Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Di tengah situasi pandemi, AMAN merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) dengan cara yang spesial. Sarasehan dan Panggung Budaya akan diselenggarakan secara daring (online). Tahun ini, tema yang diusung adalah “Masyarakat Adat dan Kebudayaannya: Perlawanan untuk Bumi.” Melalui Perayaan HIMAS 2021, Masyarakat Adat di Indonesia menegaskan pesan perihal wilayah adat sebagai fondasi kebudayaan.

Potret Masyarakat Adat Komunitas Bayan di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Foto diambil oleh Nurdiyansah Dalidjo.

Sejarah HIMAS

HIMAS atau International Day of the World’s Indigenous Peoples yang dirayakan setiap 9 Agustus, merupakan hari yang istimewa, bukan hanya bagi Masyarakat Adat di Nusantara, melainkan juga di seluruh dunia. Tanggal bersejarah itu pertama kali diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1994 setelah perjuangan panjang yang ditempuh Masyarakat Adat dan para pendukungnya.

Ketetapan HIMAS diputuskan lewat Resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994. Tanggal itu sengaja dipilih untuk mengenang hari pertemuan pertama Kelompok Kerja untuk Populasi Masyarakat Adat Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia pada 1982 lalu. Setiap tahunnya, HIMAS dirayakan untuk meningkatkan kesadaran dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat di dunia. HIMAS pula menjadi penegasan yang mengakui kontribusi penting dan strategis dari Masyarakat Adat terhadap bumi, terutama terkait dengan peran Masyarakat Adat sebagai garda depan dalam mengatasi masalah lingkungan dan kedaulatan pangan.

Peringatan HIMAS yang serentak dirayakan di seluruh dunia, telah berdampak signifikan pada upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Saat ini, semakin banyak kepala negara mengutarakan permohonan maaf kepada Masyarakat Adat di negaranya atas berbagai persitiwa kelam di masa lalu, mulai dari perampasan wilayah adat, kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, perbudakan, hingga genosida yang pernah dilakukan terhadap Masyarakat Adat. Hal itu pun kerap diikuti dengan serangkaian upaya dalam mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, salah satunya dengan menghadirkan Undang-Undang Masyarakat Adat (UU MA).

Perlindungan atas Fondasi Kebudayaan

Sayangnya, Indonesia masih belum mensahkan UU MA yang selama lebih dari satu dekade ini terus dibahas di parlemen. Padahal, pengakuan atas hak Masyarakat Adat telah sejak awal dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut-sebut sebagai konstitusi dengan pandangan yang amat maju terkait isu Masyarakat Adat. Perihal identitas budaya dan hak Masyarakat Adat - yang kerap diistilahkan dalam konteks hukum dan kebijakan dengan “hak masyarakat hukum adat” dan “hak masyarakat tradisional” - tidak hanya disebutkan secara jelas dalam konstitusi, tapi juga terhubung amat erat dengan UU Pemajuan Kebudayaan.

Meski terkesan cukup menjanjikan, namun kebijakan tersebut masih memiliki kendala terkait ketimpangan antara berbagai instrumen internasional, khususnya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), dan kebijakan nasional mengenai Masyarakat Adat. Beragam tantangan multidimensi pun kian dihadapi oleh Masyarakat Adat di Indonesia. Pembangunan yang berorientasi pada peningkatan ekonomi secara makro, telah berdampak pada keterancaman eksistensi, identitas, dan ketahanan Masyarakat Adat atas tatanan kehidupan tradisionalnya. Hal itu terutama menyangkut dengan perampasan wilayah adat yang dibarengi dengan rentetan konflik.

“Keistimewaan Masyarakat Adat itu kebudayaan diikat oleh kolektivitas atau kebersamaan dan menetap dalam satu wilayah yang sama,” ungkap Mina Susana Setra, Deputi IV Sekjen AMAN Urusan Sosial dan Budaya. “(Dari situlah) muncul kelompok-kelompok kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, keberagaman budaya justru jadi kekayaan yang dijaga dan dipelihara sebagai modal utama dan identitas bangsa, bukan pemecah belah.”

