Oleh Apriadi Gunawan

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggandeng organisasi profesi Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk memberikan bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang tidak terjangkau akses keadilan. Langkah strategis tersebut dikukuhkan kedua pihak dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) PPMAN ke-9 di Joglo Keadilan, Kota Bogor pada Selasa, 27 September 2022. 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa MoU antara PPMAN dan KAI itu berisi tentang komitmen peningkatan kapasitas advokat PPMAN dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, MoU itu penting karena PPMAN bukan organisasi profesi advokat, tapi organisasi yang mendeklarasikan diri untuk menyatakan dukungan kepada Masyarakat Adat.

“Faktor ini yang mendorong kami menggandeng KAI untuk membela Masyarakat Adat,” kata Syamsul Alam usai penandatanganan MoU.

Menurutnya, kerja sama melalui organisasi profesi advokat itu dapat memberikan dampak positif karena membuka ruang terhadap akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang rentan dan tidak terjangkau oleh infrastruktur maupun layanan dukungan bantuan hukum.

“Jadi, kerja sama ini akan memperpendek akses Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan secara cepat,” tandasnya.

Syamsul mengaku bahwa jumlah pengacara yang ada di PPMAN saat ini, masih minim jika dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus hukum yang menjerat Masyarakat Adat di berbagai pelosok Nusantara. Selain itu, akses antara Masyarakat Adat dan posisi anggota PPMAN juga relatif jauh dan berhadapan dengan tantangan keterbatasan infrastruktur, khususnya di berbagai perdesaan, pegunungan, pesisir, dan pulau kecil. Ia menyatakan kalau umumnya para pengacara tinggal di kota, sedangkan keberadaan Masyarakat Adat tersebar di kampung maupun desa.

PPMAN menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan paralegal untuk kader Masyarakat Adat dan pelatihan pendidikan khusus profesi advokat agar para kader Masyarakat Adat yang memenuhi persyaratan, bisa juga menjadi advokat. Syamsul menyebut bahwa jumlah advokat dan ahli hukum yang dimiliki PPMAN saat ini, baru mencapai 126 orang. Selain itu, PPMAN juga telah melatih kader dari sejumlah komunitas Masyarakat Adat untuk menjadi paralegal. Saat ini, kader muda untuk itu telah mencapai 200 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Baru-baru ini, PPMAN pun telah menyelesaikan pendidikan advokat sebanyak 13 orang.

“Jumlah ini sangat jauh dari ideal,” ungkap Syamsul. “Saya kira (jumlah itu) masih jauh dari harapan: satu komunitas Masyarakat Adat memiliki satu advokat.” Syamsul menambahkan bahwa PPMAN akan selalu terbuka untuk melakukan perekrutan ke depannya.

Sebagai Ketua PPMAN, Syamsul mengatakan bahwa ia berharap ke depannya, PPMAN bukan hanya harus tetap ada, tetapi semakin kuat dan memperluas jaringan agar bisa membantu atau mendukung Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya, keadilan belum diraih oleh Masyarakat Adat karena kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih terus terjadi. Bahkan, kriminalisasi itu dapat berujung pada vonis yang tidak berkeadilan terhadap Masyarakat Adat, seperti kasus yang menimpa warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera, Maluku Utara, yang divonis mati karena mempertahankan wilayah adatnya.

“Ini satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Masyarakat Adat,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.

Sementara itu, Sekretaris Umum KAI Ibrahim Massidenreng menyatakan kegembiraannya untuk bekerja sama dengan PPMAN. Ia berharap kerja sama tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan, terutama Masyarakat Adat. Khusus bagi anggota KAI, katanya, hal itu bisa memberikan peluang pada peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan keterampilan terkait pembelaan terhadap Masyarakat Adat. 

“Tidak tertutup kemungkinan, teman-teman di KAI suatu waktu mendampingi kasus Masyarakat Adat atau setidaknya ikut melapisi tim-tim dalam pembelaan,” ujarnya.

Ibrahim menjelaskan bahwa KAI punya banyak pengalaman yang bisa dibagi terkait keadvokatan. Ia berharap PPMAN dan KAI bisa berkolaborasi dalam pendampingan Masyarakat Adat, termasuk kerja sama terhadap eksaminasi putusan yang melibatkan Masyarakat Adat.

Harapan dengan MoU ini, (adalah) anggota KAI ikut terlibat dalam tim eksaminasi,” ujarnya.

Ibrahim mengatakan, sejatinya MoU dapat menjadi payung yang nantinya harus dilengkapi dengan perjanjian tertentu, di mana pintu masuknya adalah legal standing advokat dulu. Ia menyatakan bahwa isu Masyarakat Adat harus lebih diperluas. Koalisi kedua organisasi juga berharap akan dapat memperluas gerakan. Menurutnya, semakin sering dan banyak advokat yang terlibat dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat, akan memberikan dukungan yang pula kian luas, sehingga upaya pembelaan terhadap Masyarakat Adat bisa mudah dilakukan, bahkan hingga ke pelosok desa sekali pun.

***