Wajo, 30 April 2013 – Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan akhirnya bersedia mengembalikan lahan 1.934 hektar kepada pemerintah kabupaten untuk diolah oleh masyarakat adat yang berhak atas lahan tersebut. PTPN XIV bersedia mengembalikan wilayah adat tersebut setelah masyarakat menduduki kantor dan mengusir seluruh karyawannya tanggal 20 April 2013, aktivitas perkebunan pun berhenti. Akibat pendudukan itu, Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sulawesi Selatan memanggil semua pihak terkait, yaitu masyarakat, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Wajo dan Muspida Provinsi Sulawesi Selatan. Pertemuan memutuskan, PTPN XIV mengembalikan lahan seluas 1.934 hektar kepada Pemerintah Kabupaten Wajo dan masyarakat diizinkan mengolah seluruh lahan tersebut berdasarkan ketentuan kabupaten dengan melibatkan masyarakat setempat. Masyarakat juga menjamin tidak mengganggu aktivitas PTPN XIV di lahan lain seluas 6.000 hektar yang sedang dalam proses pengurusan HGU. Penandatanganan kesepakatan tersebut sekaligus mengakhiri pendudukan kantor PTPN XIV. Kronologis Hak masyarakat adat Paselloreng, Kabupaten Wajo untuk mengolah wilayah adatnya sendiri dialihkan secara sepihak ke PT Bina Mulia Ternak (BMT) dengan penerbitan izin Hak Guna Usaha (HGU) pada 1972. Meski HGU itu telah berakhir pada 2003, masyarakat adat Paselloreng tidak diizinkan mengolah kembali wilayah adatnya tersebut. Bahkan wilayah adat itu telah dikonversi menjadi lahan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV tanpa pemberitahuan dan izin masyarakat adat. Berbagai pelanggaran dan kekerasan kerap menimpa masyarakat adat Paselloreng terlampir dalam laporan kronologi yang dirilis oleh Front Pembela Masyarakat Korban PTPN XIV, Keera dan Forum Rakyat Bersatu Kab. Wajo. Awalnya masyarakat tidak bersedia menyerahkan wilayah adat mereka, namun mereka diintimidasi. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber kehidupan, sebab mereka sangat bergantung pada aktivitas berkebun dan penggembalaan ternak. Pada 1972 PT BMT sepakat memberi ganti rugi kepada masyarakat Kecamatan Pitumpanua (kini Keera), yaitu Rp 25 juta untuk sawah, kebun di Bekkae. Benceng-bencenge, Rp 12,5 juta, untuk lahan di Desa Keera dan Rp 12 juta untuk lahan di Desa Awota. Ternyata ganti rugi itu tidak pernah sampai ke tangan masyarakat. Pada 1973 PT BMT memperluas wilayah konsesinya dengan menguasai Kecamatan Maniangpajo (kini bagian Kecamatan Gilireng). Izin konsesi berdurasi 25 tahun, namun PT BMT tidak memberikan ganti rugi. PTPN XIV kemudian mengambil-alih lahan-lahan yang dioleh PT BMT, namun tanpa sepengetahuan masyarakat. Luasnya 8.000 hektare dan tersebar di beberapa desa, yaitu Paselloreng (Kecamatan Gilireng), Inrello, Awota, Laliseng, Ciromani, dan Ballere (Kecamatan Keera). Pada mulanya wilayah-wilayah yang dikuasai PTPN XIV ini adalah perkampungan tua dan daerah pengembalaan masyarakat adat Paselloreng. Sementara HGU yang diberikan kepada PT BMT untuk peternakan, bukan perkebunan kelapa sawit seperti yang dilakukan PTPN XIV. Dalam pertemuan 23 April 2010, pihak-pihak terkait di Wajo sepakat agar PTPN XIV menghentikan seluruh aktivitas perluasan dan penanaman di wilayah konsensi Wajo. Masyarakat diizinkan mengolah lahan tersebut tanpa syarat dan bebas dari gangguan aparat kepolisian serta pihak PTPN XIV. Pada 12 Maret 2012 pemerintah Kabupaten Wajo mengadakan pertemuan dengan Direksi PTPN XIV dan perwakilan pemerintah, hadir Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pertanian. Hasil pertemuan di kantor Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta itu memastikan bahwa HGU PTPN XIV Keera, Kabupaten Wajo telah berakhir pada tahun 2003. BPN tidak memperpanjang HGU tersebut karena Kementerian BUMN belum setuju melepaskan lahan seluas 4.236 hektar (selisih HGU lama untuk 12.170 hektar dan permohonan HGU baru 7.934 hektar). Bupati Wajo dan Dirut PTPN XIV hanya menyepakati lahan HGU baru seluas 6.000 hektare dan untuk masyarakat seluas 1.934 hektar. ****

[English]