Oleh Isnah Ayunda

Armah tak dapat menyimpan rasa cemasnya ketika mengetahui pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), mulai berproses pada Agustus 2022. Masalahnya, ia dan Masyarakat Adat Suku Balik - selaku pemilik wilayah adat - belum mendapatkan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah (wilayah adat) mereka yang dikelola secara turun-temurun.

“Terus terang, kami sangat terganggu dengan pembangunan IKN yang begitu cepat. Sebagian dari kami tidak memiliki legalitas. Ini yang membuat kami cemas dan takut,” kata Armah pada Rabu (27/7/2022).

Perempuan adat dari Suku Balik itu menyatakan bahwa mereka sering mengajukan kepada Pemerintah Desa Bumi Harapan untuk dibuatkan legalitas, tetapi tidak ditanggapi.

“Mereka tidak merespons kami,” katanya dengan nada lirih.

Ia mengaku bingung karena pemerintah kerap mempertanyakan legalitas kami di IKN. Tanah yang dijadikan sebagai tempat tinggal oleh Masyarakat Adat sekarang ini, sering ditanya milik siapa.

“Kami jawab, ‘Ini tanah kami,’ tetapi kami tidak memiliki legalitas. Mereka ingin melihat legalitas yang kami miliki. Sehingga, bagi yang tidak memiliki legalitas, tentunya (merasa) was-was dan terancam,” kata Armah.

Armah melanjutkan bahwa ketika PPU ditetapkan sebagai IKN, Masyarakat Adat tidak dilibatkan sama sekali. Bahkan, tidak pernah diajak bicara soal IKN.

“Jangankan diajak berbicara, disosialisasikan saja tidak pernah,” tandasnya.

Pembangunan infrastruktur di kawasan IKN yang bersinggungan dengan wilayah adat. Sumber foto: Dokumetasi AMAN

Armah menegaskan, mereka sangat terganggu dengan adanya IKN di wilayah adat. Sejarah mencatat bahwa Masyarakat Adat Suku Balik sudah ada di sana sejak zaman penjajahan. Dikatakannya, pada zaman penjajahan, para orangtua mereka dijemput paksa dan dipindahkan ke wilayah lain. Namun, setelah mereka kembali ke Sepaku, tanah-tanah orangtua mereka telah habis dijadikan sebagai lokasi transmigrasi dan areal perusahaan.

“Saat ini, datang IKN. Nasib kami bagaimana? Jujur, kami ingin saja menolak, tetapi namanya pemerintah, kami mau bilang apa karena ini keinginan pemerintah. Begitu pun saya sangat berharap agar tanah-tanah kami dapat perlindungan dari pemerintah. Kami tidak punya tanah lagi selain itu,” ungkap Armah.

Suriansyah, warga Masyarakat Adat Suku Balik, juga menyatakan bahwa sejak IKN ditetapkan di PPU, ia bingung dengan nasibnya sendiri.

Banyak dari mereka bertanya-tanya bagaimana hendak menyelamatkan tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Suriansyah dan warga lain pun meminta kepada pemerintah untuk dibuatkan surat sebagai tanda bukti kepemilikan, namun mereka justru diacuhkan.

“Kami ini Masyarakat Adat asli. Tidak seperti transmigrasi yang datang, lalu dibuatkan kebun dan rumah. Sebagian besar mereka memiliki  Sertifikat Hak Milik (SHM), lalu bagaimana dengan kami?tanyanya.

Pemangku Adat Pemaluan Asmin juga mengungkapkan hal senada. Seiring dengan dipercepatnya pembangunan IKN, Masyarakat Adat di Komunitas Masyarakat Adat Pemaluan pun menjadi ketakutan.

“Polisi mondar-mandir, TNI mondar-mandir. Itu membuat warga kami terbirit-birit ketakutan. Seharusnya, ada sosilisasi kepada Masyarakat Adat setempat agar mereka tidak ketakutan ketika melihat petugas melintas,” ujarnya.

Asmin menyatakan bahwa di balik kekhawatiran dan kecemasan Masyarakat Adat Suku Balik dan Suku Paser, terdapar keresahan akan ketidakjelasan hak atas tanah (wilayah adat) maupun nasib Masyarakat Adat.

Menurutnya, pemerintah hanya omong-omong saja tanpa memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi Masyarakat Adat di sana.

“Negara menjamin hak konstitusional Masyarakat Adat sepanjang keberadaan meraka masih ada. Akan tetapi, pembangunan IKN yang terus digodok, menandakan bahwa negara memiliki ambisi yang besar untuk secepatnya IKN dipindahkan ke sini tanpa memikirkan nasib Masyarakat Adat selaku pemilik wilayah,” ungkap Asmin.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan serangkaian kegiatan simbolik di kawasan IKN sebagai wujud dimulainya pembangunan IKN. Rangkaian kegiatan itu diawali dengan prosesi penyatuan tanah dan air yang diambil dari 34 provinsi di Indonesia. Ia sendiri pula yang memimpin jalannya prosesi itu di Titik Nol IKN pada 14 Maret 2022 lalu.

Proses pembangunan IKN pun semakin memicu gelombang protes oleh Masyarakat Adat di PPU. Kami menyatakan kecewa atas sikap pemerintah yang terkesan terburu-buru ingin membangun IKN yang secara substansi tidak mengakomodir pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat.

***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari PPU, Kaltim

Tag : IKN PPU Masyarakat Adat Suku Balik