Oleh Maria Baru
Kita merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari 2022. Anak-anak dan para pemuda adat dari Sanggar Salses di Kampung Kalabili, Distrik Selemkay, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, telah melakukan rangkaian kegiatan selama empat malam dan lima hari. Menurut seorang pemuda adat bernama Onesimus Paa, kegiatan tersebut dilakukan untuk membangun kesadaran Masyarakat Adat, termasuk para anak dan pemuda adat, bahwa bahasa Moi juga masuk dalam ancaman kepunahan.

Rangkaian Acara

Pada hari pertama, kami melakukan persiapan untuk pembukaan kegiatan. Di acara pembukaan, para tamu dijemput dengan tarian. Tamu diiringi dengan musik untuk masuk ke dalam tenda. Setelahnya, ada rangkaian penyambutan dan ramah-tamah, di mana para peserta diajak masuk untuk mengikuti sesi diskusi dengan topik “Identitas Suku Moi.” Materi diskusi disampaikan oleh Dance Ulimpa, seorang tokoh dari Dewan Adat Malamoi dari Masyarakat Adat Moi Kelim. Materi selanjutnya, bertopik “Eksistensi Bahasa Daerah dan Perkembangan Global” dipaparkan oleh Torianus Kalami, seorang intelektual muda Moi yang konsisten dan fokus dalam mendorong perlindungan terhadap Masyarakat Adat Suku Moi di Kabupaten Sorong.

Pada hari kedua, anak-anak dan para pemuda adat diajak bertamasya dan belajar bersama alam di wilayah adat milik marga Kalami Kalabili.

Pada hari ketiga, diselenggarakan malam pesta budaya. Pada malam yang indah itu, seluruh peserta hadir dari Kampung Kalabili dan Kalasei. Kami diajak untuk menggali kembali kearifan lokal yang telah dilupakan atau ditinggalkan karena pengaruh perkembangan yang bernama “pembangunan.” Kami diajak menggali tarian lokal, seperti tari mampia, herkules, dan alen. Para mama, malam itu pun mencoba menampilkan tarian tersebut, sementara para pemuda adat memetik gitar dan jekulele. Para mama mengayunkan kaki dan para pemuda adat bersama para orangtua diajak menari bersama. Pada malam terakhir itu, kami menjalin kebersamaan. Kami membangun kesadaran bersama bahwa Masyarakat Adat Moi belum terlambat untuk menjaga bahasa, budaya, dan wilayah adat, termasuk hutan adat.

Tutur Cerita Rakyat

Di sela rangkaian acara itu, ada pula penuturan cerita rakyat. Setiap orang yang hadir dapat mencoba menampilkan cerita rakyat menggunakan bahasa lokal. Momen itu menjadi pengingat agar para orangtua perlu membiasakan diri untuk menceritakan cerita rakyat kepada anak-anaknya bersama pengetahuan lokal lainnya. 

Telusur Wilayah Adat

Pada pagi, tampak cahaya matahari menembus pepohonan dan ranting-ranting. Embun pagi pun seolah engan meninggalkan dedaunan. Di pondok biru, terhidang pisang goreng, teh, dan kopi yang menggoda lambung. Pisang muda goreng adalah ciri khas sajian menu pagi dari Masyarakat Adat Moi Kelim atau Papua secara umum.

Para pemuda adat Moi Kelim dan Salkma kemudian bersiap-siap untuk masuk hutan. Sebagian ada yang sedang menikmati secangkir kopi hangat dan pisang gorengnya, sementara lainnya ada yang menyiapkan kamera dan peralatan sebelum tur ke hutan adat Moi Kelim.

Hari itu indah dan hujan pun tak mengganggu. Di pojok tenda, berdiri seorang laki-laki muda. Namanya Onesimus Paa, seorang pemuda adat Moi Kelim yang sangat mencintai budaya dan hutannya. Ia sedang mengarahkan teman-teman untuk bersiap masuk hutan yang disebut Hutan Lembah Kalasouw di wilayah adat dari Masyarakat Adat Moi Kelim. Tempatnya di Kampung Kalabili dan menjadi milik marga Kalami Kalabili. 

"Teman-teman, ini hari kedua,” kata Ones. “Aktivitasnya belajar mengenal pohon dan daun. Dua guru, yaitu Bapak Uria Ulimpa sebagai juru bahasa Moi Kelim dan Bapak Piter Koso dari Moi Salkma, akan menemani kita masuk ke hutan. Di hutan, kita belajar mengenal beberapa jenis flora. Kita juga mengenal dua bahasa dari sub-Suku Moi yang berbeda."

