Oleh Bambang Muryanto

Terkadang, kehidupan memang menawarkan kejutan yang menghentak. Saya mengalami ini ketika mendapat kesempatan berkolaborasi dengan Masyarakat Adat yang menjadi Kader AMAN untuk menuliskan kisah hidup mereka di masa pandemi Covid-19.

“Wow!” Itulah kesan yang muncul dalam hati saat Evi Mariani, koordinator untuk pembuatan buku Kisah dari Kampung, mengajak saya bergabung. Itu adalah kesempatan emas untuk saya bisa berinteraksi dan mengetahui lebih jauh tentang kehidupan Masyarakat Adat yang sebelumnya tidak banyak saya ketahui.

Perempuan yang akrab saya sapa dengan Mbak Evi itu, menjelaskan bahwa warga Masyarakat Adat akan menentukan topik tulisan dan melakukan reportase di kampung atau wilayah adatnya. Sedangkan saya, sebagai seorang jurnalis, hanya membantu menuliskannya.

“Oke, Mbak Evi, saya ikut,” kata saya dengan mantap.

Tetapi, sebenarnya ada perasaan ragu karena saya dan penulis lain masing-masing akan berpasangan dengan seorang Kader AMAN yang belum saya kenal. Apalagi, proses penulisan itu sepenuhnya berjalan secara daring (dalam jaringan) atau online untuk mencegah penularan Covid-19.

Apakah jaringan internet bagus, sehingga kami bisa berkomunikasi? Tetapi, apa pun itu, tantangan selalu asyik dijalani karena membuat hidup menjadi “lebih hidup.”

Dalam pertemuan melalui kanal Zoom, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa itu adalah kesempatan bagi Masyarakat Adat untuk menuliskan kisahnya sendiri. Selama ini, mereka selalu menjadi objek karena para penulisnya berasal dari luar Masyarakat Adat.

“Masyarakat Adat mempunyai budaya lisan dan itu bukan menulis. Kalau disuruh cerita memang bisa berhari-hari,” ujar Rukka.

Ada sekitar 18 jurnalis dan 33 orang Kader AMAN yang terlibat dalam gerakan penulisan buku yang diberi judul Kisah dari Kampung. Pada edisi perdana tersebut, tema yang diangkat adalah “Tangguh di Tengah Krisis.” Buku berisi tiga kategori (bab), yaitu Kisah Perjuangan Kolektif Masyarakat Adat, Kisah Perjuangan Pemuda Adat, dan Kisah Perjuangan Perempuan Adat.

Saya mendapat bagian untuk menggarap dua tulisan dalam Kisah Perjuangan Kolektif Masyarakat Adat. Rekan saya dalam menulis adalah Fitriyani dari Komunitas Masyarakat Adat Batin Beringin di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau dan Jaro Ruhandi dari Komunitas Masyarakat Adat Kaolotan, Cibadak, Jawa Barat. Namun, karena kadernya belum siap, akhirnya diganti oleh Baso Gandangsura dari Komunitas Masyarakat Adat Banua Lemo di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Setelah saling berkenalan secara daring, saya mulai berproses dengan Fitriyani. Sebagai langkah awal, kami membicarakan mekanisme proses menulis dan menentukan cerita yang akan diangkat melalui aplikasi WhatsApp. Kami juga membaca buku panduan menulis dan memotret bersama Masyarakat Adat yang telah disusun oleh tim.

Setelah beberapa hari, Fitriyani memilih kisah tentang bagaimana Suku Batin Beringin berjuang memenuhi kebutuhan pangannya pada masa pandemi ini. Bagi mereka, itu adalah sebuah tantangan berat karena lokasi ladang gulir balik mereka, berada di hutan adat yang dirampas negara maupun perusahaan.

Saya sepakat dengan kisah yang diusulkan karena menjelaskan aspek penting dari kehidupan Komunitas Masyarakat Adat Suku Batin Beringin. Menurut saya, itu kisah yang dramatis dan turut memberikan saya semangat untuk berproses.

“Bantu saya, ya, karena saya masih pemula,” pesan Fitri.

“Kita akan sama-sama belajar,” jawab saya.

Terus terang, saya sama sekali juga tidak mengetahui soal Suku Batin Beringin. Riset menjadi jalan keluar untuk mengetahui sedikit kehidupan komunitas Masyarakat Adat tersebut dan apa persoalannya. Saya juga minta Fitri mengirimkan foto-foto tentang kehidupan komunitas Masyarakat Adat ia agar saya bisa membayangkan kehidupan mereka.

Langkah selanjutnya, kami menyusun proposal bersama dan menyerahkannya kepada salah satu tim mentor kami, yaitu Brigitta Isworo, seorang jurnalis senior. Setelah mendapat persetujuannya, kami berdua mulai menggarap kisahnya.