Terkait dengan budaya, Mina juga mengutarakan perbedaan dalam konteks hak kolektif Masyarakat Adat dan hak individu. Menurutnya, hak kolektif itu menjamin perlindungan terhadap suatu komunitas yang berada dalam cakupan wilayah. Artinya, pengakuan maupun perlindungan meliputi semua yang berada dalam satu kesatuan. Sehingga, bagi Masyarakat Adat, kebudayaaan itu melekat pada wilayah adat.

“Kalau kita melihat berbagai ritual, tarian, dan lainnya, itu pasti mengekspresikan hubungan Masyarakat Adat dengan alam, tanah, hutan, air… wilayah adat secara utuh,” ungkapnya. “Jadi, kalau wilayah adat hilang, maka adat istiadat mereka bisa hilang. Tak mungkin akan dilakukan upacara adat di wilayah yang sudah menjadi tambang atau perkebunan sawit karena rumah leluhur sudah hancur. Ada hubungan yang kuat dan tak bisa dibantah dengan wilayah adat sebagai alas kebudayaan.”

Pada penyelenggaraan HIMAS yang dilakukan secara daring melalui Zoom selama sehari penuh pada 9 Agustus 2021 mulai pukul 09:00 WIB, AMAN menyajikan sarasehan yang akan dihadiri oleh Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dan Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid sebagai pembicara utama serta empat narasumber, yaitu Dolorosa Sinaga (perupa), Mohamad Sobari (budayawan), Mardiana Derendana (aktivis perempuan adat dan pelaku budaya dari Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah), dan Torianus Kalami (aktivis dan pelestari budaya dari Moi Kelim di Papua Barat). Sementara itu, berbagai tampilan seni dan budaya Masyarakat Adat akan dihadirkan lewat Panggung Budaya yang menampilkan puluhan penampil di bidang musik, silat atau bela diri, tari, ritual, dan lain-lain dari berbagai komunitas adat di Nusantara.

“Kalau kita bicara konteks perlawanan melalui kebudayaan, Masyarakat Adat dari dulu konteks hidupnya itu survival (bertahan hidup),” kata Mina. “Mereka hidup di tengah alam raya yang luas dan menciptakan berbagai hal untuk bertahan. Dalam situasi sekarang, perlawanan itu juga bagian dari survival mereka. Karena pentingnya alas dari kebudayaan, yaitu wilayah adat, banyak Masyarakat Adat melakukan perlawanan dengan berbagai cara semata-mata untuk melindungi ruang hidup: menyelenggarakan ritual, menggunakan pakaian tradisional, melakukan aksi dengan bawa identitas budaya. Ada juga yang pergi ke hutan dan mengikat pohon-pohon dengan simbol adat.”

Ia menambahkan bahwa pemerintah harus memulai dengan kesadaran bahwa kebudayaan tak akan berdiri tanpa alasnya. Sehingga, dengan melindungi wilayah adat dan komunitasnya, kita sesungguhnya tengah melindungi apa yang diistilahkan dalam UU Pemajuan Kebudayaan, yaitu “objek pemajuan kebudayaan.” Tanpa pengakuan hak Masyarakat Adat serta perlindungan atas wilayah adatnya, tentu saja perlindungan kebudayaan akan sulit untuk diteruskan karena seolah menjadi kosong dan kehilangan makna, di mana makna itu melekat pada wilayah adat.

***

Obrolan lebih lanjut dengan Deputi IV Sekjen AMAN Urusan Sosial dan Budaya pada artikel ini, juga dapat didengar lewat siniar (podcast) Bincang Masyarakat Adat Bersama Mina Setra: Gerakan Budaya untuk Perlawanan pada kanal Radio Gaung AMAN melalui website maupun Spotify.