Oleh Anton Johanis Bala

Pembangunan waduk, - dalam banyak kasus - memiliki dampak positif yang kecil sekali bagi masyarakat di hulu. Tapi, itu memberikan dampak besar bagi masyarakat di hilir. Terkait dengan Waduk Lambo misalnya, apakah ada dampak positif yang langsung bagi masyarakat, seperti pencetakan sawah di sekitar lokasi waduk? Ternyata tidak. Tapi, bukan karena itu juga Masyarakat Adat di sana menolaknya. Bukan juga karena tidak sepakat soal nilai ganti rugi, kompensasi, atau bentuk rekognisi lainnya. Masyarakat Adat menolak karena tidak setuju pada lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowo Se dan menawarkan alternatif lokasi pembangunan di Malawaka atau Lowo Pebhu di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ada dua alasan utama terkait dengan penolakan lokasi pembangunan tersebut. Pertama, apabila pembangunan waduk dilakukan di Lowo Se, maka Masyarakat Adat akan mengalami kerugian yang lebih besar, yakni hilangnya sebagian perkampungan; bangunan publik, seperti kapel, sekolah, dan Puskesmas Pembantu (Pustu); lahan pertanian yang potensial dan berkualitas baik; padang pengembalaan ternak dan padang perburuan adat; pekuburan leluhur; dan tempat-tempat sakral atau ritus adat. Sementara jika pembangunan berada di lokasi Malawaka atau Lowo Pebhu, Masyarakat Adat hanya akan mengalami kerugian berupa hilangnya lahan pertanian dan padang saja. Selain itu, dua lokasi tersebut memiliki luas yang kurang-lebih sama (600-an hektar), aksesibilitas untuk pembangunan yang jauh lebih baik, dan distribusi air waduk yang relatif lebih dekat menuju Mbay - ibu kota Kabupaten Nagekeo - dengan adanya tiga aliran sungai besar sebagai sumber air waduk.  

Kedua, berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nagekeo, pembangunan waduk sesungguhnya berada di lokasi Lowo Pebhu dengan nama Ngabatata. Lowo Se tidak untuk waduk, tapi untuk kepentingan lain.

Usulan lokasi pembangunan waduk di Malawaka dan Lowo Pebhu sudah disampaikan masyarakat sejak tahun 2001. Dan tahun 2015, kembali usulan yang sama itu disampaikan. Namun, Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo dan Balai Wilayah Sungai  Nusa Tenggara II (BWS NT II) mengabaikan hal itu dan bersikukuh pada lokasi di Lowo Se tanpa ada penjelasan.

Namun, pada pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di Jakarta pada 4 Agustus 2017, ia pernah menyampaikan kepada perwakilan Masyarakat Adat yang menemuinya dengan bilang, “Semua pembangunan membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Jika tidak ada kesepakatan, maka pembangunannya tidak akan jadi dikerjakan.”

Ketidakjelasan sikap pemerintah itulah yang mengakibatkan perlawanan terus dilakukan oleh warga di lapangan. Para perempuan adat dari Rendu, Lambo, dan Ndora, - sejak pemancangan papan nama proyek di awal September hingga Oktober 2021 - kembali turun ke lapangan untuk melakukan protes. Kegiatan  survei dan pengukuran yang dilakukan oleh BWS NT II dan pihak kontraktor pun terus dihadang.

Walaupun anggota polisi dari Polres Nagekeo dan Satuan Brimob Polda NTT terus mengawal kegiatan tersebut, mama-mama tidak peduli. Mereka mengganggap perlawanan di lapangan itu adalah salah satu cara demokratis dalam menyatakan sikap dan pendapat ketika jalur-jalur formal telah buntu atau tersumbat oleh kesombongan para penguasa.

Perempuan adat mengatakan, “Kami sepakat dengan pembangunan Waduk Lambo di Malawaka atau Lowo Pebhu, (tapi) tidak di Lowo Se.”

Menurut saya, dalam aksi-aksinya, para perempuan adat itu sedang mengatakan aspirasi kepada pemerintah dan publik yang akan menerima manfaat dari hasil pembangunan itu kelak.

“Kami paham (pembangunan waduk untuk) kepentingan bersama,” kata salah satu dari perempuan adat. “Kami paham kesejahteraan publik dan kami pun rela berkorban (mengalami kerugian) untuk itu. Tapi, dengarkan suara kami sebagai korban. Jangan bangun waduk di Lowo Se. Kami merelakan ladang dan padang kami di Malawaka dan Lowo Pebhu untuk kepentingan publik itu.” 

Bagi saya, sikap mereka sungguh elegan, bermutu, dan konstitusional, di mana dalam konstitusi kita, hal tersebut dapat dihubungkan dengan Pasal 28, 28E ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ‘45) yang memberikan jaminan terhadap hal tersebut. Kita perlu ingat bahwa ada penegasan mengenai eksistensi Masyarakat Adat, punya dasar pada Pasal 18B ayat (2) UUD’45. 

***

Penulis adalah pegiat Masyarakat Adat dan praktisi hukum.