalah perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Adat Balai Pantai Uang di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Lastri juga salah satu penulis buku Kisah dari Kampung: Tangguh di Tengah Krisis.

Tag : Masyarakat Adat Kisah dari Kampung Pantai Uang Lastri