Jakarta, 12 Februari 2013 Catatan kelam masih terus menghantui gerak masyarakat adat saat menegakkan hak-haknya. Juga belum ada-nya pengakuan-perlindungan serius dari pemerintah- pemangku kekuasaan. Beberapa kemajuan kecil yang dicapai dalam sistim kebijakan yang pro terhadap hak-hak masyarakat adat memang sudah dimulai oleh beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Lebak, Bupati Lebak telah mengeluarkan SK pengakuan terhadap wilayah adat Komunitas Kasepuhan Cisitu, berdasarkan peta wilayah adat yang dikerjakan secara partisipatif. Di Propinsi Kalimantan -Tengah terobosan atas penegakan hak-hak masyarakat adat ditandai dengan keluarnya Peraturan Gubernur No.13/ 2009 Tentang Tanah Adat. Kalau dilihat dari dua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupeten Lebak dan pemerintah Propinsi Kalimantan -Tengah di atas, seolah-olah menunjukkan indikasi bahwa bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hak-hak bawaan masyarakat adat oleh pemerintah sudah semakin kuat. Namun pada kenyataannya, secara menyeluruh tak demikian. Berbagai kebijakan yang sudah diputuskan pro terhadap masyarakat adat, dalam prakteknya di lapangan justru berjalan tak sesuai dengan harapan masyarakat adat. “Masyarakat adat masih terus menghadapi ancaman dan pelanggaran HAM serius yang amat masif di wilayah-wilayah adatnya sendiri ”. Berbagai proyek pembangunan ke depan sudah seharusnya mendahulukan keterlibatan masyarakat adat melalui proses konsultasi dan musyawarah adat, untuk pengambilan keputusan apakah setuju atau tidak setujunya masyarakat adat, terhadap proyek yang akan dijalankan di wilayah adatnya. Permasalahan yang dialami masyarakat adat sesungguhnya dapat diminimalisir dengan menggunakan beberapa produk Undang-Undang yang memberikan penegasan terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Beberapa produk Undang-undang tersebut antara lain : UU No. 27 tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, TAP MPR RI No. 9/2001 dan UUD 1945. AMAN saat ini juga sedang mengawal ketat proses pembahasan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat . RUU ini di diharapkan mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai persolan yang terjadi di tengah masyarakat adat. Dengan kondisi seperti ini, maka saatnya seluruh perangkat organisasi AMAN bersama dengan komunitas masyarakat adat harus bergerak cepat untuk menata kerja-kerja yang lebih progresif demi mewujudkan cita-cita berdaulat, mandiri dan bermartabat. Pembenahan struktur dan personil pelaksana organisasi menjadi satu keharusan untuk memaksimalkan kewajiban menjalankan amanat anggaran dasar. Advokasi kebijakan diharapkan akan meminimalisir berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM masyarakat adat yang diakibatkan oleh proyek-proyek pembangunan yang masuk ke wilayah adat. Momentum Rapat Kerja Nasional AMAN (Rakernas AMAN) merupakan salah satu sistem kerja yang dimandatkan oleh Anggaran Dasar organisasi untuk merumuskan perencanaan strategis dalam menjalankan program kerja organisasi yang di hasilkan dari KMAN IV .cRakernas AMAN juga merupakan sarana untuk melihat kembali dan mengevaluasi jalannya organisasi selama ini sekaligus meningkatkan kapasitas para pengeloala organisasi AMAN. Adapun Rangkaian Rakernas AMAN Ke III ini akan dibuka oleh Gubernur Kalimantan Tengah, kemudian dilanjutkan dengan Dialog Umum dengan Thema “ Dari gerakan masyarakat adat nusantara menuju Indonesia baru yang berdaulat, mandiri dan bermartabat “. Selanjutnya akan diselenggarakan sarasehan dengan mengangkat topik-topik yang relevan untuk menggali berbagai situasi yang di hadapi oleh organisasi dan menjadi thema pokok pembahasan pada sidang-sidang rakernas. Seluruh rangkaian kegiatan akan dilakukan di Palangkaraya dan komunitas Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, Propinsi Kalimantan Tengah. Salam masyarakat adat. Infokom PB AMAN.