Oleh Apriadi Gunawan

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN Rukka Sombolinggi mengapresiasi Gerakan Pulang Kampung yang digagas oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dalam tujuh tahun terakhir ini.

Rukka mengaku bahwa awalnya ia sempat ragu dengan gerakan tersebut. Apakah betul para pemuda adat itu akan mampu bertahan jika pulang kampung?.

“Saya kadang-kadang merasa malu karena beberapa tahun lalu ketika BPAN mencanangkan Gerakan Pulang Kampung, saya salah satu yang ragu… Ternyata, dalam lima sampai tujuh tahun terakhir, Gerakan Pulang Kampung semakin menguat,” kata Rukka saat menjadi menjadi pembicara dalam salah satu sarasehan pada Jambore Nasional IV BPAN yang dilaksanakan secara daring pada Senin (24/1/2022).

Ia menyatakan bahwa apa yang pertama dilakukan para pemuda adat itu ketika pulang kampung, adalah menelusuri jejak leluhur dan kembali mengenali diri sendiri sebagai Masyarakat Adat. Dan dari pengetahuan yang diperoleh dari para tetua, muncul kesadaran kolektif serius untuk kembali menjaga wilayah adat.

Rukka mengungkapkan kalau ada satu hasil konkret yang bisa dilihat dari gerakan yang dilakukan para pemuda adat itu, yakni lahirnya berbagai sekolah adat. Kini, AMAN mempunyai 86 sekolah adat. “Saya angkat topi buat anak-anak muda ini,” katanya.

Selain mendirikan sekolah adat, banyak pemuda adat yang pulang kampung juga bertani, berternak, dan berkebun. Menurutnya, cara yang ditempuh itu merupakan upaya terhadap bagaimana generasi penerus Masyarakat Adat kelak mampu bertahan hidup di kampung.

“Itu sikap dari politik resistensi (dalam) menolak untuk punah dan mencari jalan baru,” tandasnya.

Rukka menerangkan bahwa di masa pandemi ini, kapitalisme yang dianggap sebagai ideologi yang dominan mengusai dunia, telah berbukti gagal. Selama krisis, kota menjadi tempat yang tidak aman. Namun, sebaliknya, wilayah adat yang masih menerapkan musyawarah mufakat dan menjalankan ritual adat, adalah yang paling mampu bertahan dan berkibar. Rukka pun menyebut perihal kemunculan berbagai pengusaha baru dari kampung ketika orang kota yang bekerja sebagai buruh, tengah kehilangan pekerjaan dan terlunta-lunta di kota. Ia bilang, tidak ada alasan sekarang untuk mengatakan bahwa kita harus pergi ke kota.

Berkebun merupakan salah satu aktivitas utama yang dilakukan pemuda ketika pulang kampung. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Kita sudah menunjukkan diri bahwa kita mampu bertahan,” lanjutnya. “Resistensi kita sebagai Masyarakat Adat justru terbukti di tengah krisis. Ini harus terus kita perkuat, bukan hanya selama pandemi, tapi justru dilakukan seterusnya sebagai jalan hidup yang baru.”

Ia juga mengatakan kalau kisah sukses dari para pemuda adat di kampung itu, seharusnya dapat kita gunakan untuk menginspirasi generasi muda di tempat lain, termasuk di kawasan perkotaan untuk tak ragu pulang kampung. Para pemuda adat anggota BPAN tidaklah gagap teknologi. Pemuda-pemuda adat, baik yang lelaki maupun perempuan, selalu mengabarkan kisah dari kampungnya melalui perangkat teknologi dan informasi komunikasi.

Ia bilang, kita punya pewarta-pewarta dari kampung, bahkan ada dari pemuda adat kita adalah pembuat film terbaik. Kisah-kisah pun terus disuarakan.

“Saya minta maaf karena saya sempat sangsi terhadap generasi pemuda adat,” ungkap Rukka. “Kita harus punya sikap untuk memperkuat diri untuk gunakan teknologi dan tidak menyerah dengan diri dan saudara kita. Yang paling penting, kita tidak menyerah dengan (menjaga dan mempertahankan) wilayah adat.”

Menurutnya, semua pekerjaan kita adalah pekerjaan gotong-royong. Secara kolektif, Masyarakat Adat menjaga bumi, menjaga umat manusia, karena kita harus memperbesar diri. Dari hasil-hasil kerja kolektif Masyarakat Adat di seluruh dunia selama ini, kita telah memberikan kontribusi sebesar 10 persen dalam menjaga dan merawat seluruh ekosistem terbaik.

“Kita bisa memperbesar 10 persen itu ketika kita terus melakukannya dengan kebijakan yang mendukung kita. Tentu saja, umat perkotaan harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.

Rukka menambahkan bahwa dalam dua tahun terakhir, Masyarakat Adat justru telah membuktikan daya lenting dan daya adaptasinya seiring dengan tantangan zaman. Ketika semua kalang kabut dengan pandemi maupun pembatasan sosial berskala besar, Masyarakat Adat justru yang berkibar. Namun, ia berpesan dengan mengatakan bahwa apa yang tengah diupayakan sekarang, bukan sekadar kerja kolektif di Nusantara, melainkan pula dunia.

