Oleh Maruli Tua Simanjuntak 

Sebuah pohon besar setinggi 20 meter dan berdiameter 80-90 centimeter, berdiri kokoh di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pohon itu disebut orang Batak: Hau Sisada-sada. Umurnya diperkirakan telah mencapai 350 tahun.

Pohon yang menjadi legenda orang Batak tersebut merupakan situs peninggalan Ompung Pangumban Bosi Simanjuntak. Pohon itu masih berdiri dengan rimbun hingga kini di tengah areal perkebunan PT Toba Pulp Lestari (TPL)  yang dulu bernama PT Indorayon.

Upaya Menebang Hau Sisada-sada 

Perusahaan kertas tersebut pernah berusaha memusnahkan Hau Sisada-sada ketika mereka hendak membuka lahan perkebunan tahun 1986. Mereka berusaha ingin memusnahkan pohon tersebut dengan menggunakan alat berat dan mesin pemotong kayu. Namun, dengan kekuatan magis yang dimiliki pohon tersebut, semua usaha yang dilakukan pihak perusahaan menjadi sia-sia. Para pekerja yang ingin menebang pohon, banyak yang celaka. Bahkan, ada pekerja yang tengah kesurupan berkata, “Unang ganggu hamu au, paloas hamu au mangolu, nga dibereng hamu ulaon nabinaen muna sude marisuang, boru Simanjuntak do au boruni Damang Pangumban Bosi." Arti ucapan itu, kira-kira seperti ini: “Jangan kalian tebang saya. Biarkan saya hidup. Sudah kalian lihat semua usaha yang kalian lakukan sia-sia. Saya boru Simanjuntak putri dari Ompu Pangumban Bosi.” Bagi kami, boru dapat dimaknai sebagai anak perempuan saudara lelaki dan/atau sanak saudara dari pihak ayah.

 

Hau Sisada-sada yang berumur ratusan tahun. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Ucapan spontan dari pekerja yang kesurupan itu, tidak dipercaya. Dan para pekerja tetap berusaha untuk menebang Hau Sisada-sada menggunakan mesin pemotong kayu. Tetapi, tanpa disadari, pekerja itu telah memotong kakinya sendiri hingga putus.

Setelah kejadian tersebut, pihak perusahaan memohon maaf dan melaksanakan ritual di lokasi berdirinya Hau Sisada-sada dan makam Ompung Pangumban Bosi Simanjuntak.

Maratua Simanjuntak (66 tahun), Penatua Kampung Parpatihan, menceritakan bahwa pohon itu merupakan jelmaan dari salah satu putri Ompu Pangumban Bosi Simanjuntak yang terletak di wilayah adat yang dimiliki oleh komunitas Masyarakat Adat dari Ompu Pangumban Bosi Simanjuntak. 

Perempuan yang Menjelma Pohon

Maratua mengisahkan, tahun 1700-an, bertepatan dengan hari jodoh bagi kaum muda di Huta Aek Nauli Parpatihan dan pasca-musim panen, seluruh kaum muda berkumpul ke sebuah tempat yang berbentuk wajan berukuran 30 meter dan kedalaman 20 meter. Nama lokalnya disebut Parembasan.

Aturan mainnya sudah ditentukan oleh para Raja Huta, yaitu perempuan menari untuk menarik perhatian laki-laki sebagai jodohnya. Kemudian, laki-Laki akan menyelipkan bunga ke rambut perempuan sebagai tanda bahwa perempuan tersebut yang menjadi jodohnya. 

Suatu ketika, saat kegiatan cari jodoh dilaksanakan, salah satu putri dari Ompung Pangumban Bosi Simanjuntak menjadi peserta dalam kegiatan tersebut. Dia menari (manortor) dengan maksimal, lalu datanglah seorang pemuda menyelipkan bunga di rambut putri Ompung Pangumban Bosi Simanjuntak itu.

Namun, tanpa disadari, mereka ini namar ito. Artinya, si pemuda merupakan pamannya sendiri. Selang beberapa waktu, mereka berencana untuk berumah tangga. Si pemuda meminta restu ke orangtua perempuan. Tapi, Pangumban Bosi Simanjuntak justru tidak setuju kalau mereka menikah karena pemuda yang melamar anaknya, adalah tulang (paman) dari anak-anaknya.

Segala usaha mereka lakukan agar Pangumban Bosi Simanjuntak merestui hubungan mereka. Sayangnya, tak satu pun usaha yang mereka lakukan berhasil mengubah keputusan orangtua perempuan. 

Putri Pangumban Bosi putus asa. Akhirnya, ia memilih  kabur dari rumah  dan pergi ke hutan. Di sana, ia memohon kepada Sang Pencipta agar dia menjadi pohon untuk hidup abadi. Konon, permohonan tersebut terkabul hingga akhirnya putri Pangumban Bosi berubah bentuk menjadi kayu yang kini disebut Hau Sisada-sada.  

Sofrin Simanjuntak, tokoh adat dari Tano Batak, menyebut bahwa pohon Hau Sisada-sada sampai saat ini masih disakralkan oleh Masyarakat Adat Parpatihan.

Ia menceritakan pada 2017 lalu, salah seorang pegawai humas dari TPL pernah mengalami kejadian aneh terkait pohon tersebut. Ketika itu, salah seorang Masyarakat Adat Parpatihan membawanya ke lokasi, lalu menceritakan tentang kisah Hau Sisada-sada. Di saat mereka pulang, staf humas tersebut mengatakan sesuatu yang tidak pantas diucapkan dengan bilang bahwa pohon tersebut cocok untuk diolah menjadi papan rumah.

Omongan itu didengar oleh Penatua Parpatihan. Ia membalas, "Jaga bicaramu kalau ngomong, ingat ya! Kamu akan mendapatkan bala akibat dari ucapanmu itu.” 

Selang beberapa waktu, pegawai TPL tersebut mengalami sakit di bagian perut. Kemudian, dia pergi berobat ke rumah sakit, namun penyakit yang dialaminya tidak kunjung sembuh. Lalu, dia pergi ke paranormal. Atas saran paranormal, ia dianjurkan untuk meminta maaf atas ucapannya yang menyebut Hau Sisada-sada itu cocok untuk papan rumah. 

Saran tersebut dilaksanakan. Ia pun melakukan ritual permohonan maaf ke lokasi, di mana pohon Hau Sisada-sada berada, dengan menyediakan sesajian yang disaksikan oleh Penatua Kampung Parpatihan. 

Menurutnya, pohon tersebut hingga kini sangat dikeramatkan oleh Masyarakat Adat di Tano Batak karena merupakan situs peninggalan sejarah pendiri kampung turunan Ompu Pangumban Bosi Simanjuntak.  

Sofrin juga menyatakan bahwa setiap perantau Parpatihan yang pulang kampung, selalu meluangkan waktunya untuk berziarah ke lokasi yang menjadi tempat tumbuhnya Hau Sisada-sada.

Menurutnya, selain Hau Sisada-sada, Masyarakat Adat Parpatihan juga memiliki sejumlah situs peninggalan sejarah lain, seperti Parembasan (sebuah tempat berbentuk wajan dengan luas 100 meter dan kedalaman 30 meter), bekas perkampungan dengan benteng tanah dan pepohonan yang besar, serta makam pendiri Kampung Ompu Pangumban Bosi Simanjutak.

“Seluruh situs peninggalan sejarah tersebut berada di tengah-tengah perkebunan eukaliptus milik TPL,” kata Sofrin sambil berharap perusahaan itu tidak merusak situs bersejarah tersebut.

***

Penulis adalah jurnalis rakyat dari Tano Batak, Sumatera Utara.