Waktu menunjukan pukul 10:00, saatnya kami menyegarkan mata dengan melihat alam yang hijau dan hutan yang lebat serta mendengar derasnya air dan suara burung. Kami menghirup udara yang segar. Oksigen gratis dari Sang Pencipta melalui alam di Tanah Papua, khususnya Hutan Adat Moi Kelim.

Ada sekitar 30 pemuda adat dari dua sub-Suku Moi. Kami berkelompok menuju hutan.  Kami belajar saling mengenal bahasa masing-masing sambil ditemani dua guru: Bapak Uria Ulimpa yang berbicara dengan bahasa Moi Kelim dan Bapak Piter Koso yang berbicara dengan bahasa Moi Salkma. Tidak hanya bertukar bahasa, kami juga bertukar pemahaman tentang manfaat dan kegunaan dari berbagai jenis pohon atau daun yang disebutkan.

Telapak kaki dari salah satu guru kami yang berambut putih itu, seperti telah menyatu dengan alam. Ia siap membawa kami untuk mengelilingi hutan di Kalabili. Embun masih menempel di dedaunan dan aroma tanah menusuk hidung. Angin sepoi menyambar kulit. Tak ada wajah murung atau cemberut yang tergambarkan dalam hutan. Kami semua serius mendengar, mencatat, bahkan memvideokan berbagai penjelasan.

Perjalanan tersebut berlangsung dengan menyenangkan. Kami jadi saling mengenal satu dengan yang lain dengan belajar bahasa dan mengenal nama-nama pohon dalam sebutan masing-masing sub-suku. Awalnya, ada yang mengira itu hanya pohon atau daun biasa, tapi nyatanya ada jenis tumbuhan yang bisa digunakan untuk obat. Ada kawan lain yang merasa kegiatan seperti itu harus dilanjutkan lagi untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga bahasa daerah, hutan, dan budaya.

“Apa yang kita pelajari, tidak sebatas ini saja. Perkembangan terus maju. Ada badai besar yang datang mengancam eksistensi Masyarakat Adat. Dalam Masyarakat Adat itu, ada bahasa, budaya, dan hutan. Kita sebagai anak muda harus membangun persatuan untuk menjaga. Kita bekerja sama dengan orangtua. Kita belajar kembali hal-hal yang berhubungan dengan kita. Pengetahuan lokal kita adalah kekuatan,” papar Marsel Salamala, pemuda adat dari Moi Kelim, mengomentari perjalananan telusur hutan yang kami lakukan.

Ia pun mengajak para pemuda adat untuk menjaga bahasa ibu dari ancaman kepunahan.

“Mari, lestarikan bahasa lokal! Tanpa bahasa, kita terancam punah. Maka, kita mulai belajar dari hal-hal yang kecil,“ tambah Marsel.

Selanjutnya, Bram Jitele, seorang pemuda adat dari Moi Salkma, merasa mengenal jati diri orang Moi itu adalah hal yang penting, sehingga ia menyarankan agar para pemuda adat perlu dipertemukan dengan orang-orang tua yang mampu menjelaskan banyak hal.

“Hal baru yang saya dapat, yaitu tentang jati diri orang Moi,” ucapnya. “Kita kumpulkan orang tua adat. Kita minta mereka menjelaskan kenapa suku ini diberi nama Moi. Apa itu Moi? Kemudian, muncul Malamoi. Itu kenapa? Kenapa sub-suku ini bersatu?”

Perjalanan mengelilingi hutan pun selesai diikuti dengan perut kami yang berbunyi. Tanda lambung meminta segera diisi. Di meja, telah tersusun piring dan mangkok secara sejajar. Di sana, ada sayur gedi yang jadi kebanggan Masyarakat Adat di Tanah Papua, khususnya Sorong Raya. Gedi segar itu telah dibuka dari bambu. Mama-mama Moi mengolah sayur gedi dengan bambu. Di atas sayur gedi, ada racikan bawang merah dan rica atau cabai mentah yang pedas dan menambah selera. Selain itu, ada pula sebaskom daging babi hutan yang dimasak dengan kuah bening dan disajikan berdampingan dengan papeda panas. 

Itu menjadi siang yang sangat sempurna. Selera makan pun tiba-tiba melonjak tinggi. Ada yang tambah. Maklum saja sebab ada kawan yang jarang sekali menikmati makanan lezat tanpa bahan pengawet.

Selama kegiatan lima hari itu berlangsung, panitia memang tidak membawa sayuran, ikan, dan daging dari kota. Semua kebutuhan lauk-pauk berasal dari hasil kebun mama-mama Moi. Ikan juga dari hasil pancingan di kali. Daging didapat dari berburu di hutan. Untuk bahan karbohidratnya, ada pisang, sagu, dan beras.

***

Penulis adalah Orang Asli Papua dari Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dan jurnalis Suara Papua.

Tag : Papua Barat Maria Baru Bahasa Ibu Internasional