“Kita harus bersama-sama menjaga bumi dan umat manusia,” ungkapnya. Ia menegaskan bahwa gerakan Masyarakat Adat adalah perjuangan untuk menolak punah. “Kita hanya punya satu rumah, yaitu Ibu Bumi, dan siapa pun yang berada di kolong langit ini adalah satu keluarga. Inilah yang mendasari penolakan terhadap perampasan dan eksploitasi hak-hak Masyarakat Adat yang kemudian melahirkan AMAN tahun 1999.” Menurutnya, salah satu penyebab Masyarakat Adat semakin melemah, adalah karena generasi pemuda adat yang semakin jauh dari tanah leluhur. Di sisi lain, ada kecenderungan secara umum, di mana generasi muda selalu disalahkan dan dikambinghitamkan perihal “tidak tahu adat” - tanpa menyadari bahwa sesungguhnya sebuah generasi merupakan hasil dari generasi sebelumnya.

“Ini disadari AMAN bahwa ada kecenderungan kita menyalahkan anak muda. Padahal, generasi muda itu bukan mau pergi dari kampung, tapi dipaksa untuk pergi ke tempat-tempat, di mana mereka mengalami pencucian otak dan diisi oleh ilmu asing, ilmu mesin, ilmu untuk menjadi budak untuk bisa menjadi alat-alat kapitalisme,” ungkap Rukka.

Generasi pemuda adat kemudian dipaksa percaya bahwa kehidupan bermartabat hanya ada di kota. Sehingga, sebuah generasi pun terputus dan menciptakan - apa yang disebut Rukka dengan - “generasi yang hilang dan tersesat” karena pengetahuan para pemuda adat tidak dilandasi pada identitas diri sebagai Masyarakat Adat. Ironisnya, semakin tinggi pendidikan, tapi semakin susah tinggal di kampung. Ia mengistilahkannya dengan “ilmu pergi” yang membuat para pemuda adat kian berjarak dengan akarnya dan melihat kampung sebagai representasi dari kebodohan maupun ketertinggalan.

Rukka pun menyebut bahwa pembelajaran yang disadari, adalah kita tidak cukup memberikan tempat kepada generasi muda.

“Saat ini, sudah terjadi perubahan besar meski kadang-kadang sikap seperti itu masih muncul. Itulah mengapa BPAN dibentuk sekitar 10 tahun lalu (dengan tujuan) untuk memberi tempat kepada generasi muda Masyarakat Adat untuk memikirkan dan memutuskan bersama apa yang menjadi mimpi terhadap wilayah adat dan nasib masa depan Masyarakat Adat,” katanya.

Laksmi Savitri, akademisi dan antropolog dari Universitas Gajah Mada yang menjadi penanggap dalam sarasehan yang sama, turut memuji Gerakan Pulang Kampung. Ia mengaku kalau apa yang dirasakan Rukka, juga sempat ia alami, yaitu keraguan pada keinginan pemuda adat untuk pulang kampung. Sebab, menurutnya, semua sistem pendidikan dan politik pendidikan kita telah mengarahkan anak-anak adat untuk keluar dari kampung.

Ia berharap gerakan tersebut dapat berumur panjang. “Itu akan menjadi sebuah upaya untuk menjadi gerakan kebudayaan yang efektif. Ini bukan perjuangan jangka pendek, tapi perjuangan jangka panjang yang lintas generasi,” katanya.

Laksmi juga berpendapat kalau Gerakan Pulang Kampung berada di luar radar kebudayaan yang kapitalistik dan neoliberal. Ia menyebut, BPAN sudah mulai untuk membangun konstruksi ideologi baru melalui pembangunan sekolah adat, pertanian, dan kesenian serta penguasaan teknologi dan media sebagai instrumen ideologi.

Pada sarasehan bertema “Aksi-Aksi Kolektif Menjaga Bumi” tersebut, sejumlah pemuda adat juga tampil sebagai pembicara dan mengisahkan pengalamannya saat pulang kampung.

Irene Manaroinsong, pemuda adat asal Minahasa, Sulawesi Utara, bercerita bagaimana awalnya ia malu untuk pulang kampung. Namun, keinginan kuat untuk membangun tanah leluhurnya, membulatkan tekadnya untuk menjadi petani di kampung. Ia kini bahkan mendapat penghasilan utama dari berkebun.

“Kalau harga tomat sedang bagus, satu minggu bisa menghasilkan ratusan juta rupiah,” katanya ketika telah menikmati panen.  

Ketua Umum BPAN Jakob Siringoringo menyatakan rasa terima kasih atas dukungan AMAN. Ia pun mengutarakan kegembiraan dan kebanggaannya kepada kawan-kawan pemuda adat yang telah berbagi pengalaman baik dalam mengurus wilayah adat agar tetap lestari.

“Kita terus bergerak dan tumbuh untuk memperkuat kampung-kampung tetap eksis. Kita pastikan dan buktikan bahwa kita bertahan. Kita tidak takut pada akibat pandemi sebab kita (pemuda adat) adalah jalan keluarnya,” kata Jakob sambil menuangkan harapan agar BPAN dapat lebih kuat dan terlihat ke depannya.

***

Tag : JAMNAS IV BPAN Pemuda Adat Gerakan Pulang Kampung