Fitri pun menuliskan kisahnya. Saya membantu menunjukkan kira-kira siapa saja yang perlu diwawancara dan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang harus diajukan. Ia harus menyisihkan waktu dan menempuh perjalanan puluhan kilometer dari tempat tinggalnya untuk mewawancara warga Komunitas Masyarakat Adat Batin Beringin.

Dalam proses penyusunan Kisah dari Kampung, kami beberapa kali bertemu dengan mentor untuk konsultasi dan evaluasi. Semua hasil reportase Fitri dikirimkan melalui WhatsApp secara bertahap. Setelah semua kelar, saya mencoba menyusunnya menjadi sebuah tulisan yang utuh.

Dari kisah Fitri itulah, saya mengetahui siapa itu Suku Batin Beringin yang terus kehilangan hutan adatnya sejak zaman penjajahan hingga masa kemerdekaan. Tak ada bedanya zaman merdeka dan penjajahan karena hutan adat mereka terus hilang diambil penguasa, sehingga menyebabkan kemiskinan dan hilangnya kebudayaan mereka.

“Suku Batin Beringin adalah salah satu Masyarakat Adat yang terancam punah,” ujar Rukka

Pernyataan Rukka itu membuat saya prihatin. Sulit diterima nalar bahwa di negara yang mengaku berideologi Pancasila ini masih ada Masyarakat Adat yang mengalami penindasan, sehingga terancam punah.

Setelah proses menulis dengan Fitri usai, saya mulai berkomunikasi dengan Baso Gandangsura untuk menuliskan kisah berikutnya. Dari pembicaraan kami, ia ingin menuliskan soal pengalaman Komunitas Masyarakat Adat Banua Lemo yang mempunyai kearifan lokal dalam mengatasi Covid-19.

Ia menuliskan pengalaman desanya melakukan lockdown ala Masyarakat Adat dan menerapkan ajaran leluhur dalam menghadapi pandemi. Ketika hand sanitizer sulit ditemukan, warga Banua Lemo bisa membuat sendiri dengan menggunakan bahan alami.

Mereka juga mempunyai konsep jaga jarak untuk menghindari penularan. Namanya polirankan bilajanki mai, ki polirankun bilajanmi mati’ yang menggambarkan ketakutan leluhur saat wabah terjadi. Untuk mencegah penyebaran wabah, warga antar-kampung tidak boleh saling berinteraksi.

Proses menulis dengan Baso lebih singkat. Sebagai kepala desa dan tokoh adat, ia sudah menguasai materinya. Setelah beberapa kali bertanya untuk klarifikasi dan mengedit, tulisan pengalaman Komunitas Masyarakat Adat Banua Lemo dalam menghadapi pandemi pun siap menjelang batas waktu pengumpulan tulisan.

Dari interaksi dengan Baso, saya melihat Masyarakat Adat Banua Lemo adalah gambaran satu komunitas Masyarakat Adat yang kokoh menghadapi pandemi. Kuncinya, tidak melupakan ajaran leluhur dan mampu menghadirkannya lagi dalam kehidupan saat ini.

“Tidak banyak warga yang kena Covid-19. Hanya tujuh orang saja,” ujarnya.

Bagi saya, ini tentu informasi yang sangat berharga dan layak diketahui publik. Ketika banyak orang kalang kabut menghadapi pandemi, mereka bisa menghadapinya dengan tenang dan tidak bergantung kepada pemerintah. Pengetahuan leluhur dan material lokal bisa membentengi mereka dari pandemi.

Kisah Masyarakat Adat Batin Beringin dan Banua Lemo menghadirkan dua hal yang kontradiktif. Sakai Batin Beringin adalah Masyarakat Adat yang harus bertahan menghadapi “penjarahan” dari negara. Kondisi Pandemi membuat mereka semakin terjepit.

Sementara itu, Banua Lemo menunjukkan kemandirian. Mereka bisa menjalani masa pandemi tanpa banyak bergantung kepada negara. Mereka mengajarkan kemandirian karena wilayah adatnya masih menyimpan berbagai kebutuhan obat alami yang terjaga.

Terus terang, sejak terlibat dalam penulisan buku tersebut, saya selalu berpikir soal kondisi Masyarakat Adat di Indonesia. Perlu dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, - rakyat bantu rakyat - agar kondisi Masyarakat Adat membaik dan hak-haknya terpenuhi.


Sampul buku Kisah dari Kampung. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

***

Penulis adalah seorang jurnalis lepas yang tinggal di Yogyakarta dan salah satu penulis untuk buku Kisah dari Kampung.

Tag : SahkanRUUMasyarakatAdat Kisah dari Kampung Bambang Muryanto